18.00 7 DESEMBER 2016 - HARI PERTANDINGAN- STADION BUNG KARNO
INDONESIA RAYA
MERDEKA MERDEKA
TANAHKU NEGERIKU YANG KUCINTA
INDONESIA RAYA
MERDEKA MERDEKA
HIDUPLAH INDONESIA RAYA
HIDUUUP INDONESIAA…DISINI KITA PASTI MENANG!...TOOTTT..TOOTTT.TTOOOOTTTT
Lagu Indonesia Raya telah berkumandang. Kapasitas tribun Stadion GBK
88.000 orang terisi penuh. Tidak ada warna biru Timnas Thailand di
tribun. Hanya ada warna merah putih. Lautan merah putih bergemuruh
meneriakkan satu kata ; menang. Sangat berbeda dengan tahun 2010.
Sekarang terdengar lebih riuh. Penonton terasa begitu optimis.
Conchita belum hadir. Lima bangku tribun utama masih kosong. Tidak
apa-apa. Kedatangannya kemarin beserta percintaan kami nan begitu indah
terasa sudah sangat cukup. Tidak akan ada lagi tragedi seperti yang
terjadi di stadion Rajamanggala. Tidak akan ada lagi.
“ HEI BOCAH!,” Bang Ferdinand Sinaga menarik kerah bajuku “ KAU MAIN YANG BENAR SEKARANG! JANGAN KAYAK KEMARIN!,” bentaknya.
“ SIAP BANG!,” jawabku “ DISINI KITA PASTI MENANG!,” teriakku.
“ PRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTT”
Peluit berbunyi. Pertandingan dimulai.
***
Awal pertandingan tidak berjalan mudah bagi kami.
Thailand memeragakan permainan power football. Kecepatan pemainnya di
atas rata-rata para pemain Timnas. Aku dan Alfred harus pontang panting
mengamankan lini pertahanan. Bukan hanya pontang panting, kami juga
harus bergerak lebih cepat membangun serangan demi menghasilkan
peluang.
Kaki para pemain Thailand juga sangat keras. Kami membuktikannya
sendiri. Walau sudah terbiasa menghadapi kerasnya latihan sepak bola
Inggris, menghadapi spirit bertanding serta kekuatan fisik mereka
benar-benar membuat kami kelabakan.
Sudah menit 40 sekarang. Penonton terus berteriak memberi semangat tapi kami belum juga dapat memperkecil ketertinggalan.
“ PRIIIITTTTTT, CORNER CICK THAILAND!”
Kiper I Gede Wiryawan menepis bola tendangan salah seorang pemain
Thailand. Kami bahkan sudah tak tau lagi siapa yang menendang bola
saking derasnya mereka menyerang. Thailand menunjukkan permainan sebagai
Juara Bertahan.
Menghadapi tendangan sudut, aku berdiri dekat kiper, menempel Teerasil
Dangda penyerang terbaik mereka. Ini salah satu kelebihanku di Norwich.
Merespon tendangan sudut tim lawan. Thailand boleh punya tim kuat dengan
kemampuan skill jauh di atas rata-rata pemain kami. Tapi mereka belum
tau kemampuanku.
Gelandang Thailand Lahsoh bersiap mengambil tendangan sudut. Ia
mengangkat tangannya memberi isyarat. Belajar dari tendangan sudut
sebelumnya, feelingku mengatakan secara jelas ke arah mana Lahsoh hendak
menendang.
“ ALFRED LARI KE KIRI LUAR!,” teriakku tepat saat dia hendak menendang
bola. Alfred menurutiku, ditinggalkannya man to man marking pada salah
seorang pemain Thailand lalu ia berlari sendirian.
Tepat seperti dugaanku, Lahsoh mengincar sisi dekat gawang. Melalui
keunggulan otot serta tinggi badan aku dengan mudah mengalahkan Dangda
dalam perebutan bola.
“ GUSSSSSSSRAAAK SEEEP,” Berhasil merebut bola , lekas kukirim bola
luncur ke Alfred yang berlari ke kiri luar lapangan. Para pemain
Thailand menumpuk di kotak penalti kami, mereka tidak siap dengan sebuah
serangan balik.
“ FERDINAND LARI VERTICAL!,” teriak Kak Boaz.
Kondisi 2 lawan 2 terjadi di setengah lapangan ; dua penyerang Timnas lawan dua penyerang Thailand.
Alfred memegang bola. Kami telah berlatih situasi yang sama di Norwich.
Tidak ada dalam kepala Alfred niatan mengoper bola kepada dua orang
striker timnas. Mereka hanya penarik perhatian. Alfred akan
mengembalikan bola kepadaku saat pertahanan Thailand tertarik mundur.
“ KAKA…….,” bola kembali kepadaku yang terus berlari kencang. Para pemain Thailand gagal mengejarku.
Sekarang kondisi 3 lawan 2. Kehadiranku yang coming from behind membuat
pertahanan Thailand, untuk pertama kalinya, kocar-kacir.
“ GUUUSRAAAAAKKKKK,” seorang pemain Tahiland melakukan sliding tekel
berusaha menjatuhkanku. Tekelnya tepat mengenai pergelangan kaki.
“ UUUHHHHHGGGGG,” rasa sakit menjalar. Keseimbangan lari hampir hilang. Tapi bila aku jatuh sekarang, serangan ini berakhir.
Berusaha keras, aku menumpu kaki kanan penuh lalu kaki kiri menyusul
lantas berusaha menggerakkan punggung menjaga keseimbangan. Berhasil aku
masih berdiri. Sekarang tinggal lanjut berlari sprint ke dalam kotak
penalti.
Kak Boaz maupun Bang Ferdinand telah berhasil lolos dari penjagaan. Pergerakan kami membuat Thailand kehilangan konsentrasi.
“TEEEEEPPPP,” bola kulepas
“ SUUUTTT TEEEEPPPP,” Kak Boaz begitu cerdik saat bola mendatanginya
bersamaan dengan seorang pemain belakang Thailand, dia mengoper bola
balik.
“ TEEEEEEEP,” permainan segi tiga terjadi. Posisiku lowong.
Tidak kusia-siakan ruang kosong ini. Bola kutendang di sudut yang tepat jauh dari jangkauan penjaga gawang.
“ SYUUUUUTTT PLOSSSSS GOOOLLL.”
1-0 INDONESIA.
Akhirnya GOL. Kami bisa memperkecil ketertinggalan.
“ PRRRRRRRRRRRIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTT, “ peluit panjang akhir babak pertama berbunyi.
Kak Chita belum datang. Kemarin ia bilang mau liputan di luar Stadion. Mudah-mudahan nanti dia bisa masuk melihat kami.
SKOR 1-3 – harapan kami makin ada.
***
BABAK KE DUA MENIT 75
Kami menyerang terus dengan penguasaan bola. Kuhitung sudah lebih dari
dua puluh sentuhan antar pemain kami lakukan sebelum tiba di kotak
penalti Thailand. Nyeri di kakiku semakin menjadi. Berusaha meringsek
masuk ke kotak penalti, aku memainkan permainan segi tiga lagi dengan
Bang Ferdinand. Pertahanan Thailand terlalu terfokus dengan kedatanganku
dari sayap kanan mereka gagal mendeteksi kecepatan Abang satu ini.
“ BUD PASS!,” teriaknya.
“ DUUUGGG,” bola kulepas. “ SUUUUTTTTT,” lanjut berlari kencang.
“ TRAAAAAPPPP”
Tumit Bang Ferdinand mengembalikan bola kepadaku yang telah berlari
mendahului dua pemain Thailand. Tinggal satu lawan satu melawan kiper.
Aku bersiap menyarangkan bola.
“ SSSEEETTT BLETAAAAKKKKKK,” sebuah tekel keras bersih menyapu bola dari samping.
“ GUSSSSRAAAAAKKKKKKK,” terguling-guling aku terjatuh mendapat tekel demikian keras.
“ PRIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTT CORNER KICK INDONESIA!,” wasit berteriak.
Masih terjatuh dalam posisi telungkup rasa sakit makin menjadi.
Perjuangan dari babak kualifikasi hingga babak final tampaknya harus
berakhir sekarang. Kakiku benar-benar tidak dapat lagi berkompromi.
“ COACH…COAAACHHH…,” aku meringis berusaha berdiri. Sakitnya benar-benar
nyeri. Tanganku mengangkat tinggi sebagai isyarat minta diganti. Tapi,
saat tanganku terangkat, di tribun utama kulihat Kak Chita sudah hadir.
Berbaju merah putih ia mengangkat kedua tangannya kepadaku.
Conchita melambai kepadaku dengan kedua tangan mengepal tinggi. Dari
bahasa tubuhnya ia terlihat memintaku agar terus berjuang. Kehadiranmu
sangat tepat waktu Kak Chita. Saat kaki ini tak mampu lagi melangkah,
semoga kedatanganmu dapat memberiku kekuatan.
“ HEI BUDI! KAMU NGAPAIN ANGKAT TANGAN???,” Coach Indera berteriak
menuding ke arahku “ ADA APA????,” dia terlihat emosi. Pertandingan
memang sedang memasuki fase krusial.
“ AKU MAU AMBIL TENDANGAN SUDUT INI COACH!,” teriakku. Padahal
sebelumnya aku sangat ingin diganti tapi kedatangan Kak Chita telah
merubah sakit menjadi semangat.
“ AMBILLAH CEPAT!,” Coach Indera berteriak gusar.
Bola kuambil lalu kuletakkan di titik sudut lapangan. Rasanya tak
percaya Conchita ada di lapangan. Si cantik kini, kulihat ikut
melompat-lompat meneriakkan yel-yel bersama 88.000 orang penonton di
Stadion Utama Gelora Bung Karno.
Berlari kecil, kudekati titik sudut bersiap mengambil tendangan ini.
Para pemain Timnas Indonesia tengah berjibaku beradu otot dengan pemain
Thailand di dalam kotak penalti.
“ DUUG,” bola ditendang “ SYYUUUUTTTT,” lalu melintir di udara.
Tendangan sudut merupakan sebuah teknik dasar yang wajib dikuasai pemain
professional. Tendangan sudutku menukik begitu tajam dengan lintasan
parabola panjang. Saking tajamnya tukikan bola,semula kulihat bola akan
keluar meninggalkan kotak penalti.
Kiper Thailand Kawin Thammasatchanan telah maju jauh dari gawangnya
mengira aku akan memberi bola untuk disundul para pemain Timnas.
Seperempat luncuran bola dari titik tendang memang memberi kesan
demikian, tapi ketika bola memasuki setengah luncuran, ,masih terbang di
udara, bola menukik tajam begitu cepat menuju gawang.
Para pemain Thailand berteriak lantang. Tak ada dari kami yang memahami
bahasa mereka tapi kami tau mereka berteriak karena tukikan bola bersiap
memasuki gawang mereka.
“ SYYYYYYYYYYIIIIIIIIIIT,” bola terus menukik sedangkan kiper telah maju
begitu jauh “ PLOOOOOOOOOOSSSSSSSSSSS GOOOOOOOOOOOOOLLLLLLLLLL”
Para pemain Timnas Indonesia sempat terdiam melihat keindahan bola menukik lalu masuk ke jala gawang.
Teriakan penonton meledak di Gelora Bung Karno.
Aku bahkan merasa mendengar suara bom saking kerasnya suara penonton.
SKOR 2-3- satu gol lagi Indonesia.
***
MENIT 88 BABAK KEDUA
Pemain Thailand mulai memeragakan strategi parkir bus. Tiga lapis
pemain dari bek hingga striker menumpuk di area pertahanan membentuk
pertahanan grendel. Suporter makin riuh meneriakkan yel-yel agar Timnas
bisa menembus pertahanan grendel mereka. waktu tinggal sedikit. Seluruh
variasi serangan Tim Nasional sudah dikeluarkan tapi membentur tembok
tebal.
Satu-satunya harapan terletak pada latihan rutinku bersama Alfred. Kami
selalu berlatih latihan menendang di Akademi Sepak Bola Norwich.
Tendangan jarak jauh merupakan senjata rahasia para gelandang. Saking
seringnya berlatih aku dan Alfred tak perlu bahasa verbal guna
menunjukkan kapan senjata rahasia kami harus dikeluarkan.
Sejak babak kedua dimulai tadi, pertahanan Thailand berhasil kubuat
pontang panting menghadapi penetrasiku yang berlari acak kadang di sisi
kiri lapangan lalu berganti menyusuri sisi kanan.
Selain terus kubombardir, kubuat pikiran mereka terbiasa menghadapi
gerakan passing kepada para penyerang. Berulang-ulang pertahanan
Thailang melihatku mengirim umpan crossing baik menyusur tanah mengarah
menuju Kak Boaz, Kak Tibo atau Bang Ferdinand.
Naluriku kembali mengatakan ; pikiran mereka telah terbiasa hingga
mengira serangan kami sekarang akan diakhiri seperti itu. Tapi mereka
tidak akan mendapat serangan yang mereka harapkan. Sambil terus berlari
kencang melewati penyerang Kraisorn yang kini harus turun membantu
pertahanan, aku berhadapan dengan dua pemain Thailand yang lain di sisi
kiri pertahanan. Mereka melakukan pengawalan ganda guna menghentikan
laju akselerasiku.
“ SEEETTT DUAAAG DUAAAAGGG SEETTTTTTTT”
Berhasil !. Penguasaan bolaku sempurna. Dipepet dua orang, keseimbangan
tubuh tetap dapat kujaga sambil meliuk-liuk melewati dua orang lanjut
berlari menuju kotak penalti. Melihatku berhasil menerobos masuk,
pertahanan Thailand panik. Formasi mereka tertarik. Terlihat ada lubang
menganga besar tempat Kak Boaz berdiri. Bagi pemain amatir lowongnya
pertahanan Thailand merupakan sebuah peluang emas. Tapi bagiku, ini
adalah jebakan murahan. Mereka hendak menjebakku mengoper bola pada Kak
Boaz, lantas mengambil bolanya dan memperlambat waktu. Tidak akan
kubiarkan.
Alih-alih masuk perangkap mereka, ” DUUUGGGGGGGG,” kutendang bola luncur ke belakang. Sedikit di luar kotak penalti.
Tidak seperti biasanya, bola tidak kuantar masuk ke dalam kotak, tapi
kudorong keluar hanya beberapa centi dari kotak penalti. Pertahanan
Thailand terbuka lebar. Mereka tertarik ke sisi kiri tempatku melakukan
penetrasi. Saat bola kuluncurkan ke tengah, benteng pertahanan mereka
sudah terbuka lebar.
“ DUUUUUUUUUUUUUUUUUAAAAAAAAAAAAAAGGGGGG,” Alfred menyepak bola keras.
Alfred, bakat sepak bola asli terbaik dari Papua bertinggi tubuh 188 cm
melakukan keahliannya mengesksusi tendangan jarak jauh. Bola volley
sepakan Alfred begitu kuat, menggelegar menusuk menuju gawang.
“ SSSSSSYYYYYYYUUT,” Kiper Thailand Kawin Thammasatchanan melompat
berusaha menghalau bola. Ia terlalu jauh dan bola begitu kencang. “
PLLLLLLLOSSSSSSSSSSSS GOOOOOOOOOOLLLLLLLLLLLLLLLL”
Barangkali ini adalah gol terindah sepanjang turnamen dan gol ini milik
Alfred sahabat baikku. Tiga sama , kami berhasil menyamakan kedudukan.
***
SKOR 3-3 PERTANDINGAN MEMASUKI INJURY TIME 4 MENIT DARI 5 MENIT YANG DITENTUKAN.
“ PRRRRRRRRRRRRRIIIIIIIIIT FREE KICK FOR INDONESIA”
Wasit berteriak lantang saat pemain Thailand kembali menebasku hanya
beberapa centi di depan kotak penalti. Tadinya pergerakanku begitu
terbatas setelah nyeri di kaki mulai di rasakan. Tapi saat Kak Chita
datang nyeri di kaki seolah menghilang. Teriakan dukungannya tentu tak
akan terdengar ditelan teriakan puluhan ribu penonton tapi teriakan
hatinya yang bersatu dengan ratusan juta hati orang Indonesia terdengar
jelas ditelingaku.
Conchita ingin kami menang. Ratusan juta rakyat Indonesia ingin kami
menang. Sekarang bola ada padaku yang ditunjuk sebagai eksekutor
tendangan bebas. Kak Boaz berdoa khusyuk agar bola tendangan bebasku
bisa masuk. Kami sangat menghindari perpanjangan waktu apalagi tendangan
penalti. Bahkan andai saja pertandingan memasuki perpanjangan waktu,
aku pasti tak sanggup lagi bertahan. Barangkali tubuhku masih sanggup,
tapi rekomendasi dokter tak akan memperbolehkanku melanjutkan
pertandingan.
“ PRIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTTTTTTTT,” wasit meniup peluit agar bola segera ditendang.
Kuhirup nafas panjang bersamaan dengan sunyinya keriuhan penonton. Sama
seperti tahun 2010 dimana orang tuaku menahan nafas panjang saat
tendangan penalti dilakukan oleh Firman Utina, sekarang pun penonton
secara bersama-sama menarik nafas panjang. Pemandangan tubuh pemain
Thailand dengan keringat bercucuran dan raut wajah tegang tergambar
jelas di hadapan. Pasti mereka tak menyangka Timnas Indonesia bisa
mengimbangi Tim Nasional mereka.
Perlu lebih dari tenaga maupun kerja sama Tim guna mengalahkan Thailand.
Perlu keyakinan ekstra besar serta cinta di luar nalar manusia untuk
mengalahkan mereka. Aku melangkah perlahan besiap menendang bola. Semua
perhatian terpusat pada tendanganku ini.
Kata pemain bola legendaris, perbedaan pemain bola hebat dengan pemain
bola biasa terletak pada kemampuan mereka menggunakan feeling saat
menghadapi situasi sulit. Perasaan para pemain bola hebat akan irama
pertandingan akan menuntun mereka membuat sejarah besar.
Aku mengikuti benar tuntunan hati saat menendang bola. Aura percaya
diri serta keyakinan tergambar jelas dari raut wajah serta tampilanku. .
Pemain Thailand begitu ketakutan melihatku menendang penuh keyakinan.
Sepak terjangku selama 90 menit pertandingan khususnya lima belas menit
terakhir pasti telah membuat nyali mereka ciut.
“ HAAAAAP,” Hampir semua tembok pertahanan tendangan bebas Thailand
melompat naik mengira bola tendanganku akan diarahkan melengkung naik.
Sayangnya mereka salah. Ini adalah pertandingan bola. Pemain yang bisa
membuat sesuatu tak terduga pasti bisa membuat gol menentukan. Bergerak
di luar perkiraan mereka, aku menendang bola keras menyusur tanah.
“ DUUUUUUAAAAAAAAAAG,” bola tendanganku menyusur deras melewati pemain
Thailand yang sudah terlanjur melompat. “TRAAAAAAAAAAAAAAANGGGGGGGGG,”
Kiper Kawin Thammasatchanan mati langkah. Ia bahkan tak bisa bergerak.
“PLOOOOOOOOOSSSSSSSSSSSS”
HENING SEJENAK.
GOL.
Tak ada yang bisa mempercayainya.
Kemenangan akhirnya jadi milik Indonesia.
Ayah..Ibu..Kakak dan Adik-adikku serta Kak Conchita..kita menang.
Percayakah kalian kita bisa menang??.
Bahkan semua penonton terdiam.
Stadion Utama gelora Bung Karno terdiam tak percaya Timnas bisa menjadi juara lagi setelah tahun 1991.
“ Kuyakin hari ini, kita pasti menang,” jerit batinku sambil berlari
lebih dulu meninggalkan Para Pemain Timnas yang masih terbisu..
“ GOOOOOOOOOOOOOOOLLLLLLLLLLLLLLLL DUEEEEEEEEEEEEEEEEEEEERRRRRR”
Akhirnya penonton sadar. ledakan kegembiraan bergemuruh di Stadion Utama Gelora Bung Karno.
BAB 10
TRIBUN UTAMA STADION UTAMA GELORA BUNG KARNO
Aku datang terlambat kedalam Stadion. Tapi menjadi saksi sebuah
antusiasme di luar nalar manusia terjadi sejak dari luar hingga dalam
Stadion..
Tidak ada diantara kami yang bisa duduk bahkan di bangku senyaman apa
pun di Stadion Utama GBK. Kami semua berdiri, melompat-lompat
meneriakkan yel-yel bagi Tim Nasional kebanggaan seluruh rakyat
Indonesia.
Saat tendangan penjuru Budi menghujam gawang Thailand kami semua makin histeris.
Pertandingan masih panjang. Timnas masih tertinggal tapi kami tiba-tiba
memiliki harapan. Kami semua berteriak makin keras. Saling menyemangati
dan melompat-lompat. Aku tak percaya dapat merasakan atmosfer yang
begini luar biasa. Atmosfir yang bisa membikin merinding siapa saja.
Kegilaan kami semakin menjadi saat Alfred menyamakan kedudukan. Rasanya
saat itu dengan semua perbedaan yang ada diantara kami, semuanya
melebur berpadu dalam satu suka cita. Harapan kami selangkah lagi
menjadi kenyataan.
Aku ikut membisu. Menarik napas panjang kala Budi mengambil tendangan
bebas pada masa injury time. Deru nafas berbalut doa yang
sungguh-sungguh diucapkan mengharap pertolongan Sang Pencipta pada kaki
Budi dipanjatkan ratusan juta orang .
“ PLOOSSSSSSSSSSSSS”
Tanganku terkepal. Jantungku berhenti bersama luncuran bola. Saat
melihat jelas bola berhasil memasuki gawang, air mataku tumpah. Tanpa
alasan jelas aku menangis. Bukan hanya diriku, kulihat ribuan penonton
ikut menangis. Kami semua merasakan ekstase yang sama di lapangan sepak
bola.
Kami menang.
Adakah yang bisa percaya?? Indonesia bisa menjadi juara??.
Ditengah segala carut marut kisruh sepak bola Nasional. Sempat terkubur
akibat ketidak becusan pengurusan sepak bola nasional. Tuhan mengirimkan
dua orang pemain ini kepada kami.
Budi dan Alfred. Terima kasih banyak. Hanya itu yang bisa kami ucapkan.
Kami tak ada saat kalian bermandikan keringat di Inggris. Kami alpa saat
kalian kelaparan karena Negara tidak mempedulikan sepak terjang kalian
di luar negeri. Tapi sekarang kami semua hanya bisa menyampaikan rasa
terima kasih yang tulus. Terima kasih karena telah membawa kami menjadi
juara.
“ JGEEEEEEEEEEEEEEER GOOOOOOOOOOOOOOOOOOLLLLLLLLLLLLLLL”
Stadion meledak saat kami semua sadar Budi berhasil mencetak gol.
Waktu sudah habis.
Kami menang.
Budi berlari pertama kali menuju tempatku berada. Ia membuka kaos
Timnasnya, dari jauh Budi menunjuk-nunjuk tulisan di kaos putih yang
dikenakan di balik baju Tim Nasional. Aku tak sanggup membaca. Tulisan
itu begitu kecil.
Budi terus menunjuk-nunjuk agar aku melihat tulisan di kaosnya. Meski
sudah cukup dekat aku belum bisa membacanya. Menyadari kesulitanku, Budi
berlari menuju Video kamera Stadion lalu menunjuk-nunjuk kaosnya.
Apa Budi?? apa yang hendak kau katakan?? maafkan aku tapi tulisan itu begitu kecil.
Pemain Timnas yang lain berhasil mengejar Budi. Mereka segara berguling-guling merayakan kemenangan.
“ CONCHITA!….CONCHITA!…CONCHITA!…CONCHITA…!”
“ CONCHITA!…CONCHITA!…CONCHITA!…CONCHITA!…”
Tiba-tiba puluhan ribu supporter meneriakkan namaku.
Aku bingung apa maksud penonton???.
Kenapa bukan para pemain Timnas yang mereka elu-elukan??. Kenapa justru namaku??.
“ Chit…,” Jodi menarik bajuku. Dia juga terlihat menangis gembira. “ LIhatlah layar lebar!.”
Aku melihat layar lebar dan langsung terdiam.
Layar lebar menampilkan gerakan lambat beserta zoom in dari adegan Budi
yang tadi mengangkat kaos serta menunjuk-nunjuk tulisan di dada.
Tulisan itu tergambar jelas kini dalam ukuran besar.
Pertahananku runtuh. Mataku berkaca-kaca ditengah pekik penonton yang
terus meneriakkan namaku. Kamera Stadion telah berhasil mendapatkan
posisiku lantas menyorotnya lalu mengangkatnya ke layar lebar. Sekarang
seluruh penonton di stadion dan di rumah bisa menyaksikan wajah Conchita
Caroline yang di zoom in sedang bercucuran air mata akibat rasa haru
bercampur bahagia.
“ CONCHITA!..CONCHITA!…CONCHITA.!.,” wajahku yang terpampang layar lebar
membuat penonton makin nyaring berteriak dalam suka cita.
Berusaha keras aku agar tetap sadar. Seluruh tubuh termasuk kakiku
rasanya nyaris pingsan melihat tulisan di kaos Budi yang ditunjukkannya
dihadapan kami semua barusan.
“ I love u too Budi,” akhirnya aku bisa menguatkan hati menjawab
pernyataan cintanya kemarin. Meski ia tak bisa mendengar semoga hatinya
bisa merasakan aku membalas cintanya.
Wanita mana yang sanggup menerima persembahan sedemikan indah dari seorang laki-laki??.
Wanita mana yang tidak menangis haru saat membaca kata-kata tulus yang
dipersembahkan kepada seorang wanita yang dicintainya di hadapan 88.000
pasang mata di Stadion GBK dan ratusan juta orang lainnya yang menonton
di televisi??.
Wanita mana yang bisa bertahan tak membalas pernyataan cinta yang pernah
diutarakannya saat melihat tulisan di kaos Budi yang merupakan
persembahan golnya, persembahan kemenangannya, dan persembahan seluruh
perjuangannya selama ini. Tulisan dikaosnya yang membuatku merinding
terselimuti oleh keindahan keagungan cinta dan disorot oleh seluruh mata
orang Indonesia berbunyi ;
“ THIS IS FOR CONCHITA.”
***
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar