Cerita Dewasa Farah Queen dan Ririn Marinka
Jakarta, Indonesia. Dua minggu sebelumnya.
Sehabis makan siang Ray segera kembali ke kantornya. Begitu selesai
memarkir sepeda motor Kawasaki Ninja-nya, dia segera menuju ke
ruangannya yang berada di lantai sembilan gedung itu. Tapi belum sempat
dia masuk ruangannya, Sarah Si sekertaris memanggilnya.
"Ada apa?" tanya Ray.
"Kau dicari Bos," jawab Sarah.
"Bos sudah datang ya? Tumben dia tidak BBM sendiri," ucap Ray sambil memeriksa Smartphone-nya.
"Mana aku tahu. Sudah cepat sana, dia sudah menunggumu sejak tadi, tampaknya penting," kata Sarah sambil mendorong Ray.
"Thank You, Say," ucap Ray sambil mengedipkan mata menggoda.
"Your welcome ," balas Sarah dengan tersenyum.
Ray lalu segera berlalu menuju ke ruangan Bos-nya. Sementara Sarah masih
tetap di tempat sambil memandangi Ray. Rayhan Arsyad adalah nama
lengkap dari Ray. Wajahnya yang tampan khas timur tengah serta tubuhnya
yang tinggi atletis itu banyak menarik perhatian kaum hawa. Bahkan
banyak karyawati di kantor ini yang terpikat akan ketampanan Ray,
termasuk Sarah. Sebenarnya Sarah sudah memendam rasa suka terhadap Ray
sejak dulu. Tapi waktu itu Ray masih punya kekasih, dan baru-baru ini
saja Ray putus dengan pacarnya.
Sebenarnya saat ini adalah kesempatan yang baik bagi Sarah untuk
mendekati Ray, apalagi mereka sudah cukup dekat sebelumnya. Tapi Sarah
tidak punya keberanian seperti teman-teman sekantornya yang punya
keberanian untuk menarik perhatian Ray begitu ada kesempatan.
Sementara Sarah masih tenggelam dalam lamunannya, Ray sudah sampai di
depan pintu ruangan Rangga. Dia mengetuk pintu itu pelan. Setelah ada
ijin, barulah dia membuka pintu lalu masuk ke dalam ruangan itu.
"Siang Pak?" Ray memberi salam.
Walau Rangga adalah temannya tapi disini dia adalah bos-nya. Maka Ray
tetaplah memanggil Rangga dengan kata Pak. Kecuali Rangga yang meminta
maka dia akan mengubah panggilan itu.
"Siang juga Ray, duduklah," ucap Rangga.
Ray lalu duduk di depan Rangga. Sementara untuk beberapa saat Rangga
masih sibuk dengan Notebook-nya, setelah itu Rangga berdiri kemudian
berjalan ke arah lemari pendingin, mengambil dua kaleng minuman ringan,
menyerahkan salah satu kaleng minuman itu pada Ray, lalu Rangga kembali
duduk di kursinya.
"Melihat wajahmu yang sudah kembali ceria, tampaknya masalahmu dengan
Cynthia sudah selesai," kata Rangga sambil membuka kaleng minuman yang
ada di tangannya.
"Ya kau benar. Awalnya aku memang tidak dapat menerima keputusannya
untuk mengakhiri hubungan kami. Aku juga sudah mencoba berbagai hal
untuk mempertahankan hubungan kami. Tapi setelah melalui berbagai macam
pertimbangan, akhirnya aku sadar tidak bisa memaksanya untuk tetap
mempertahankan hubungan kami. Dan sekarang, akhirnya kami benar-benar
berpisah dan mengambil jalan hidup masing-masing. Bukankah Life Must Go
On!"
"Baguslah kau berpikir seperti itu. Kalau memang sudah tidak mungkin
bersama, kenapa harus dipertahankan. Dengan pernyataanmu itu, Apakah itu
tandanya kau siap untuk mendapatkan kekasih yang baru?" tanya Rangga
dengan tersenyum.
"Entahlah, untuk soal itu aku tidak bisa menjawab Ya atau Tidak. By the
way, ada apa kau memanggilku? Pasti bukan hanya soal hubunganku dengan
Cynthia kan?"
"Oh ya, tentu saja bukan hanya soal itu. Sebenarnya aku punya satu tugas untukmu," ucap Rangga.
"Apa? Proyek baru?" tanya Ray.
"Sebentar. Sebenarnya ini bisa dibilang bukan tugas juga. Anggap saja
ini satu permintaanku untukmu. Coba kau lihat ini," kata Rangga sambil
memutar Apple Macbook-nya, hingga Ray bisa melihat apa yang terpampang
di layar monitor.
Ray membaca e-mail itu, dan dia tahu maksudnya. Tapi tetap saja dia
bertanya pada Rangga untuk lebih memastikan. "Ini undangan naik kapal
pesiar, lalu apa hubungannya denganku?" tanya Ray.
"Kau mewakili aku menghadiri undangan itu," jawab Rangga.
"What! Jangan becanda, Ngga!"
"Siapa yang becanda?"
"Tapi di situ tertulis perjalanan berlangsung antara tiga sampai lima minggu. Bagaimana pekerjaanku kalau aku pergi selama itu?"
"Justru itu maksudku. Kau itu sudah bekerja keras hampir sepanjang
tahun. Jadi selain menghadiri undangan, perjalanan itu bisa kau
manfaatkan untuk liburan. Bagaimana?"
"Tapi bagaimana dengan pekerjaanku?"
"Itu tidak usah kau pikirkan. Bukankah proyek-proyek kita sudah
memasuki tahap akhir? Kau cukup tunjuk satu atau dua orang kepercayaanmu
untuk mengawasinya. Lagi pula waktunya masih sepuluh hari lagi. Kau
masih bisa memberi pengarahan pada orang kepercayaanmu."
"Mengapa tidak kau sendiri yang menghadiri undangan itu?"
"Aku tidak bisa. Ada sesuatu hal yang harus aku lakukan dan tidak bisa ditunda," ucap Rangga serius.
"Apakah aku harus datang?"
"Sebetulnya tidak ada keharusan Kalau kita harus datang. Tapi tidak etis
rasanya tidak menghadiri undangan yang telah mereka berikan. Lagi pula
yang mengundang adalah klien perusahaan kita. Aku hanya tidak ingin
mereka menganggap kalau kita tidak menghormati undangan mereka," kata
Rangga.
Ray memandang ke arah Rangga. Ada rasa tidak enak di hatinya jika dia
menolak permintaan Rangga ini. Apalagi Rangga tidak memaksanya, padahal
sebagai bos, bisa saja Rangga memaksa dia kalau mau. Mengingat hal itu
dan juga kebaikan Rangga selama ini akhirnya Ray berkata, "Baiklah aku
bersedia menerima tugas ini."
"Nah begitu dong. Lupakan pekerjaanmu sejenak, dan nikmati saja
perjalanan liburan itu. Siapa tahu di antara ribuan penumpang ada
seorang wanita yang bisa menarik perhatianmu."
"Oke Bos, siap laksanakan."
-00-

Pelabuhan Colombo, Ceylon. Tiga hari sebelumnya.
Setelah transit di Bandara Changi, pesawat yang membawa Ray mendarat di
Bandara Katunayake, Colombo. Setelah itu Ray melanjutkan perjalanan
menuju ke pelabuhan Colombo menggunakan Taxi. Kini di hadapan Ray
berdiri kapal pesiar mewah yang siap membawanya untuk berlayar. Ray
takjub memandang kapal pesiar yang diberi nama The Royal Continent itu.
Satu jam sebelum keberangkatan para penumpang dipersilahkan untuk naik.
Ray yang memperlihatkan undangan yang dibawanya lalu diantar seorang
Porter ke kamar yang telah disediakan untuknya. Setelah menaruh barang
yang dibawanya dan berganti pakaian kasual, Ray lalu keluar untuk
melihat-lihat apa saja yang ada di kapal pesiar itu.
Ray semakin takjub saat melihat bagian-bagian dalam kapal. Panjang kapal
222 meter, sementara lebarnya 22 meter. Kapal itu mempunyai enam
tingkat termasuk bagian mesin di bawah dan geladak bagian atas. Di
bagian geladak atau tingkat paling atas ada dua kolam renang, lapangan
basket dan volly. Di bawahnya atau tingkat ke lima ada Spa, Bar, Lounge,
Restoran, Bioskop dan Fitnes Center.
Di tingkat empat selain untuk kamar penumpang, sebagian juga untuk ruang
pertemuan, Bar kecil dan ruang kapten. Tingkat tiga dan dua adalah
kamar-kamar penumpang. Sementara bagian bawah adalah bagian mesin, ruang
kru dan peralatan lainnya. Setelah puas-puas melihat bagian kapal, Ray
lalu menuju ke geladak. Saat itulah ada pemberitahuan bahwa kapal akan
segera angkat jangkar untuk memulai perjalanannya.
Cahaya kuning keemasan memancar dari ufuk barat, menandakan Sang surya
siap kembali keperaduannya. Diatas geladak kapal sambil berpegangan pada
pagar pembatas disanalah sekarang Ray berada. Baru sekitar satu jam
kapal pesiar itu meninggalkan pelabuhan Colombo memulai pelayarannya.
Ray termenung sendirian tidak seperti orang lain yang sedang
berjalan-jalan atau duduk-duduk bersama orang lain.
Hubungannya dengan Cynthia memang telah berakhir. Dan mereka berdua
sudah memutuskan dan juga menganggap tidak ada lagi masalah di antara
mereka berdua. Tapi disaat sendiri seperti ini kenangan kebersamaan
mereka muncul juga. Dan yang masih jadi pertanyaan terbesarnya adalah
apa sebenarnya kesalahan dan kekurangannya hingga Cynthia minta putus.
Padahal selama ini hubungan mereka baik-baik saja.
Dilihat dari segi fisik dia tampan, tinggi dan atletis. Dari finansial,
Ray merasa penghasilannya lebih dari cukup. Bahkan bisa berlebihan andai
dia mau menerima tawaran dari perusahaan-perusahaan dari luar. Kalau
soal gaya hidup dia juga tidak terlalu berlebihan. Soal minum atau
keluar malam masih bisa dibilang wajar. Itu juga kadang-kadang kalau
menemani klien. Narkoba dia tidak pernah menyentuhnya, judi juga tidak,
main perempuan tidak, gonta-ganti cewek itu dulu sebelum dia mengenal
Cynthia. Jadi apa masalahnya?
Tapi setidaknya Ray masih bersyukur masih ada sahabat-sahabatnya yang
memperhatikannya. Walau mereka semua sudah sibuk dengan urusannya
masing-masing tapi masih sempat untuk memberinya support. Karena support
merekalah Ray bisa melupakan masalahnya dengan Cynthia. Mengingat
sahabat-sahabatnya, Ray jadi kangen ingin bertemu dengan mereka semua.
Entah dimana mereka berada Ray pasti akan selalu teringat dengan Gavin
yang pantang menyerah, Dani yang keras kepala, Rangga yang selalu
memberi semangat pada kawan-kawannya, dan...
Ray harus menghentikan lamunannya saat ada pemberitahuan dari awak kapal
bahwa sudah waktunya makan malam. Dia baru sadar bahwa senja sudah
berlalu dan kini malam sudah datang. Ray menengok jam yang ada di
tangannya, jarum jam sudah menunjukan angka tujuh.
Ray kemudian berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Saat
hendak membuka pintu kamar, dari kamar sebelah yang ditempati Ray keluar
dua orang wanita. Satu orang wanita berkulit putih, sementara yang satu
lagi berkulit coklat. Saat mereka melewatinya, Ray menoleh sejenak
karena merasa pernah melihat kedua wanita itu, dia mencoba mengingat
sesaat. Mereka berdua bukankah...! Ah sudahlah bukan urusanku juga,
pikir Ray. Dia lalu segera masuk kamar tidak mempedulikan kedua wanita
itu lagi.
-00-
The Royal Continent, Samudera Hindia. Dua hari sebelumnya.
Pagi itu Ray sudah rapi dan sedang duduk di restoran menikmati secangkir
kopi dan sandwich pesanannya. Semalam karena merasa capek, setelah
makan malam dia langsung tidur. Dan begitu bangun tidur Ray langsung
menuju Fitnes Center, setelah itu dia pergi mandi. Karena itu, hari ini
dia merasa badannya bugar dan pikirannya fresh sekali.
Ray sebenarnya sudah selesai dengan makanannya. Tapi karena belum tahu
apa yang harus atau akan dilakukannya, maka dia tetap duduk di tempat
itu hingga restoran itu menjadi penuh. Saat Ray sedang menikmati cangkir
keduanya, dua orang wanita meminta ijin padanya untuk duduk di mejanya
yang masih kosong. Tanpa menunggu lama Ray mempersilahkan dua orang
wanita itu untuk duduk. Mereka adalah dua orang wanita yang dilihatnya
semalam keluar dari kamar sebelah yang ditempatinya.
Ray tentu saja mengenal dua orang wanita yang duduk dihadapannya saat
ini, karena mereka berdua adalah dua orang Chef yang terkenal di
Indonesia. Ada keinginan dalam hatinya untuk berkenalan dengan dua Chef
seksi itu. Tapi Ray menunda keinginannya, saat dia mendengar dua orang
wanita di depannya itu sedang membicarakannya. Karena tidak mengira
kalau Ray berasal dari Indonesia, maka mereka berdua membicarakan Ray
dengan bahasa Indonesia. Rupanya mereka mengira kalau Ray berasal dari
negara Uni Emirat Arab.
Merasa tidak enak hati karena menguping pembicaraan orang lain, maka
tanpa menunggu lebih lama lagi Ray menyapa dua orang wanita yang ada di
depannya, "Maaf sebelumnya jika saya telah menguping pembicaraan anda
berdua. Sebenarnya saya berasal dari Indonesia."
Kedua wanita itu tampak terkejut dan malu. Tapi keadaan itu hanya
sesaat. Setelah dapat menguasai diri, mereka segera membalas sapaan dari
Ray, "Oh ternyata dari Indonesia juga. Seharusnya kami yang meminta
maaf kepada anda," ucap salah satu diantaranya.
"Tidak perlu meminta maaf. Justru karena itu kita bisa saling menyapa.
Oh ya, namaku Rayhan Arsyad, panggil saja Ray," ucap Ray memperkenalkan
diri sambil mengulurkan tangannya.
"Marinka," jawab wanita yang berkulit putih, membalas jabatan tangan Ray.
"Farah," jawab yang berkulit eksotis, juga membalas jabatan tangan Ray.
"Tanpa kalian memperkenalkan diri saya sudah tahu siapa anda berdua.
Siapa yang tidak mengenal Chef Marinka dan Chef Farah," ujar Ray.
"Ha.. ha... kau bisa saja, Ray. By the way, kau sendirian?" tanya Marinka.
"Itu relatif."
"Maksudnya?"
"Kalau maksudnya apa aku sendirian di kapal ini, maka jawabannya Ya.
Tapi jika pertanyaannya apa aku sendirian saat ini maka jawabannya
Tidak. Karena saat ini aku sedang bersama dua wanita cantik," ujar Ray.
Marinka dan Farah awalnya bingung dengan jawaban Ray. Tapi setelah tahu
apa maksudnya, mereka jadi sedikit malu. "Ternyata kau bisa becanda
juga, Ray. Aku kira kau itu orang yang selalu serius, seperti yang kita
lihat semalam. Ya gak, Far?" kata Marinka menoleh ke arah Farah. Farah
Quin lalu mengangguk membenarkan.
"Aku jadi tersanjung karena diperhatikan oleh dua orang seperti Chef
ini. Aku juga tidak menyangka bahwa Chef bisa seramah ini. Padahal aku
pikir Chef Marinka dan Chef Farah itu orang yang galak, seperti yang aku
lihat saat menjadi juri kompetisi memasak di sebuah stasiun TV," kata
Ray dengan tersenyum.
"Dasar kau. Itu hanya akting agar sebuah acara menjadi lebih menarik.
Pada dasarnya, ya seperti inilah kami," ucap Marinka, menjelaskan.
Mereka bertiga lalu ngobrol mengenai bermacam hal. Dari mulai hal umum
sampai masalah pribadi. Dari pembicaraan itu Ray menjadi tahu alasannya
kenapa Marinka dan Farah berada di kapal ini. Menurut mereka selain
untuk berliburan, mereka juga diundang oleh teman mereka yang sekarang
menjadi kepala Chef di kapal ini untuk suatu konferensi Chef. Selain itu
mereka juga diundang untuk menjadi juri kompetisi memasak tingkat Asia,
yang akan syuting di kapal ini yang rencananya akan ditayangkan di
salah satu TV khusus Chanel Makanan.
"Kau sendiri bagaimana, Ray?" tanya Farah.
Ray lalu menjelaskan kenapa dia berada di kapal pesiar ini. Tentu ada
hal-hal tertentu yang tidak dia katakan pada Marinka dan Farah.
Pembicaraan mereka berakhir saat Marinka mengatakan ada pekerjaan yang
harus dia selesaikan, begitu juga Farah. Tapi sebelum berpisah mereka
berjanji akan bertemu kembali begitu ada waktu luang.
-00-
Setelah Marinka dan Farah pergi, Ray lalu kembali ke kamarnya. Tapi
karena merasa bosan, dia keluar lagi sambil membawa kameranya. Seharian
itu Ray sibuk menjelajah seluruh bagian kapal. Kali ini dia lebih detail
melihat dari pada kemarin hanya sekilas. Mulai bagaimana cara kerja
mesin sampai standar keamanan kapal dan juga peralatan yang tersedia
saat terjadi keadaan darurat.
Sempat juga Ray melihat proses pengambilan gambar acara yang melibatkan
Marinka sebagai juri. Lalu juga menengok tempat Farah mengikuti
konferensi Chef seluruh dunia. Setelah makan siang dia lalu tidur
sejenak, sebelum akhirnya kembali naik ke geladak. Ikut bermain basket,
berenang, juga berkenalan dan berbincang dengan beberapa orang sambil
melihat sunset di ufuk barat. Dari hasil pembicaraannya dengan beberapa
orang, Ray akhirnya tahu kenapa dia bisa sampai berada di kapal ini.
Kapal pesiar ini telah disewa oleh salah satu konglomerat dari Shanghai,
Tiongkok yang bernama Raymond LIe. Raymond lalu mengundang para
koleganya untuk berlibur menggunakan kapal pesiar ini. Dan pastinya
Rangga merupakan salah satu orang yang diundang, karena Rangga tidak
bisa datang, maka dialah kini yang berada di kapal ini.
Selain menyewa kapal pesiar ini untuk liburan, Raymond yang juga pemilik
stasiun televisi Food Chanel akan menggunakan kapal ini sebagai tempat
acara diadakannya kompetisi memasak tingkat Asia dan yang paling utama
adalah acara pertunangan putrinya dengan putra milyader dari India.
Selesai makan malam Ray lalu duduk di Bar sambil melihat pertunjukan
musik yang sedang berlangsung. Saat itulah Marinka masuk ke tempat itu
bersama beberapa temannya. Ray lalu melambaikan tangannya ke arah
Marinka. Marinka sejenak berbicara pada salah satu temannya, setelah itu
dia berjalan ke arah Ray.
"Hai," sapa Marinka.
"Hai juga. Bagaimana kegiatannya?" tanya Ray sambil mempersilahkan Marinka untuk duduk.
"Sedikit capek, tapi cukup menyenangkan. Kau sendiri bagaimana?" kata Marinka balas bertanya pada Ray.
"Seperti yang lainnya. Jalan-jalan, makan, tidur, berenang, bermalas-malasan. Mau apa lagi."
"Tampaknya kau betul-betul menikmati liburanmu?"
"Kalau sampai Bos-mu diundang oleh orang seperti Raymond Lie, pasti kau
bekerja di perusahaan besar. Kalau boleh tahu apa nama perusahaan
tempatmu bekerja?"
"Tentu, kenapa tidak. Kau mungkin pernah dengar YnS Corps."
"Wow, YnS Corps. Itu sih bukan besar lagi namanya, tapi perusahaan Super
Raksasa. Kalau aku tidak salah, bukankah pemilik YnS Corps masuk dalam
daftar majalah Forbes sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia,
bahkan Asia?"
Ray mengangguk membenarkan apa yang Marinka katakan. "Mau minum?" tanya Ray menawarkan.
"Boleh. Wine saja," jawab Marinka.
Ray lalu memesan dua gelas Wine. Red Wine untuk dirinya dan Rose Wine
untuk Marinka. "Kemana Farah, kok tidak kelihatan?" tanya Ray sambil
menunggu pesanan mereka.
"Waktu aku keluar, dia baru mau mandi. Mungkin sebentar lagi Farah menyusul kemari.
Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Mereka menikmati minuman itu
sambil memperhatikan orang-orang yang sedang asik berdansa.
"Ray kenapa kau tidak mengajak cewekmu ikut liburan?" tanya Marinka sambil memandang Ray.
Ray menjadi terdiam mendengar pertanyaan itu. Tapi kemudian dia
menjawab, "Saat ini aku tidak punya cewek." Melihat Marinka hanya
bengong memandangnya, Ray lalu melanjutkan ucapannya. "Sepertinya kau
kurang percaya."
"Cuma sedikit tidak percaya. Tapi kau Straight-kan, maksudku bukan Gay?"
"Tentu, bisa dibuktikan kalau mau. Sebenarnya aku baru saja putus dengan cewekku," ujar Ray dengan lirih.
"Sorry Ray, aku tidak bermaksud mengungkit hal itu," ucap Marinka menyesal.
"Nevermind, I am fine. Bagaimana dengan kau sendiri? Meskipun aku tidak
pernah melihat acara gosip, tapi setahuku kau belum punya pasangan?"
"Ya kau benar. Sebenarnya ada beberapa lelaki yang pernah atau sedang
dekat denganku. Tapi aku hanya belum merasa ada yang cocok. Jadi ya
beginilah, aku masih sendiri di usia yang biasanya dianggap sudah tua
untuk seorang wanita. Sebenarnya orang-tua juga sudah mendesakku untuk
segera menikah. Tapi karena memang belum ketemu jodoh, mau bagaimana
lagi. Kalau sekarang sih aku nikmati dulu kesendirianku, sebelum ada
seorang lelaki yang akan mengikatku."
Pembicaraan menjadi berhenti untuk sejenak. Marinka memesan lagi minuman untuk mereka.
"Tidak takut mabuk?" tanya Ray.
"Tidak apalah sekali-kali mabuk. Lagi pula kalau aku mabuk, aku yakin kau tidak akan membiarkan aku tidur disini."
Ray hanya tersenyum mendengar hal itu.
"Mau berdansa?" ajak Marinka.
"Tidak terima kasih. Tapi aku tidak bisa berdansa," tolak Ray.
"Ayolah, aku juga tidak bisa."
"Baiklah, ayo."
Rey dan Marinka lalu turun ke lantai dansa. Mencoba menggerakan tubuh
mengikuti irama musik. Walau tampak kaku dan aneh mereka berdua cuek
saja. Tampaknya Wine yang diminum Marinka sedikit banyak telah
mempengaruhi tingkah lakunya. Beberapa saat kemudian mereka lalu
berhenti berdansa dan kembali ke meja untuk minum lagi.
Setelah menghabiskan gelas kedua, Ray pergi ke toilet. Tapi saat dia
kembali ke mejanya Marinka tidak ada di meja itu. Saat Ray sedang
mencari Marinka, Farah datang dengan seorang lelaki. Dilihat dari wajah
dan fisiknya tampaknya dia bukan orang dari kawasan Asia. Mungkin orang
Eropa atau Amerika.
"Ray kenalkan temanku," ucap Farah.
"Paul," ucapnya.
"Ray," balas Ray.
"Mana Marinka?" tanya Farah.
"Tadi dia di sini. Tapi saat aku kembali dari toilet, dia sudah menghilang," Ray menjelaskan.
"Itu dia," tunjuk Farah ke arah orang-orang yang sedang berdansa.
Benar saja, di antara orang-orang itu Marinka tampak bergoyang sesuka
hatinya. Dia tampaknya sudah mabuk, hingga tidak mempedulikan keadaannya
yang cukup menggelikan.
"Ray, tolong kau bawa Marinka ke kamar ya. Dia kalau sudah mabuk suka
membuat heboh. Sebelum itu terjadi sebaiknya bawa dia ke kamar biar
istirahat," ucap Farah.
"Baiklah. Tampaknya aku sendiri perlu istirahat," Ujar Ray beranjak ke arah Marinka.
Awalnya Marinka menolak ajakan Ray. Tapi dengan sedikit paksaan dan
bantuan dari Farah akhirnya Marinka mau juga di papah oleh Ray.
"Hati-hati, Ray!" pesan Farah.
Dengan susah payah Ray akhirnya berhasil membawa Marinka ke kamarnya dan
membaringkan tubuhnya di atas ranjang, saat itulah gaun yang dipakai
Marinka tersingkap dan memperlihatkan paha putih mulusnya. Ray yang dari
tadi kepanasan karena sentuhannya dengan tubuh Marinka kini menjadi
merah mukanya. Ditambah lagi efek dari Wine yang diminumnya, membuat
jatungnya lebih cepat berdetak dan seperti ada yang bereaksi di bagian
bawah tubuhnya.
Sementara Marinka masih mengoceh tidak jelas. Takut kehilangan kontrol,
Ray berusaha untuk cepat meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja dia
turun dari ranjang tangannya sudah dipegang oleh Marinka. Ray lalu
berbalik, ternyata Marinka telah bangkit dan duduk di atas ranjang.
Mukanya merah, pandangannya sayu, dahi dan lehernya basah oleh keringat.
"Ray temani aku ya?" ucap Marinka.
Ray masih terpaku diam. Ada pertentangan di dalam hatinya, antara
menolak atau menerima. Melihat Ray diam saja, Marinka lalu turun dari
ranjang walau dengan sempoyongan. Ray menahan tubuh Marinka karena takut
terjerembab. Ray masih mencoba bertahan dengan godaan itu. Dia kembali
mencoba melangkah ke arah pintu. Tapi Marinka mendahuluinya, hingga kini
jalannya terhalang oleh tubuh Marinka.
Untuk beberapa detik mereka masih berpandangan. Tiba-tiba Marinka
mendorong dada Ray hingga rebah di ranjang. Marinka menindih Ray. Mata
mereka saling berpandangan. Desah nafas bergemuruh hingga terasa di
masing-masing wajah dua manusia itu. Bibir mereka makin mendekat
akhirnya bersentuhan, mesra sekali.
Kini Ray berani memeluk Marinka. Bibir mereka kini telah bersatu,
melepas birahi. Kepala mereka bergerak saling silang memainkan irama
nafsu yang makin menggelora, membuat ruangan sejuk itu menjadi hangat.
Ciuman Ray bergeser ke leher Marinka, membuat Marinka mendesah menikmati
sensasi yang dirasakannya.
"Ahh.. Ray.. ehmm..," desah Marinka, menggoda.
Marinka melepaskan kancing-kancing kemeja Ray. Dada bidang yang
ditumbuhi rambut itu terbukalah sudah. Sudah pasti ciuman dan jilatan
lidah Marinka menari-nari disana. Pikiran Ray sesaat kembali ke masa
lalu, saat mesih mereguk manisnya cinta dengan Cynthia. Tapi dia segera
menepis bayangan itu.
"Rin.. ahh..," Ray balas mendesah.
Seketika itu juga Ray menarik gaun putih Marinka hingga lepas dan
dilemparkannya, entah kemana. Kini dua dada bertemu, dan merapat erat
sekali. Marinka memeluk Ray dan mereka kembali berciuman ala orang
Perancis.
Keadaan berbalik, kini Ray berada di atas Marinka, melancarkan
serangan-serangan indah ke leher dan dada Marinka. Dijamahnya payudara
Marinka, diremasnya lembut. Payudara besar yang menggoda siapapun ingin
menjamahnya. Sesekali puting kemerahan Marinka dijepitnya diantara
telunjuk dan jari tengahnya, membuat Marinka tengadah dan menggeliat
liar. Lidah Ray pun menyapu di dada kiri dan kanan Marinka. Tampak basah
dan mengkilat diterpa cahaya lampu, sehingga menambah kesan estetis,
atau mungkin erotis tepatnya.
Ray kemudian menanggalkan sepatu yang masih dipakai Marinka. Marinka
hanya terdiam, menunggu apa yang akan dilakukan Ray selanjutnya. Paha
putih mulus Marinka diusapnya ke arah kemaluan yang masih terbungkus
celana dalam satin putih berenda dibagian atasnya. Bulu-bulu halus
Marinka mencuat keluar dari balik renda transparan.
Ray kemudian menciumi perut Marinka. Dimainkannya lidah Ray di area pusar Marinka yang beranting.
"Oooh.. Ray ohh.. ehmm.. ssp.. aahh," kembali terdengar desah Marinka,
manakala sapuan lidah Ray bergerak semakin ke bawah menuju tepian celana
dalam Marinka. Dipeganginya kepala Ray, dan diusap-usap rambutnya.
Ray kemudian menarik celana dalam Marinka. Dilemparkannya sembarang, dan
menyangkut di satu patung yang menghias ruang itu. Bulu halus Marinka
tercukur rapi membentuk huruf V. Ray mengendus-endus bulu pubis Marinka,
membuat Marinka menggelinjang kegelian. Sampailah kini Ray pada labia
mayoranya Marinka. Lidah Ray menari-nari disana, namun beberapa saat
kemudian Marinka menepiskan kepala Ray.
Marinka mendorong Ray hingga kembali Ray rebah di pinggiran ranjang.
Dengan bernafsu dilepasnya ikat pinggang Ray dan ditariknya juga celana
Ray. Terlihat batang yang masih tertutup, berdenyut seakan ingin
berontak merobek celana dalam yang masih menutupinya.
Perlahan lidah Marinka menari di atasnya. Ray diam mengamati perlakuan Marinka kepadanya.
Sesekali Ray pun tengadah menikmati tarian gemulai lidah Marinka. Sesaat
kemudian Marinka berhasil menarik lepas celana dalam Ray, hingga batang
Ray pun mencuat ke atas. Bulu lebatnya menghiasi daerah sekitar
kemaluan Ray. Kenyataan ini tidak disia-siakan Marinka untuk menyusuri
setiap centi batang penis Ray dengan ujung lidahnya, membuat Ray
mendesah kenikmatan. Zakar Ray pun tak luput terkena sapuan lidah
Marinka yang semakin menggila.
Marinka menghentikan kegiatannya. Setelah mengambil nafas sejenak
Marinka meraih kembali batang penis Ray yang sedari tadi berdiri tegak
laksana menara Eiffel Paris. Sedikit mengocok, Marinka
mengkombinasikannya dengan kuluman-kuluman lembut, dan gesekan giginya.
Tangan Ray meremas sprei putih pertanda kegelian yang ditahannya. Irama
turun naik kepala Marinka terlihat indah sekali. Semakin cepat, semakin
tak kuasa Ray menahan sensasinya.
"Mmmphh.. mmphh.. mmphh," terdengar Marinka menggumam, karena mulutnya penuh dengan batang penis Ray.
Ray tidak ingin kenikmatan itu cepat berakhir. Diangkatnya kepala
Marinka, dan dibaliknya Marinka hingga berbaring. Ray kemudian bergerak
ke atas Marinka dan berbalik. Kini mulut Ray berhadapan dengan vagina
Marinka yang merah merekah, dan mengkilat karena basah. Marinka pun tak
menyia-nyiakan penis Ray yang menggantung di hadapannya. Keduanya saling
menjilat, menyedot, mencium, dan melakukan beberapa variasi lainnya.
Hingga akhirnya, Marinka berteriak keras.
"Aaauugghh.. aahh.. Ray.. hh.. God.. hngg.. ghh," sedikit tengadah
Marinka berteriak. Giginya mengatup. Panjang sekali lenguhan kenikmatan
yang terdengar. Mulut Ray tak luput dari semburan cairan kenikmatan
Marinka.
"Stop.. Stop.. please Stop Ray.., aku tidak mau dapet dua kali dengan cara ini," Marinka memohon.
Ray berbaring, sedangkan Marinka berada di atasnya, ditopang lutut.
Marinka memegang penis Ray dan mengusap-usapkannya di bibir vaginanya,
hingga akhirnya, 'Bless..!' sedikit demi sedikit penis Ray hilang di
telan vagina Marinka.
Marinka bergerak turun naik, dan memutar-mutarkan pinggulnya. Ray yang
sedari tadi diam, mulai melakukan penetrasi dari bawah, hingga
lengkaplah kenikmatan yang diterima Marinka.
Setelah puas dengan posisi itu, kini Ray bangkit, dan membiarkan Marinka
menungging. Ray kemudian menyodok vagina Marinka dari belakang. Pantat
Ray bergoyang maju mundur. Perut Ray yang menempel di pantat Marinka,
menimbulkan bunyi berulang-ulang. Satu tangan Ray memegang pinggul
Marinka, dan satunya lagi menarik rambut Marinka ke belakang. Marinka
menjadi tengadah, sambil menjilati tangannya sendiri. Sesekali tangan
yang telah dijilat diusapkannya ke clitorisnya sehingga menambah
rangsangan di daerah miliknya tersebut.
"Mmphh.. Ayoo.. Ray ohh.. hmm.. ahh.. Hmmphh," gumam Marinka.
Nama Ray dipanggilnya berulang kali. Gumaman Marinka seirama dengan
keluar masuknya penis Ray di vaginanya. Ray kemudian membalik Marinka,
sehingga Marinka rebahan. Ditusuknya lagi lubang merah merekah itu
dengan batang Ray. Kaki Marinka menempel di dada Ray, sehingga
memudahkan Ray utnuk melakukan penetrasi lebih dalam lagi. Hingga
akhirnya..
"Rin.. I want to cum.. I want to cum..," kata Ray setengah berteriak.
"Cum inside me honey, I want your juice so bad," balas Marinka.
"Kkiita bbarenganhh.. sayhh.. Aaarrgghh..Ray ohh..!" lanjut Marinka yang
ditutup dengan teriakan nikmat tanda puncak kedua telah diraihnya.
"Aaarrgghh..!" bersamaan dengan teriakan Marinka, Ray pun berteriak.
Tiga sampai empat kali semprotan masuk ke dalam vagina Marinka. Dua
semprotan menyembur di perut hingga dada Marinka. Marinka kemudian
mengusapkannya ke seluruh permukaan payudaranya. Dijilatnya jari-jari
bekas usapan di dadanya.
Ray terkulai lemas dan ambruk di sisi Marinka. Keduanga berciuman mesra.
Butiran keringat di muka Marinka membasahi rambutnya juga. Dada Ray pun
mengkilat berkeringat. Marinka turun dari ranjang dan menuju kamar
mandi. Sesaat kemudian kembali Marinka naik ke ranjang dan menarik bed
cover tebal dan hangat, sehingga menutupi keduanya hingga batas dada.
Kepala Marinka bersimpuh di dada Ray, dan sesekali menciumi dadanya.
Hingga akhirnya mereka tertidur karena kelelahan.
-00-
The Royal Continent, Samudera Hindia. Dua puluh jam sebelumnya.
Keesokan harinya saat terbangun Ray tidak menemukan Marinka di sisinya.
Hanya sebuah pesan tergeletak di meja dengan isi, "Terima kasih untuk
yang semalam. Sampai bertemu nanti sore." Setelah membaca pesan itu, Ray
turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Setelah sedikit membasuh
muka, dia lalu memakai celananya. Dan kembali ke kamarnya tanpa
mengenakan pakaiannya.
Keluar dari kamar mandi Ray menemukan sebuah pesan di bawah pintu
kamarnya. Undangan untuk menghadiri pesta pertunangan putri Raymond Lie.
Setelah rapi, Ray lalu keluar dan menuju restoran untuk mengisi
perutnya yang kelaparan. Seperti kemarin, sehabis makan Ray kembali
menjelajahi isi kapal. Bertanya apa saja yang ingin diketahuinya. Yang
sedikit menganjal dihatinya adalah saat dia mendengar pembicaraan di
antara awak kapal bahwa kemungkinan akan ada badai.
Selepas tengah hari Ray kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
Menjelang sore dia keluar kamar. Saat itulah dia bertemu Farah yang juga
baru keluar dari kamar. "Hai," sapa Ray.
"Hai juga Ray," balas Farah.
"Mau ngegym?" tanya Ray, melihat Farah memakai baju sport.
"Yup, mau ikut?"
"Bolehlah, kebetulan dari pagi belum sempat gerak badan," ujar Ray.
"Bukankah semalam sudah gerak badan," sindir Farah.
"Eh itu.."
"Santai saja Ray. Kita semua sudah dewasa kok," ujar Farah tersenyum.
Setelah hampir satu jam berada di ruang Fitnes, mereka lalu keluar
menuju kolam renang. Ray dan Farah membatalkan rencana mereka untuk
berenang karena ternyata di luar turun hujan, walau tidak terlalu deras.
Batal berenang Ray dan Farah lalu duduk di restoran untuk melepas
lelah.
"Dapat undangan untuk nanti malam?" tanya Farah.
"Ya. Tapi anehnya aku belum pernah bertemu dengan orang yang mengundangku."
"Nanti malam kau juga akan bertemu dengannya."
"Tapi mengapa Raymond Lie harus mengundang banyak Chef untuk hal seperti
ini? Apa hubungannya Raymond Lie dengan semua Chef ini," ujar Ray
penasaran.
"Tentu semua ini Chef yang ada di sini tidak semua ada hubungannya
dengan Raymond Lie. Tapi hubungannya dengan Angela Lie, anaknya."
"Maksudnya?"
"Angela Lie itu juga seorang Chef. Tunangannya juga berkecimpung dengan
dunia makanan, jadi wajar kalau undangannya kebanyakan para Chef," ucap
Farah menerangkan.
"Hebat! Ayahnya jadi salah satu orang terkaya di dunia, tapi anaknya masih mau jadi seorang Chef?"
"Ya begitulah Angela."
"Apa kau mengenalnya secara personal?"
"Kenal, tapi tidak terlalu dekat. Marinka yang lebih mengenalnya."
"Ada apa ini, kenapa sebut-sebut namaku?" tanya Marinka yang tiba-tiba sudah ada di belakang mereka.
"Tidak ada apa-apa, hanya sedang berbicara soal Angela Lie," ucap Farah.
"Oooh.."
"Apa persiapannya sudah selesai, Rin?' tanya Farah.
"Sudah. Tinggal pelaksanaannya saja. Semoga semuanya lancar sesuai rencana," harap Marinka.
"Ya, semoga saja."
-00-
The Royal Continent, Samudera Hindia. Beberapa jam sebelumnya.
Acara pertunangan itu berlangsung sukses. Semua orang bersuka cita,
terutama Raymond Lie dan keluarganya. Setelah acara selesai, Raymond Lie
lalu mengadakan pesta meriah. Berbagai macam hidangan di suguhkan untuk
para tamu undangan. Semua jenis makanan ada. Mulai dari makanan Asia,
Eropa hingga Amerika tersaji dengan cantiknya, hingga menggoda selera
semua undangan lalu.
Ray, Marinka, Farah dan Paul duduk disatu meja. Ray yang tidak terlaku
suka makan, hanya menyantap apa yang benar-benar ingin dimakannya.
Mereka kemudian ikut larut dalam pesta itu. Bernyanyi, berdansa, ikut
bermain game yang diadakan tuan rumah dengan bermacam hadiah yang cukup
menggiurkan.
Diluar hujan yang tadinya hanya gerimis kini turun dengan lebatnya.
Cahaya dan suara petir lalu mulai datang bersahutan. Semuanya tampaknya
tidak terpengaruh dengan keadaan luar. Suasana baru sedikit terganggu
ketika ada pengumuman dari kapten kapal bahwa kapal ini mungkin sedikit
akan terguncang karena akan melewati badai di depan, dan para penumpang
di harapkan untuk sedikit waspada.
Beberapa saat badai itu benar-benar datang dan sedikit
mengombang-ambingkan kapal itu. Semua orang seakan lega ketika badai itu
berlalu. Apa lagi ketika terdengar kembali pengumumam bahwa para
penumpang di harap tenang kembali. Karena di Samudera Hindia ini jarang
sekali terjadi badai. Jadi tidak mungkin badai akan datang secara
berturutan. Mereka kembali meneruskan pesta hingga mendekati tengah
malam.
Semuanya benar-benar menjadi lega ketika hujan sudah berhenti dan suara
petir tidak terdengar lagi. Tapi kelegaan hanya dapat dirasakan sesaat.
Saat orang-orang bersiap untuk tidur, badai itu datang kembali. Bahkan
lebih dahsyat berkali lipat dari badai yang pertama. Suara menderu-deru
terdengar perlahan lalu membesar, seperti banyak pesawat terbang di atas
kapal.
Kapal itu terombang-ambing selama berjam-jam oleh gelombang dahsyat yang
dibawa oleh badai maha dahsyat. Begitu dahsyatnya badai, hingga kapal
pesiar yang biasanya berlayar gagah di lautan luas kini tampak seperti
kapal mainan yang dilempar kesana-kemari oleh tangan anak kecil. Bahkan
Sang Kapten yang berpengalaman lebih dari tiga puluh tahun seperti tidak
tahu apa yang harus dilakukannya.
Semua orang menjerit kaget saat terdengar suara benturan dahsyat. Ray
yang tidak bisa tidur karena merasakan firasat yang aneh mencoba melihat
keadaan luar menjadi kaget saat melihat bayangan hitam besar menghadang
di depan kapal. Dan semuanya semakin histeris saat kilatan petir
menampakkan wajah asli bayangan hitam itu. Bayangan hitam itu bukan lain
adalah tebing karang yang siap menghadang laju kapal itu. Ray yang
melihat dari jendela kapal merasakan kapal mencoba menghindari tebing
itu. Tapi tampaknya ada sedikit keterlambatan, hingga benar saja apa
yang dikhawatirkan oleh Ray, tiba-tiba terdengar benturan keras yang
dahsyat. Lambung kapal menghantam tebing karam itu.
Ray yang menyadari keadaan yang terjadi segera berlari keluar dari
kamar. Menggedor pintu sebelah, dan saat pintu terbuka dia segera
menarik Marinka dan mengajaknya lari tidak mempedulikan apa yang
dipakainya. Sambil berlari menuju dek, Ray bertanya, "Dimana Farah?"
"Dia belum kembali ke kamar, tadi bersama Paul."
Keadaan menjadi memburuk dengan cepatnya, semua orang berusaha untuk
menyelamatkan diri masing-masing. Sesaat setelah benturan, gelombang
raksasa menghantam kapal. Orang-orang yang tidak sempat berpegangan
terbawa oleh gelombang dan jatuh ke lautan.
Di atas dek kapal keadaan sudah ramai oleh para penumpang. Tidak seperti
yang diperkirakan Rey. Angin dan gelombang dahsyat lebih terasa di atas
dek ini. Keadaan semakin kacau saat orang-orang berebut untuk naik ke
sekoci yang hanya tinggal berapa buah. Sementara kapal mulai terlihat
tenggelam perlahan-lahan. Sambil menunggu sekoci yang diturunkan Rey
menyuruh Marinka untuk berpegangan erat pada pagar pembatas.
Gelombang tinggi masih terus menghantam kapal, dan gelombang itu membawa
penumpang yang nahas serta benda apa saja yang bisa dibawanya menuju ke
laut. Saat menunggu antrian untuk naik sekoci, Ray melihat Paul. Karena
Paul sendirian Ray lalu bertanya dimana Farah adanya. Sebenarnya Ray
ingin memukul Paul, saat mendengar Paul meninggalkan Farah di kamarnya.
"Aku akan mencari Farah, kau tunggu disini," kata Ray setengah berteriak agar suaranya bisa didengar Marinka.
Ray mengambil tali yang menggeletak di lantai. Lalu dengan cepat dia
berlari turun ke lantai empat. Untung lantai itu belum di genangi air.
Ray segera mencari kamar Paul, dan dia menjadi semakin panik saat air
mulai menggenangi lantai itu. Untunglah tidak lama kemudian dia
menemukan Farah menggeletak di lantai. Tanpa membuang waktu dia
membopong tubuh Farah dan mencoba segera kembali ke atas dek kapal.
Hal itu menjadi semakin sulit, bukan karena Ray keberatan menggendong
tubuh Farah. Melainkan karena air sudah setinggi lututnya, hingga
gerakannya tidak bisa cepat. Keadaan menjadi gawat saat ketinggian air
hampir setinggi dadanya. Ray semakin bersemangat saat dia sudah melihat
tangga yang menghubungkan lantai empat dan lima. Saat jarak tinggal
beberapa meter, tiba-tiba arus air menghantam tubuh Ray dari arah
belakang. Akibatnya Farah hampir terlepas dari gendongannya.
Dilain sisi, karena hantaman air itu Farah menjadi sadar, dan anak
tangga itu kini sudah ada di hadapannya. Ray lalu menaiki anak tangga
itu satu demi satu. "Terima kasih, Ray," ucap Farah.
"Kau sudah sadar, apa ada yang terluka?" tanya Ray.
"Tidak ada yang terluka. Tolong turunkan aku, biar aku bisa jalan sendiri."
"Kau yakin?"
"Ya."
Ray menurunkan Farah, lalu sambil menggandengnya Ray mengajak Farah
untuk cepat naik ke atas. Di lantai lima Ray dan Farah bertemu Marinka
yang hendak menyusul mereka. Ray mencoba berpikir cepat, dia merasa
jumlah sekoci tidak akan sebanding dengan penumpang kapal. Dia lalu
teringat dengan gudang peralatan keselamatan yang dilihatnya tempo hari.
Takut terpisah, Ray lalu mengikat tubuhnya dengan tubuh Farah dan
Marinka dengan tali yang ditemukannya.
Dia lalu berlari menuju gudang perlengkapan, sambil mencoba mencari
benda yang kira-kira bisa menyelamatkan mereka, sementara Farah dan
Marinka mengikutinya dari belakang. Sampai di gudang itu hanya ada
beberapa jaket pelampung yang tersisa. Tanpa menunggu Waktu lagi mereka
lalu memakai jaket itu masing-masing dua rangkap.
Sementara kapal semakin miring dan hampir setengahnya sudah berada di
dalam laut. Sementara masih banyak penumpang yang mencoba naik ke sekoci
yang hanya tersisa beberapa buah. Kini kapal itu ini benar-benar sudah
tegak lurus. Dan karena tarikan dari bagian kapal yang sudah tenggelam
maka kapal itu tenggelam dengan cepatnya. Ray yang sudah merasa tidak
bisa berbuat apa-apa lagi, lalu memeluk Farah dan Marinka, kemudian
membawa mereka melompat ke laut.
Tubuh mereka masuk dan tenggelam ke dalam lautan. Dan hampir saja
terbawa oleh pusaran gelombang andai Ray tidak cepat menggerakan kakinya
untuk berenang. Dan jaket pelampung yang mereka pakai sedikit banyak
membantu tubuh mereka untuk timbul ke permukaan. Begitu berada di
permukaan Ray segera memeriksa keadaan Farah dan Marinka, tubuhnya
mereka lemas tapi masih sadar. Dia lalu meminta mereka berdua untuk
berusaha berenang.
Sementara di belakang mereka terdengar suara dentuman keras untuk
terakhir kali. Kapal pesiar yang mewah dan perkasa itu kini benar-benar
tenggelam di lautan luas. Hal itu juga menghasilkan gelombang yang cukup
dahsyat hingga menyeret tubuh mereka. Untunglah ikatan tambang itu
masih cukup kuat, hingga mereka tidak terpisah jauh. Selain melemparkan
tubuh mereka, gelombang itu juga membawa sedikit keberuntungan untuk
mereka. Beberapa buah papan yang cukup lebar terlempar ke dekat mereka.
Ray segera meraih salah satu papan itu. Kemudian dia menarik Farah dan
Marinka, lalu menyuruh mereka agar berpegangan pada papan bekas pintu
itu. Walau masih belum pasti nasib mereka selanjutnya, tapi Ray sedikit
bersyukur dengan adanya papan itu mereka bisa beristirahat. Tanpa peduli
entah kemana gelombang membawa mereka, mereka bertiga terus berpegangan
erat pada papan itu.
Ray tidak tahu entah dimana mereka sekarang atau sampai kapan akan
seperti itu, karena semuanya gelap. Hanya ada air dan air, serta Farah
dan Marinka yang memeluk erat tangannya. Karena badai sudah mereda, maka
Ray menyuruh mereka berdua untuk naik ke atas papan itu untuk
menghindari tubuh mereka lebih lama terendam dalam air.
Ray sendiri sebenarnya sudah kedinginan dan hampir tidak kuat. Tapi dia
berusaha sekuat usaha untuk menahan hawa dingin itu. Untunglah masih ada
Farah dan Marinka, sentuhan tangan mereka masih bisa sedikit memberi
kehangatan dan rasa sadar pada Ray. Ray sendiri tidak yakin, apakah dia
masih akan kuat menghadapi hal ini seandainya dia sendirian. Dan Ray
harus mengalami siksaan hal itu selama berjam-jam.
Untunglah saat ambang kekuatan tubuhnya hampir berakhir. Matahari mulai
menampakkan sinarnya. Laut sudah kembali tenang dan damai seperti tidak
pernah terjadi apapun beberapa jam yang lalu. Angin juga bertiup
sepoi-sepoi hingga papan yang menyelamatkan mereka seperti tidak
bergerak.
-00-

Samudera Hindia. Saat ini, hari ke 1.
"Whaaa...!" jeritan Marinka menyadarkan Ray dari lamunannya.
"Ada apa?" tanya Ray.
"I..itu..," kata Marinka sambil menunjuk ke arah belakang Ray.
Serentak Ray dan Farah melihat ke arah yang ditunjuk oleh Marinka.
Sama seperti Marinka, Farah yang melihat pemandangan yang ada di depannya juga menjerit, "Kyaaa...!"
Di permukaan laut tampak potongan kapal, peralatan dan barang-barang
penumpang, bahkan beberapa tubuh penumpang kapal yang telah kaku banyak
bertebaran di sekitar mereka.
"Apakah kita akan bernasib seperti mereka?" tanya Marinka ketakutan melihat pemandangan di sekitar mereka.
"Sampai ada pertolongan datang aku akan berusaha supaya kita tidak
bernasib seperti mereka," ujar Ray mencoba menghibur mereka berdua.
Pertama Ray berusaha meraih sebuah papan yang cukup lebar, yang bisa dia
tumpangi. Kemudian Ray mengikat papan yang baru ditemukan dengan papan
yang di tumpangi Farah dan Marinka. Dia juga mengambil beberapa potongan
kapal untuk dipakai sebagai dayung. Dengan begitu mereka dapat meraih
barang-barang yang bertebaran di sekitar mereka tanpa perlu menggunakan
banyak tenaga. Setelah itu mereka memilah-milah barang itu dan menyimpan
barang yang masih berguna dan membuang yang tidak mereka perlukan.
Tapi angin yang berhembus tenang itu tidak berlangsung lama. Ketika
matahari sedikit meninggi, angin kembali berhembus cukup kencang. Hingga
mereka terseret semakin jauh meninggalkan lokasi kejadian. Entah berapa
lama mereka terseret oleh hembusan angin. Saat matahari hampir tepat di
atas kepala mereka, angin menjadi tenang
Saat itulah Ray berteriak, "Hai coba lihat itu! Sepertinya perahu atau
pulau," ucapnya penuh semangat sambil menunjuk titik hitam di kejauhan.
Farah dan Marinka ikut memandang apa yang ditunjuk oleh Ray. Mereka
memang dapat melihat titik hitam itu. Tapi benarkah apa yang dikatakan
Ray. Mereka tentu berharap itu bukan sekedar fatamorgana. Atau ilusi
yang muncul karena kesadaran mereka yang semakin berkurang.
"Apa itu benar Ray?" tanya Farah dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
"Iya Ray, dari tadi kita sudah melihat hal seperti itu. Tapi akhirnya mengecewakan," sambung Marinka.
"Memang bisa salah. Tapi aku yakin kalau yang ada di depak kita itu sebuah pulau," ucap Ray penuh keyakinan.
"Baiklah ayo kita kesana. Tidak ada salahnya mencoba," kata Farah.
Maka dengan menggunakan dayung, mereka berusaha untuk mengarahkan papan
yang mereka tumpangi ke arah titik hitam itu. Semakin lama titik hitam
itu semakin membesar dan apa yang dikatakan Ray itu memang benar.
Bayangan hitam yang semakin membesar itu membuat mereka bisa sedikit
tersenyum. Sebuah pulau atau kapal adalah suatu hal yang sangat mereka
harapkan.
Mereka semua sudah lelah dan tersiksa baik jiwa maupun raganya karena
mereka hampir kehilangan nyawa, dan kini mengapung di tengah lautan yang
luas selama berjam-jam. Walau sudah tampak semakin jelas, tapi jarak
mereka dengan titik hitam itu masih jauh. Ray meminta Farah dan Marinka
untuk lebih semangat mendayung.
Ketika matahari mulai condong ke barat, mereka mulai dekat dengan
bayangan hitam itu. Dan kini bayangan hitam itu mulai tampak bentuknya.
Warna hijau mulai mengganti warna hitam yang mereka lihat sebelumnya.
Dan semakin dekat mereka semakin yakin kalau apa yang mereka tuju adalah
sebuah pulau. Warna hijau semakin mendominasi, memanjang dibagian atas.
Sementara warna putih dan kuning dibagian bawah.
Semakin dekat mereka kini dapat melihat gugusan bukit atau gunung yang
menjulang tinggi serta hamparan pantai yang memutih sebagian. Warna
langit mulai bersemu merah saat Ray dapat menjejakan kakinya di pasir
pantai pulau itu. Ray lalu membantu Farah dan Marinka untuk turun dari
papan itu. Setelah melepas jaket, mereka bertiga menggeletak bersisian
di pantai itu.
Rasa hangat dari pasir yang menyengat punggung, seakan memijat tubuh
mereka. Sungguh terasa nyaman dan seperti menghilangkan rasa penat di
tubuh mereka. Untuk beberapa saat mereka semua diam. Hanya suara nafas
yang terengah-engah terdengar dari mulut mereka. Walau merasakan lelah
yang amat sangat, namun mereka tetap merasa bersyukur karena masih bisa
bertahan hidup sampai saat ini.
"Apa kita telah berhasil kembali kedaratan?" tanya Marinka, dengan nafas yang sudah sedikit teratur.
"Aku tidak tahu ini daratan utama atau bukan. Tapi setidaknya kita masih
selamat, itu yang paling utama," ucap Ray sambil bangkit berdiri.
"Bisa juga ini pulau tidak berpenghuni dan kita masih jauh dari siapa,
dan dari manapun," lanjut Farah yang juga beranjak bangun dan
mengedarkan matanya ke sekeliling tempat itu.
"Mudah-mudahan saja ada makanan dan minuman di tempat ini,” Marinka berharap.
"Itu juga yang kuharapkan. Untuk itu aku akan berkeliling di sekitar tempat ini untuk menemukan sumber air tawar."
"Apa tidak sebaiknya kau istirahat dulu Ray?" tanya Farah.
"Tidak apa. Aku memang lelah . Tapi kita harus segera menemukan sumber
air untuk kita minum. Aku tahu kalian juga lelah. Oleh karena itu kalian
tetap saja di sini untuk beristirahat. Carilah tempat yang terlindung,
tapi jangan terlalu jauh dari pantai. Aku akan berkeliling untuk melihat
keadaan sekitar, siapa tahu aku dapat menemukan minuman atau makanan."
Mereka lalu beranjak menjauh dari pantai. Farah dan Marinka lalu duduk
di sebuah batang pohon kelapa yang menjulur datar. Sementara Ray
meneruskan langkahnya menuju hutan yang ada di depannya. Matahari senja
masih memberikan sedikit sinarnya untuk menerangi jalannya. Baru
beberapa puluh meter berjalan, Ray mendengar suara air mengalir. Dia
lalu berusaha untuk menemukan dari mana asal suara itu. Setelah mencari
beberapa lama akhirnya dia menemukan tempat itu. Sebuah kolam air dengan
air terjun kecil di atasnya. Airnya tampak jernih. Ray lalu sedikit
mencicipi air itu. Airnya tawar dan terasa segar ditenggorokan.
Ray lalu memperhatikan tempat itu. Ada banyak batuan besar yang
mengelilingi sekitar kolam. Dan ada diantara bebatuan itu yang saling
bertumpukan seakan membentuk Goa. Ray lalu berpikir bahwa Goa buatan itu
bisa dipergunakan untuk mereka tinggal selama ada di pulau ini. Ray
lalu kembali ke tempat Farah dan Marinka beristirahat sambil membawa air
untuk mereka minum.
"Aku menemukan tempat yang bisa kita gunakan untuk beristirahat. Kalau
kalian sudah merasa baikan bantu aku untuk membawa barang-barang yang
kita kumpulkan tadi siang," ucap Ray.
Farah dan Marinka membawa barang-barang, sementara Ray membawa kedua
papan yang telah menyelamatkan mereka. Satu papan Ray pergunakan untuk
alas tidur, sementara yang satu Ray pakai untuk menutupi pintu Goa batu
itu agar dapat sedikit mengurangi hawa dingin yang mungkin akan menerpa
mereka saat tidur. Mereka semua akhirnya tidur, setelah puas mengisi
perut mereka dengan air.
-00-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar