Jalanan Jakarta yang lengang pukul satu pagi tidak membuat Ray menggeber
Cayman yang ia kemudikan. Ini pengalaman mengemudi paling menegangkan
seumur hidupnya, di pangkuannya duduk seorang perempuan yang sibuk
menggesekkan selangkangannya. Ray mati-matian menahan matanya untuk
tidak terpejam, menikmati cumbuan bibir tipis di lehernya, bergerak
halus dan basah menelusuri semua yang mampu dijangkau. Ketika
serangannya terlalu panas, Ray hanya bisa menjambak halus rambut ikalnya
yang tergerai sepunggung meskipun sia-sia karena dua detik kemudian
perempuan itu menyerangnya lagi. Meski ia sangat menikmati sensasi ini,
ia harus tetap berkonsentrasi agar keduanya bisa sampai apartemen
perempuan itu dalam keadaan hidup.
“Cepet dong Babe... gatel nih...” Desah perempuan itu, tepat di
telinganya. Laki-laki mana yang tidak berdesir tengkuknya diterpa
desahan napas perempuan se-seksi ini?
Belum lama banyak orang bertanya-tanya siapa perempuan berinisial AS
yang diberitakan telah digerebek aparat di hotel berbintang itu? Ray
tidak, sekarang yang bersangkutan sedang menggila di pangkuannya.
Mengerang, menggeliat, menyerah pada gairah. Hanya saja, Ray
memanggilnya dengan nama lain; Cicha. Hanya orang-orang tertentu yang
memanggil perempuan berdada indah itu dengan nama Cicha.
“Tahan dulu ya, kita udah sampe parkiran nih!”
“Gak mau!”
Dan Ray cuma bisa pasrah ketika Cicha menggeliat semakin tidak
beraturan, oh jangan lupakan erangan napsu itu, laki-laki manapun akan
lupa diri mendengarnya.
Mereka sampai, Ray menggendong Cicha di depan, perempuan itu tetap
menyerangnya tanpa henti. Untunglah apartemen ini mempunyai fasilitas
private lift.
BRUGH! Mereka menjatuhkan diri ke ranjang. Sekarang, giliran Ray yang
beraksi. Tentu saja, ia gatal ingin membuat perempuan yang sedang ia
tindih ini tak berdaya.
Dengan tenang, Ray mendaratkan bibirnya ke leher menggelitik setiap
bagian yang tersapu dengan lidahnya sambil menurunkan mini-dress hitam
serta dalamannya. Ray melakukan itu dengan amat perlahan, mempermainkan
gairah Cicha yang tidak berhenti mengerang.
Mukanya tepat berada di hadapan vagina Cicha. Basah, sangat basah. Ray
menghirupnya dalam-dalam perempuan itu semakin resah. Ia amat menyukai
bau ini, benar-benar bau vagina, dan bukan aroma sabun pembersih.
“Ma..masukhinnn... Plishhhh...” Ray tersenyum picik, mata perempuan itu semakin sayu, sorot matanya jelas memohon.
“Sabar, Babe...” Kata Ray, sambil mencopot heels, menjadikan Cicha benar-benar polos.
Ia membuka kancing kemejanya perlahan, demi melihat Cicha semakin
gelisah menunggu. Sambil menatap Ray Cicha membuka kaki, membelai
vaginanya sendiri, mengerang, dengan sorot mata memohon.
Ahhhmmm, babe... ayo.... u-uhhh......
Ray hanya tersenyum, ia selalu senang mempermainkan gairah Cicha. Ketika
dirinya sudah benar-benar polos, terpampanglah penisnya menengang
sempurna. Lingkarnya tidak besar, tapi panjang dan gagah berurat,
sedikit melengkuk ke atas.
Sekarang lawan mainnya menggigit bibir bawah, berharap penis itu segera
memasukinya. Tapi Ray punya rencana lain. Ia membungkuk, menindih. Kedua
tangannya bekerja di payudara bulat padat itu, memainkan putingnya,
bibirnya kembali menyerang leher. Membasahinya sekali lagi tanpa
meninggalkan jejak merah. Jejak merah di leher akan merepotkan bagi
seorang model yang biasa berfoto dengan pakaian terbuka.
Ahhhh... Plishhh, masukhinn... Plishhh.... Ga-gathel, Babe... Plishhh...
Perempuan itu berusaha mengangkan pantatnya, mengejar penis Ray. Tapi gagal ketika kedua lutut Ray menahan pangkal pahanya.
A-anjinggghhh, Babe... Akhuuu... Ga kuatthhhh....
BLES! Penis itu masuk seluruhnya dalam sekali hentak.
AKHHHMMMM! Cicha memekik kaget, tapi kemudian mengerang kenikmatan ketika Ray mulai menggoyang lembut.
Mhhhh... Enak?
Bang-ngethhhhh..... Ahh... terush... Kencenginhhhh.....
Ray menaikkan tempo, masih dengan posisi yang sama. Belum lima menit Ray menggoyang, lawan mainnya menjerit tertahan.
A-AHHHHH..... SHIT! AKHUU... KELUARHHHH... AHHHH.... Vaginanya menyemprotkan cairan kenikmatan cukup banyak, Ray tersenyum penuh kemenangan.
Ia mencabut penisnya, dengan napas yang tidak beraturan mereka
bertatapan. Teduh, lembut, dan dalam. Ray mengusap bulir-bulir keringat
di dahi Cicha, memancing senyum kecil perempuan itu
“Giliranku ya?” Pintanya, manja.
Mereka bertukar posisi, dan kembali bercinta sampai keduanya tertidur
kelelahan. Entah berapa kali vagina Cicha menyemprotkan cairan
kenikmatan, tapi perempuan itu hanya berhasil memancing sperma Ray dua
kali. Sekali menyemprot rahimnya ketika mereka melakukan gaya woman on
top. Sekali lagi, setelah doggy-style yang dilanjutkan dengan blowjob.
Ia mempersembahkan blowjob terbaiknya, menyedot penis Ray kuat dan
dalam. Ketika Ray sampai, ia tidak membiarkan setetes pun keluar dari
mulutnya. Semuanya ia telan habis seperti orang kehausan. Setelah itu
mereka berbaring berhadapan, lalu terlelap karena kelelahan.
Pagi hari, Cicha terbangun dengan senyum mengembang di bibir tipisnya,
melirik ke samping dan tidak mendapati Ray. Ia hanya menutupi tubuhnya
dengan selimut lalu berjalan keluar kamar mencari sosok laki-laki yang
memberinya kepuasan semalam. Ditemukannya Ray sedang sibuk di dapur.
Rambutnya basah, sehabis mandi ia cuma memakai celana olahraga panjang
tanpa memakai baju. Uh! selangkangannya kembali lembab melihat bagian
atas tubuh Ray yang benar-benar memanjakan matanya.
“Lo lagi bikin apa sih, babe?” Tanya dia, nadanya merajuk. Ray menoleh ke arah Santi.
“Bikin lo senyum.” Jawab Ray.
Dan Cicha pun tersenyum.
Ini senyum yang sama ketika kali pertama ia bertemu dengan Ray dua tahun
lalu, di gudang kampus. Di gudang itu Ray mendapati Cicha terbaring
lemah. Pakaiannya berserakan, yang menempel cuma bra yang sudah putus
serta kemeja yang robek-robek. Cicha terlalu lelah, meski matanya
terbuka ia tidak bereaksi apa-apa ketika Ray masuk dan melangkah
mendekat.
Ia cuma menatap laki-laki itu.
“Gu-guee... capek.” Katanya terbata-bata. “Tolong, jangan perkosa gue.”
Ray tidak menjawab, ia menatap perempuan itu. Membuka jaket yang ia pakai lalu menutupi tubuh Cicha.
“Baju lo udah gak berbentuk, pake itu buat pulang.” Kata Ray, yang tanpa basi-basi langsung meninggalkan Cicha sendirian.
Thanks. Cicha berucap lemah, bahkan Ray pun tidak mendengar itu.
Pertemuan itu, membawa mereka sejauh ini, sedekat ini. Meskipun bukan sebagai sepasang kekasih.
***
Laki-laki pelontos itu bernama Tama, umurnya baru 28 tahun dan sudah
menjadi pimpinan sebuah universitas swasta paling bergengsi di Jakarta.
Meski ia mengantongi gelar master di bidang ekonomi, posisi itu ia dapat
bukan karena kecerdasan dan usahanya sendiri. Tapi dengan bantuan. Tama
adalah orang bodoh, sejak lulus S2 dari Australia Tama bekerja sebagai
dosen sebelum akhirnya Ayah Tama yang merupakan orang terkaya nomor
tujuh di negeri ini mengambil alih kampus itu yang kemudian ia jadikan
hadiah ulang tahun ke 28 untuk anak pertamanya.
“Saya ingin berkontribusi untuk memajukan pendidikan Indonesia.” Jawab
Tama, ketika ditanyai wartawan kenapa ia memilih untuk memimpin kampus
ini ketimbang usaha lain yang dimiliki keluarganya.
Tama tersenyum ramah, mengangguk sopan, menjawab semua pertanyaan dengan
tenang. Semua yang melihatnya di layar kaca pasti menaruh perhatian
kepada laki-laki yang senang tampil rapi itu.
“Buat adek-adek yang kurang mampu, jangan khawatir kami menyediakan
beasiswa prestasi kuotanya kami tambah dua kali lipat. Asal memenuhi
syarat, kalian bisa kuliah gratis sampai lulus. Jangan minder hanya
karena kampus kami dikenal sebagai kampus elite, bagi kami prestasi
adalah segalanya. Dan kami menghargai kalian yang berprestasi, baik
akademis maupun non akademis.” Kata-kata Tama ketika menutup wawancara.
***
Ellen, perempuan campuran Sunda-Manado adalah mahasiswi tingkat akhir
sekaligus bidadarinya FE. Seorang Ellen tidak perlu pakaian terbuka
untuk memancing tatapan lapar laki-laki yang melihatnya. Cukup celana
jeans ketat, flat-shoes, dan kaus ketat. Maka pikiran laki-laki tidak
akan pernah sama lagi. Semua yang ada dalam pikiran mereka tergantikan
di detik peretama ketika melihat Ellen. Apalagi Ellen mengikat
rambutnya, memamerkan leher jenjangnya akan membuat mereka yang melihat
ingin mendaratkan bibirnya di sana.
Padet bro!
Yoi, seukuran mangkok ayam jago!
Bibirnya tebel, merah alami, Mb... sepong dong, Mb.
Tuhan, jangan biarkan dia lulus cepat, Tuhan! Beri dia cobaan!
Begitulah bisik-bisik antar lelaki setiap ia lewat.
Ellen bukannya tidak tahu, tapi ia memilih untuk tidak peduli. Kalau ia
bereaksi menolak pun tidak akan menghentikan mereka. Mungkin mereka
malah akan semakin menggila. Maka tidak bereaksi apa-apa adalah yang
terbaik. Mahasiswi cerdas ini paham betul caranya mengambil keputusan.
Meski kadang, ada keputusan yang ia ambil tanpa ia pahami
sungguh-sungguh.
Seperti keputusan yang ia dua tahun yang lalu.
Ellen berada di ruangan wawancara memakai seragam seperti yang
diperintahkan. Atasan putih, rok hitam, sepatu hak tinggi. Mengenai
make-up, ini inisiatifnya sendiri. Polesan tipis di wajahnya
disempurnakan dengan ukuran pakaiannya yang tampak pas di badan.
Ia akan diwawancara pihak kampus, ini tahap terakhir sebelum kemudian diputuskan apa ia berhak menerima beasiswa atau tidak.
“Perkenalkan, saya Tama Agung.” Laki-laki di depannya memperkenalkan diri.
Tatapan mata lelaki itu, pelan-pelan membuat Ellen mati gaya. Tajam,
tegas, terarah. Ia sudah dandan secantik mungkin, tapi sepertinya yang
ia lakukan tidak berpengaruh banyak untuk Tama.
“Kamu asli Bandung?” Tanya Tama, Ellen mengangguk. “Kenapa memilih kuliah di Jakarta. Dan kenapa memilih kampus ini?”
Hening sejenak. Ellen tampak ragu-ragu, sebelum wawancara dimulai ia
diberi pengarahan oleh staff agar menjawab semua pertanyaan dengan
jujur. Haruskah? Ellen membatin.
“Kamu tidak terlihat seperti orang tidak mampu.” Lanjut Tama.
“Saya memang bukan orang miskin.” Jawab Ellen, pada akhirnya. “...tapi juga bukan orang kaya.”
Tama mengangguk, mempersilakan Ellen untuk bercerita. Sejak tadi, ia
sudah mendengar banyak cerita dari calon penerima beasiswa yang lain.
Cerita-cerita pilu tentang kemiskinan yang menghambat masa depan.
Kalimat pembuka dari Ellen menarik minatnya untuk menyimak lebih lanjut.
“Saya ada di Jakarta, untuk meninggalkan Bandung.” Ellen berhenti
sejenak, menarik napas. “...karena Bandung sudah lama meninggalkan
saya.”
Tama mengerutkan kening, tapi tidak memotong.
“Orang tua saya masih ada... tapi seperti tidak ada.” Ellen kembali
mengatur napas, dadanya berdegup kencang. Tama menyodorkan segelas
airputih. “Papa punya toko besi yang cukup untuk membiayai hobinya mabuk
dan main perempuan. Mama punya butik yang cukup untuk menghidupi
dirinya tanpa harus mengandalkan Papa.”
“...dan mereka tidak bercerai.”
“...masih tinggal di rumah yang sama, tempat favorit mereka bertengkar.
Dan saya harus menyaksikan itu, tidak setiap hari, hanya setiap mereka
bertemu. Saya ingin hidup mandiri, ingin lepas dari mereka.”
Berhasil, Ellen menceritakan masalah yang ia alami tanpa menangis. Ia memaksakan diri untuk tersenyum.
“Punya adik?”
“Satu, perempuan. Sekarang kelas satu SMA, sejak SMP dia ikut Om saya di Singapura.”
“Pacar?”
“Dia masuk akademi polisi, saya gak pernah tahu kabar dia lagi.”
“Rencana kamu ada di sini? Kamu bilang ingin lepas dari orang tuamu.
Beasiswa ini cuma menanggung biaya pendidikan. Belum biaya hidup... dan
biaya gengsi.”
“Saya bisa kerja, pernah bekerja sebagai model foto waktu SMA. Beberapa kali menjadi SPG di pameran otomotif.”
“Catatan akademis kamu bagus, saya bisa pastikan kamu lolos. Mengenai
pekerjaan, saya bisa bantu kamu. Kalau tidak keberatan, kamu datang ke
kantor saya nanti malam.”
Ellen tersenyum, kali ini lebih tulus. Mereka bertukar kontak sebelum Ellen meninggalkan ruangan itu.
***
Cicha menungging berpegangan ke sandaran sofa, dari berlakang Tama
memompa penisnya dengan kecepatan tinggi. Ia tidak pernah bosan
menyetubuhi Cicha. Tangannya meremas dada Cicha dengan gemas. Cicha
mengerang, merintih, seperti itu jadinya kalau rasa nikmat disuarakan.
Mmmhhhh... Cha, a-anjingghhh enak, Cha....
Ta-Taammmhhh... Shit, Tammmhhhh
Keringat mereka berucucran menyampur, Dama melupakan lelah menurut
pada ego, sekarang ia menambah serangannya dengan menciumi tengkuk
Cicha. Dan Cicha semakin tidak berdaya. Sesekali Dama menampar pantat
Cicha sampai kemerahan.
Gu-gueee, kel-luarhhh Cha...
A-AAHHHHH
Keduanya menjerit bersamaan, Cicha ambruk di sofa. Dama turut ambruk di
sebelahnya tidak lama kemudian. Sperma Dama meleleh keluar saking
banyaknya.
“Thanks, Bitch!” Ucap Tama tanpa menoleh.
Ia mengumpulkan tenaga yang tersisa lalu berdiri menuju kamar mandi guna
membersihkan diri. Setelah membersihkan diri seadanya, Tama kembali
menghampiri Cicha yang posisinya masih belum berubah.
“Bangun lo!” Perintah Tama. “Gue mau ada tamu, lo bersih-bersih, terus balik lagi ke sini. Lo harus ketemu dia.”
Cicha menurut, meninggalkan ruangan itu.
Tiga puluh menit kemudian...
Ellen datang dengan backless dress warna merah menyala. Pukul 7 seperti
yang mereka sepakati. Ketika masuk ke ruang kantor Tama, ia melihat
sosok yang benar-benar berbeda. Tama yang sopan dan berwibawa, berubah
menjadi seorang Tama yang terlihat... berbahaya.
He dress like a man. Semua yang menempel di badannya mungkin akan cukup
untuk membeli sebuah rumah mewah. Penampilan yang tidak dapat ditolak
perempuan manapun yang mendewakan harta.
“Duduk El, berhubung lagi gak di kampus... kita gak usah formal ya.
Panggil gue Tama aja.” Sementara Ellen duduk di sofa panjang, Tama
berjalan menuju kulkas membawa dua botol bir. “Lo cantik malam ini.”
“Thanks.” Ellen menerima bir dari tangan Tama.
“Gue gak suka basa-basi. Mengenai bantuan yang mau gue kasih.” Tama
menyalakan rokok. “Akademis lo emang bagus, tapi pekerjaan yang
berhubungan dengan itu cuma bakal menyita waktu lo dan gak bakal
ngasilin banyak duit.”
Hening sejenak, keduanya meneguk bir masing-masing.
“Gue punya dua pilihan: Pertama, lo jadi model di majalah dewasa punya
perusahaan gue. Atau, lo jadi anak buah gue... jadi pelicin bisnis
perusahaan gue. Lo ngerti maksudnya?”
Ellen tampak tidak terkejut. Ia perempuan cerdas, sudah mampu memperkirakan bantuan apa yang akan ditawarkan Tama.
Pikirannya berkecamuk. Ia memang tak peduli lagi dengan keluarganya,
bahkan dengan dirinya sendiri. Yang ada di pikirannya cuma... Cakra.
Kekasihnya yang sekarang sedang berusaha meraih cita-citanya menjadi
seorang polisi. Dan Eliza, adik kandungnya yang sangat ia rindukan.
“Lo masih perawan?” Tanya Tama, membuyarkan lamunan Ellen. Perempuan itu menggeleng.
“So nothing to loose, right? Saran gue, lo ambil pilihan kedua. Itu bisa
lo lakuin diam-diam, dan gue bisa jaga rahasia lo.” Tama menyulut rokok
keduanya. “Gue juga bakal ngejamin hidup lo, tepat tinggal, mobil,
semuanya gue kasih.”
Ellen terdiam sejenak. Dia belum menentukan pilihan ketika Tama berdiri
di depannya, membuka resleting celana kainnya, lalu mengeluarkan
penisnya yang masih layu.
“Let me test you first.”
Dengan ragu-ragu, Ellen menggenggam penis Dama. Tidak panjang, tapi
diameternya cukup membuat Ellen menggigit bibir bawah. Ellen menatap
Tama yang hanya tersenyum dalam anggukannya.
Ia mengecup kepala penisnya, sebelum mulai memasukkannya pelan-pelan.
Hanya sebatas kepala penis, Ellen berhenti. Ia menghisap penis Tama
kuat-kuat, Tama bergidik menahan nikmat. Ellen menambah serangannya, ia
mempermainkan lidahnya menjilati lubang kencing Tama, menelusur lingkar
kepala penis Tama, lalu mempermainkan bagian bawah kepala penis Tama.
“Uh... lo berbakat jadi pereekhhhhhh ahhhh.” Tama mendesah pajang ketika
Ellen mulai memasukkan seluruhnya, menghisapnya kuat-kuat. Desahan Tama
semakin tidak karuan, Ellen mulai memaju-mundurkan kepalanya. Permainan
lidahnya begitu lihat.
“Anjinghhh... Ini sepongan terbaik yang pernah gue rasainhhh ahhhh... terus, El... Ahh..... Anjinghhhh.”
Ellen mulai terangsang oleh desahan dan kata-kata kasar Tama. Ia semakin
bersemangat membuat laki-laki itu tidak berdaya. Ellen menambah tempo,
desahan Tama semakin tak terkontrol.
“Gu-gueee... Sam.. Ahhhhhhhhkkkk.”
Sperma Tama tumpah dalam mulut Ellen, hanya supaya tidak berceceran mengotori bajunya, Ellen menelan semuanya.
“Good job, El!” Tama tersenyum puas.
Ellen masih diam, masih menimang apa yang sebenarnya dia lakukan? Di
sini, dengan seorang laki-laki yang barus saja ia berikan oral
terbaiknya. Dan laki-laki itu bukan Cakra. Ellen memang sudah tidak
perawan lagi, tapi hanya Cakra yang izinkan untuk menjamah tubuhnya.
Sekarang, laki-laki itu sedang berusaha meraih mimpinya. Dan perempuan
yang ia cintai sedang berusaha memuaskan laki-laki lain. Mengingat itu,
mata Ellen memburam. Tapi ia tidak ingin menangis di depan Tama.
“Cha!” Tepat setelah Tama membenahi pakaiannya masuk seorang perempuan.
Otomatis Ellen menoleh, menatap perempuan itu. “Mulai sekarang, dia
tinggal sama lo. Dia ade lo Cha!”
Perempuan itu menatap Ellen.
“Bimbing dia ya... jadi perek! Sepongannya lebih enak dari lo btw.” Tama
mengalihkan pandangannya ke Ellen. “Lo udah tahu dia kan El? Model yang
suka bikin cowok-cowok horny itu?”
Ellen mengangguk.
“Panggil dia Cicha. Dia bakal jadi kakak lo, mulai malam ini lo tinggal sama dia.” Lanjut Tama.
“Gue duluan.” Tama pergi.
Cicha menghampiri Ellen yang kelihatan masih kaku.
“Lo boleh panggil gue Cicha.” Cicha menyodorkan tangan.
“Ellen.” Tangan Cicha disambut, keduanya tersenyum ramah.
Di tempat lain, Tama sedang memantau jalannya sesi pemotretan. Rhere,
yang menjadi kali ini menjadi modelnya. Perempuan sintal ini tidak
terlalu sering tampil. Tapi sekali saja orang melihat, ia akan kesulitan
melupakan sosok Rhere. Lekuk tubuhnya, senyum misteriusnya, jangan
lupakan dadanya yang padat sempurna.
Tama semakin gelisah ketika Rhere berfoto dengan pose yang menantang.
Lingerie merah transparant, senyum dingin, dan tatapan yang cukup untuk
membuat laki-laki manapun lupa diri. Karena itu, Tama memutuskan untuk
menunggu diluar.
“Kamu udah makan Re?” Tama menghampiri Rhere ketika sesi pemotretan berakhir. Ia berjalan di samping Rhere.
“Apaan sih lo botak! Gak usah sok perhatian gitu deh.” Balas Rhere, ketus.
“Aku Bos kamu loh, jangan galak-galak bisa kali.” Jawab Tama sambil berusaha mengimbangi langkah Rhere yang semakin cepat.
Rhere berhenti, menoleh menghadap Tama. Tatapannya, maut. Bahkan untuk seorang Tama.
“Terus? Lo mau pecat gue? Lo gak bakal manggil gue lagi jadi model
majalah punya lo? Silakan aja, kalau lo mau kontrak kerja sama dengan
klien besar itu putus.”
“Bukan gitu, Re...”
“Perusahaan lo yang ini bukan apa-apa tanpa mereka, dan gue adalah model
kesayangan mereka. Kalau gue gak ada, mereka gak bakal mau kerja sama
lo.”
“Iya, Re... Aku cuma-“
“Gue cabut, bye!”
Rhere melangkah, meninggalkan Tama yang mati gaya menatap punggungnya
pergi menjauh. Seumur hidup, Tama selalu mendapatkan apapun yang ia mau
dengan mudah. Dan Rhere adalah hal tersulit.
“Bos gue pantang menyerah ternyata!!!” celetuk asisten Tama yang tiba-tiba muncul di belakang Tama.
“Anjing lo ngagetin aja.” Keduanya tertawa. “Kalau lagi berhadapan sama
dia gue selalu ngerasa percuma jadi cowok tajir... itu gak bikin dia
kagum.”
Asisten Tama tertawa. Seorang Tama, curhat.
“Udahlah Bos cari yang lain aja kenapa sih. Toh masih banyak yang suka rela ngangkan depan lo.”
“Mereka itu masa lalu, dan masa kini. Kalau Rhere... masa depan.”
“Gokil! Seorang Tama? Hahahaha... Kenapa harus dia sih?”
“Dia beda. Gak bisa digiur sama uang... apalagi tampang. Gue gak pernah
tahu apa yang bisa bikin dia kagum, atau cuma sekedar tertarik. Dari
dulu, dia tertutup banget. Lo tahu betul kan penghasilan model-model
kita berapa? Dan lo juga tahu kan kebanyakan model kita jual
selangkangan buat gengsi mereka? Kecuali Rhere, klien bokap yang dari
Australia nawarin $100.000 pun ditolak.”
“Ya gue tahu itu, dia satu-satunya model kita yang gak pernah mau kerja
sampingan. Tapi kelihatannya, di antara model lain dia yang paling
tajir.”
“Itu dia, misterius banget kan?”
“Sejak kapan sih lo naksir dia Bos?”
“To be honest... Dia cinta pertama gue.” Asisten Tama tampak terkejut. “Waktu gue kelas 3 SMP, dia kelas satu.”
Percapakan mereka berlanjut ke kedai kopi yang tidak jauh dari kantor.
Malam itu, Tama memutuskan untuk membagi satu rahasia terbesar dalam
hidupnya. Ia butuh seseorang untuk meredakan kegelisahan yang ia pendam
demikian lama.
Di kantor, Rhere tidak langsung pulang. Ia pergi ke atap gedung. Tanpa
diketahui siapa-siapa, ia memang selalu menghabiskan waktu disini
sendirian setelah pemotretan selesai.
Sampai di atap, ia langsung menuju tempat kesukaannya, dari sana ia bisa
melihat gemerlap kota Jakarta. Langkahnya terhenti ketika dia melihat
ada sosok laki-laki berdiri menatap ke bawah di tempat biasa ia
menghabiskan waktu.
“Ray?” Rhere menyapa, laki-laki itu yang melukis mural untuk setting fotonya.
“Yo?” Ray menoleh. Rhere duduk di sebelahnya.
“Lo ngapain ada di sini? Gak mau bunuh diri kan?” Ray tergelak.
“Suntuk gue Mbak...” Jawab Ray, Rhere melotot.
“Jangan panggil gue mbak kenapa sih! Rese banget lo jadi cowok.”
“Cih! Niatnya mau sopan malah dibilang rese, jadi cowok serba salah
ya...” Kali ini Rhere yang tergelak. “Ke atas yuk, gue biasanya suka
telentang di helipad. Liat bintang, keren loh!”
Rhere mengangguk, ia bangkit mengikuti Ray.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar