The Odd Triangle 2 | kisahbb2

The Odd Triangle 2

Sabrina Yuzuki

Sabrina membiarkan kedua rekannya berangkat lebih dulu pagi ini. Sepeninggal kedua rekannya, Sabrina segera membuka SMS terakhir dalam blackberry-nya. Sebuah pesan yang datang sejak beberapa jam yang lalu, yang isinya sangat mengganggu, namun ia tidak ingin membuyarkan mood berpesta kedua temannya tadi. SMS itu berbunyi, “Two doors to the right across the hall, please visit. I know what you did last night.”Sabrina berusaha mengingat siapa penghuni ruang kerja di dua pintu ke kanan di seberang koridor. Namun ia jarang mengunjungi daerah itu. Pintu keluar berada di sebelah kiri, begitu juga toilet wanita. Lagipula, semalam ia mengintip Jayne di kantornya... Berarti ada orang yang melihatnya melakukan ‘aktivitas’ itu! Merasa penasaran, ia bergegas meninggalkan rumah untuk menuju kantor, dan berbicara dengan si pengirim SMS misterius.
################################## 

Pintu itu bertuliskan “Dr Deetou Prihad, Post-Doctoral Researcher.” Sabrina segera terbayang akan seorang pria berbentuk besar, berwajah Afro, dan bicara dengan aksen British, namun mengaku sebagai orang Indonesia. Ia tidak begitu mengenal pria itu, dan ia tidak ingin membina pertemanan dengan orang Indonesia lain di sini... namun SMS tadi memaksanya untuk mengenalnya lebih jauh.
“Come in. It isn’t locked.” Jawab suara beraksen British dari balik pintu setelah Sabrina mengetuk.
Sabrina membuka pintu dan melangkah masuk. Untuk sesaat ia tertegun dengan suasana kamar yang serba putih dan ‘terlalu’ rapi itu. Tidak ada barang apapun yang membentuk garis bengkok ataupun sudut yang tidak 90 derajat... bahkan beberapa dumbbell yang tertata di samping kulkas itu memiliki beban berbentuk segi empat, bukannya lingkaran. Pada dindingnya tidak tampak jam dinding, kalender, ataupun lukisan yang akan menambah warna, bahkan jendelanya pun tertutup oleh vertical-blind berwarna putih, bukannya tirai, yang bisa membentuk kerutan-kerutan asimetris.
“Obsessive-Compulsive Behavior Disorder!” pikirnya menebak ‘penyakit psikologis’ si penghuni.
“Looking around is a good habit of a psychoanalyst.” Deetou ‘menyerang’ lebih dulu dengan menunjukkan bahwa ia mengerti bahwa Sabrina sedang melakukan observasi singkat. Ia berdiri dari kursinya dan mengulurkan tangan, “Deetou Prihad, pleasure to meet you.”
“Sabrina Yuzuki, it’s a pleasure...” Jawab Sabrina sambil menjabat tangan kekar itu, “...and positioning the chair exactly in front of the door shows some control-freakness.” Wanita itu membalas ‘serangan’ dengan cara menebak secara langsung kecenderungan Deetou untuk memiliki kontrol.
“Quite a strong statement.” Jawab Deetou sambil tersenyum mempersilakan Sabrina untuk duduk, “...and I guessed you have concluded that I have some OCD as well, after looking around the room.” Kalau dia cukup telit, dia bisa menebak kecenderungan perilaku obsesif-kompulsif dari penataan ruangan ini.
“Damn right.” Sabrina menjawab sambil menanggalkan formalitas. “Lo yang SMS gua semalam?” tanyanya dengan bahasa Indonesia casual. Ia sedikit jengkel dengan kelakuan Deetou yang terkesan sok cool.

Tubuh Deetou yang besar membuat Sabrina memasang refleks bertahan... jarang ada orang yang lebih tinggi darinya di negara ini. Deetou tersenyum dan berjalan ke arah sebuah sofa berwarna putih di tepi meja kerjanya.
“Bener emang gua yang kirim SMS tadi malam...” Jawabnya santai, “...tapi tujuannya nggak seperti yang lo duga.”
“Trus buat apaan?” Tanya Sabrina ketus sambil melipat tangan dan memasang muka judes.
“Sekedar buat menarik perhatian elo aja.” Jawab Deetou sambil tersenyum lagi, “...dan biar lo lebih berhati-hati lain kali kalo mau ngintip... No hard feelings. Maaf kalo itu bikin lo marah.”
“Gua ga marah... gua cuman kurang suka.” Sabrina menjawab.
“Kurang suka karena ketahuan ngintip?” Deetou mengangkat alis dengan wajah jenaka dan tertawa geli. Membuat Sabrina akhirnya ikut tertawa kecil.
“Gini Doc...” Deetou memulai percakapan.
“Brina, please...” Sabrina memotong pembicaraannya.
“OK, gini Brina...” Deetou melanjutkan, “Lo masih open ngga untuk sebuah proyek research?”
“Riset apaan?” Merasa mulai tertarik, Sabrina berpindah ke sofa single di dekat sofa panjang yang diduduki Deetou dan meletakkan tasnya di meja kopi di depannya.
Deetou menjelaskan bahwa seorang rekannya dipercaya oleh universitas untuk mengendalikan sebuah proyek besar dari pemerintah. Proyek itu berkisar tentang penelitian psikologi di sekolah-sekolah, dan Deetou sendiri memiliki ambisi untuk membangun sebuah teori baru tentang bagaimana system pendidikan membuat murid-murid sekolah jadi orang penakut, pemalu, dan enggan bekerja keras. Hal seperti itu memang amat menarik bagi peneliti yang bukan berasal dari Malaysia, apalagi pemerintah Malaysia berusaha menyembunyikan hal itu dari masyarakat, baik warga negaranya sendiri, maupun orang lain.

“OK, gua mau.” Sabrina langsung memutuskan.
“Impulsive behavior.” tebak Deetou. “Lo mengambil keputusan dengan begitu cepat tanpa mikirin resikonya... haha, seperti waktu lo mau ngintip semalam.”
“Juga seperti saat aku membiarkan Damiana dan Saori menikmati tubuhku semalam” pikir Sabrina sambil sedikit mengingat kejadian malamnya. “Menurut gua sih, kalo duitnya OK, proyeknya bisa dikerjain, dan gua bakalan bisa publish paper dan ikut conference, selain ngga clash dengan riset PhD gua.”
Deetou tersenyum dan mengangguk. “Nah, teman gua yang dapat proyek ini mempercayakan ke gua untuk membangun team...”
“Siapa sih temen lo itu?” Tanya Sabrina memotong pembicaraan.
Tiba-tiba, pintu ruang kerja Deetou diketuk dari luar. Suara seorang wanita terdengar nyaring dan agak serak, “Deetou, are you in?”
“Nah, tuh dia!" Ujar Deetou pada Sabrina. "Come on in, it isn’t locked!” Jawab Deetou pada si pengetuk pintu.
Pintu terbuka, dan wajah Sabrina langsung merah padam tak menentu. Begitu juga wajah orang yang baru masuk... Professor Jayne Lee!... orang yang semalam bermasturbasi sambil menatap foto-fotoku adalah pimpinan proyek ini! Deetou berdiri dengan sikap netral, seolah tidak mengetahui rahasia satu sama lain dan bergaya memperkenalkan,
“Dr Yuzuki, Prof. Lee, Prof. Lee, Dr Yuzuki.”
“Call me Jayne, please...” Ujar Jayne dengan senyuman ramah yang masih terkesan kaku, “...err.. can I call you Sabrina, Doc?”
“Brina, please.” Jawab Sabrina dengan senyum yang sengaja dibuat agak menggoda. “Ya! Inilah orang yang mengisi khayalanmu semalam!” pikir Sabrina dengan tatapan mata sedikit nakal.
Deetou mengamati bahasa tubuh kedua wanita itu dan tersenyum simpul.
“OK, let’s start to talk about business.”
Terkesan bahwa pria itu memegang kendali atas pertemuan ini, dan itu diluar dugaan Sabrina, karena Jayne memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan dikenal sebagai orang yang dominan. Apa Deetou berusaha menunjukkan padaku bahwa ia memiliki kontrol atas Jayne Lee? Pikir Sabrina. Dasar Control-Freak!
Dengan menggunakan proyektor milik Deetou, Jayne menjelaskan detail tentang proyek yang dipercayakan kepadanya, termasuk budget, deadline, dan teori-teori yang akan digunakan. Ia juga menjelaskan bahwa hasil riset mereka akan digunakan oleh pemerintah Malaysia untuk memperbaiki system pendidikan di negara itu.

“Yeah, your educational system sucks, your government is a corrupted big fat liar, and your people are educated to be lazy yet ignorant.” Deetou mengomentari dengan bahasa lugas.
“...and I’m correcting it now.” Sahut Jayne dengan tegas meski setuju.
“We are TRYING to correct it.” Sabrina mencoba memasukkan pendapat.
Jayne menyadari bahwa ia adalah satu-satunya yang tidak berlatar belakang psikoanalisis, hingga ia memutuskan untuk lebih berhati-hati.
“Yes, we are trying to correct this... but my bastard government might not listen to what we say anyway.”
“So this project is kinda ‘take da cash and run’ project?” Sabrina mengkonfirmasi. Mengambil uang pemerintah untuk memperkaya diri sendiri? Pikir Sabrina, berencana untuk mengundurkan diri.
“Not really...” Jayne menjawab sambil duduk di samping Deetou, ia tahu bahwa pemerintahnya tidak akan peduli dengan fakta bahwa system di negara itu gagal.
Mereka membohongi negara-negara lain dengan mengatakan bahwa mereka maju... mereka bahkan membohongi rakyatnya sendiri. Pikir Jayne sedikit sedih.
“Ye'all gonna show ‘em the fact, I ain’t gonna giv fuck bout whateva they’ll do 'bout it.” Lanjutnya.
“Whoa, whatta language!” Deetou mengomentari slank dan aksen Texas Jayne yang terdengar tidak sempurna bagi telinganya yang ‘British’.
“I’m cool with that.” Ujar Sabrina memasang senyum manis. “I think I’ll enjoy my moments working with you guys.” Sambungnya sambil dengan sengaja menukar posisi menyilangkan kaki, seperti yang dilakukan Sharon Stone dalam film Basic Instinct... membiarkan kedua lawan bicaranya melihat lewat rok mininya, bahwa ia tidak mengenakan celana dalam.
Melihat adegan singkat itu, Deetou memasang senyum sambil melirik ke arah Jayne, sementara Jayne tak mampu menghindar dari menatap ke arah selangkangan Sabrina, mencoba menangkap sedetik pemandangan rambut-rambut halus di situ.
Ini yang ingin kamu lihat ‘kan? Pikir Sabrina, terus menggoda Jayne sambil memasang ekspresi tak berdosa. Ayo, lihatlah! Aku pengen tahu apa yang bakal kamu lakukan untuk mendapatkan ini!
Dalam hati, Deetou berusaha menebak apa yang menjadi tujuan Sabrina untuk menggoda Jayne. Sesaat kemudian, pria itu mengambil kesimpulan sementara bahwa Sabrina adalah orang yang suka mengambil langkah impulsif, nekat, dan tidak terlalu memikirkan resiko di belakang hari.
“Dan aku jarang salah!” Pikirnya sambil terus mengamati, “jika Jayne lebih yakin bahwa Brina adalah orang yang superior, Jayne akan langsung mengambil kesempatan untuk merayunya ke ranjang! Dan mungkin saja itu perlu untuk mereka” pikir Deetou.
“Jayne...” Ujar Deetou memecah kesunyian sesaaat, “...do you know why I chose Brina to be in our team?” Pria itu mengeluarkan blackberry playbook dari saku celananya dan mencoret-coret dengan jarinya, “Look at this.”
Jayne mengambil gadget itu dari tangan Deetou dengan gerakan casual dan bersahabat, sambil melirik ke mata Sabrina, seolah sengaja untuk menunjukkan bahwa memang ia memiliki hubungan yang ‘lebih’ dari sekedar kolega dengan Deetou.
“Ohh, ten articles published in international journals, and cum laude in Master degree... ow, five international conferences... that’s excellent.” Cerocos Jayne mengomentari profil Sabrina yang terpampang di layar gadget milik Deetou. Sesekali matanya melirik ke arah Sabrina, mengagumi ‘isi kepala’ dari bentuk luar biasa yang selama ini dibayangkannya itu.
Sabrina mengamati bahasa tubuh kedua lawan bicaranya dan sedikit merasakan cemburu.
She was into me! Kenapa Deetou seolah memiliki dia?! Pikir Brina. “Well, Jayne... I think you can count on me in the project.” Ujarnya penuh keyakinan diri sambil menatap dalam-dalam mata Jayne, seolah mengirimkan pesan bahwa aku lebih baik.
Jayne menggeser duduknya menjauh dari Deetou dan mencondongkan badan ke depan, mendekat ke arah Sabrina. Keduanya lalu terlibat percakapan akademis, sementara Deetou mengamati sambil tersenyum dan mengangguk-angguk.
Umpan mengena... Jayne menjauh dari aku dan mendekat ke Brina... bagus”
Ketiganya berpisah setelah menentukan jadwal pertemuan berikutnya dan bertukar kartu nama. Deetou menatap kedua wanita bertubuh sempurna itu meninggalkan kantornya sambil mencatat apa-apa yang baru saja dilihatnya dalam blackberry playbook.
“I think I like you, Jayne.” Sabrina mencolek lengan Jayne yang berjalan di sampingnya di koridor.
“Oh?” Jayne tampak langsung terperanjat. D-dia menyukai aku juga?
“I mean... I used to admire your achievement.” Jawab Jayne diplomatis, “...and I’m glad that we can be friends so I can learn many things from you.”
Jayne tampak lega. “Oh, thanks... I think you’ll be a better person than myself now.” jawabnya merendah.
“How about a cup of coffee after work?” Sabrina memberanikan diri mengajak si professor bertemu diluar jam kerja. Hal itu membuat Jayne kembali terperanjat.
She’s asking me out! “Eh... I... I dunno... I think coffee’ll be cool.”
“Or few rounds of Heinekken, if you prefer.” Sabrina kembali menggoda sambil mengerdipkan mata kiri. Di kalangan expat di Malaysia, minuman beralkohol memang menjadi ‘faktor pembeda’ yang mengisyaratkan bahwa mereka akan berjumpa di lingkungan yang ‘bebas dari orang lokal katro’.
“Sure...” Jawab Jayne memasang tampang girang, “This evening.”
...
######################
Jayne memilih sebuah cafe di tepi pantai yang agak jauh dari kota. Dia merasa aman di situ, karena tidak ada kolega di universitas yang akan mengunjungi daerah itu. Maklum, universitas negeri di Malaysia dipenuhi profesor dan dosen melayu yang tidak memiliki keberanian atau bahasa Inggris cukup memadai untuk berada di lingkungan yang dipenuhi turis dan expat mancanegara. Beberapa di antaranya malah tidak mau masuk ke kafe atau resto yang dimiliki oleh orang non-melayu dengan alasan mencari makanan halal demi menutup fakta bahwa mereka takut pada orang asing. Professor muda itu duduk di sebuah kursi di beranda sebuah bar yang terletak di shopping mall amat mewah. Lingkungan yang membuat hampir semua orang merasa betah. Ia memesan dua botol Heinekken dan duduk bersandar menenangkan diri.
Apa yang harus kukatakan nanti? Pikirnya.
Ia merasa seperti seorang ABG dalam kencan pertama. Jantungnya makin berdebar saat ia melihat Sabrina muncul di kejauhan. Matahari yang sudah condong ke barat menyinari tubuh sangat jangkung di kejauhan itu. Sesosok tubuh amat ramping dengan tungkai sangat panjang dan mulus yang terbuka karena pemiliknya mengenakan rok mini Escada berwarna hitam. Kemeja lengan panjang Esprit berwarna putih tampak membungkus rapi tubuh indah yang berjalan tegap itu. Rambut cokelat yang terurai tertiup angin laut, dan setengah dari wajah cantiknya tertutup kacamata hitam D&G.
Seperti bidadari. Pikir Jayne saat mengamati Sabrina melangkah mendekat.
"Hi, Jayne." Sapa Sabrina saat ia tiba.
"Hi, silakan duduk." Jawab Jayne mencoba berbahasa Indonesia dengan aksen yang terdengar aneh.
"English sounds better on you." Sabrina menggoda. Bersikap casual pada seorang profesor adalah hal yang tabu di negara itu, namun itu hanya berlaku untuk birokrat konyol tanpa prestasi. Bagi orang yang betul-betul berprestasi, panggilan apapun tidak menjadi masalah.
"First round is on me." Ujar Jayne saat pesanan tiba, "I've ordered Heinekken bcoz you mentioned it."
"Ah, thanks." Sabrina tersenyum dan mengangkat botolnya, "Cheers..."

Usai minum beberapa teguk, kedua wanita itu sama-sama terdiam. Jayne menatap laut, Sabrina menatap Jayne.
"I know about your slide-show collection." Ujar Sabrina memecah kesunyian.
Oh no! Kenapa ia menyerang? Jayne menghela nafas, tak berani melihat ke arah Sabrina yang kini menatapnya tak berkedip.
"Oh..." Jayne bingung menentukan kata-kata.
"And I know how you...use the slide show." Sabrina memotong.
"Did Deetou told ya?" Tebak Jayne ragu-ragu. Tega sekali Deetou mengkhianati privacy-ku? Tidak mungkin!
"No, he didn't." Jawab Sabrina. "One thing you need to know is that the feeling can be reciprocal."
Pernyataan Sabrina membuat Jayne girang bercampur bingung. Ia memiliki hasrat yang sama terhadapku? Apakah ia seorang lesbian? "Look, Brina... I... I'm sorry."
"No need to be sorry." Tukas Sabrina, "I feel honored that someone in your level has a... Crush on me."
Wajah Jayne makin bersemu merah mendengar pernyataan itu. Entah kenapa, kebiasaannya untuk mendominasi terkikis habis saat berhadapan dengan obyek fantasi seksualnya secara riil.
"Please don't be surprised..." Ujar Sabrina sambil memegang tangam Jayne di atas meja kafe. Jayne membiarkan jemari halus Sabrina mengelus jemarinya, dan secara refleks ia memejamkan mata, merasakan kehangatan sentuhan itu. "I go with both men and women." Lanjut Sabrina.
Jayne membalas mengusap jemari Sabrina dengan jarinya. Ia masih belum bisa berkata-kata. I wish Deetou is here to give me an advice! Pikirnya sambil menikmati permainan jari itu.
"Jayne, look at me..." Bisik Sabrina lembut. "I am here now, you don't need your fantasy again." Lanjutnya setelah Jayne menatap wajah cantiknya.
"I... I dunno whatta say." Jawab Jayne jujur. "This is...pretty much faster than I thought."
Aku ingin tahu apa yang akan kamu lakukan kalau kita benar-benar berkencan. "Let's get out of here and find a place with more privacy." Sabrina berdiri dari kursinya dan menenggak habis Heinekken di botolnya.
Jayne melakukan hal yang sama dengan botolnya. "Where are we going?" Tanyanya.
"I know a budget hotel nearby..." Ujar Sabrina datar, meski sebenarnya sangat bersemangat hendak 'mencoba hal baru'. "We can stop by at 7-11 to buy some drinks if you like."

####################
Jayne Lee

Aku akan menaklukkannya! Pikir Jayne saat kedua wanita itu berjalan di lorong hotel murahan, menuju ke kamar yang mereka sewa. Ia berjalan di depan, memegang kunci, dan membiarkan Sabrina berjalan di belakangnya sambil membawa dua kantong berisi paket McDonald's.
Aku akan melihat apa yang selama ini dikhayalkannya! Sabrina bersorak dalam hati. Sebagai seorang psikoanalis, ia tahu bahwa Jayne sedang berada dalam dilema; sang professor antara berani dan tidak berani untuk menunjukkan kecenderungannya untuk dominan karena takut kehilangan 'wanita impiannya', dan Sabrina menikmati sekali ‘mental prank’ yang dilakukannya itu.
"Here we are." Ujar Jayne saat membuka pintu kamar. "...and I think next time we should rent a bit more expensive room." Sambungnya saat melihat sprei lusuh, tirai kusam, dan pemandangan jendela yang menghadap ke bagian belakang sebuah gedung.
"IF there's a next time." Jawab Sabrina dengan gaya netral, namun jelas-jelas mengancam. Ia sengaja mempermainkan perasaan si profesor. Bukan karena ingin mendominasi, namun karena ia ingin membuat si profesor bersikap all-out pada kencan pertama itu.
Meski agak kuatir, Jayne berpura-pura tidak mendengar jawaban Sabrina. Ia melepaskan kemeja dan celana panjangnya, menyisakan sebuah tank top dan celana super pendek yang jelas-jelas tak becus menutupi keindahan tubuhnya yang memang jauh di atas rata-rata.
"Wow... You have a great body, Jayne." Sabrina bergaya lugu. Ia memang ingin melambungkan ego Jayne, agar lebih liar saat bercinta nanti.
"I think you have a better one." Jawab Jayne sambil berdebar-debar menatap Sabrina yang membuka kancing kemejanya satu per satu.
Mata Jayne tak berkedip saat melihat Sabrina hanya mengenakan bra dan rok mini. Wow... Badannya memang lebih sempurna! Pikir Jayne sambil menahan air liur. Tubuh Sabrina memang amat indah, leher dan tungkainya panjang-panjang, pinggangnya amat langsing dengan six-pack tampak tersamar di perutnya.
“Brina...” Jayne menghempaskan pinggulnya di tepi ranjang dan duduk bersila di atasnya sambil mengamati gerak-gerik Sabrina yang sedang melipat kemeja dan meletakkannya ke atas sebuah televisi kecil di sudut kamar. “I... I feel uncomfortable doing this.” A-apa yang harus kulakukan? Meski sering mengkhayalkannya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan di dunia nyata! Pikir Jayne ragu.

Sabrina melangkah mendekat dan duduk di dekat Jayne di atas ranjang. “Does sitting with me in a bed make you feel uncomfortable?” Tanyanya sedikit menggoda.
“No... I mean...” Jayne kembali tergagap. “I need to know... how did you find out about... err... my slideshow.”
“I peeped.” Sabrina menjelaskan bahwa ia mengintip. “I peeped, and I saw what you were doing, and what was in your monitor...and call me crazy, but I was glad to see you doing that.” Senyum manis mengembang di wajah cantik Sabrina, seolah berusaha menenangkan Jayne.
“That was... embarrassing.” Jayne menunduk malu, “You saw me touching myself looking at your pictures.”
“Hey, that’s cool with me.” Sabrina meletakkan tangan di pundak Jayne, “I’m glad that it was you.”
Keduanya terdiam dan saling bertatapan dalam jarak amat dekat. Masing-masing sama-sama mengagumi kecantikan wajah satu sama lain. Setelah beberapa lama, Sabrina mengambil inisiatif untuk meredupkan mata dan membuka bibirnya sedikit... membiarkan bibir Jayne mendekat... dan melumatnya dengan lembut. Kedua wanita itu kini berciuman syahdu. Tangan-tangan Jayne dengan liar mulai meraba tubuh Sabrina.... pinggang, pinggul, pundak, leher, dan tengkuk Sabrina terasa hangat tersentuh jemari lembut itu.
Aku ingin membiarkannya mendominasi dulu. Pikir Sabrina sambil menikmati perbuatan sang professor pada tubuhnya. Sebelum menjatuhkan egonya keras-keras! Aku memang nakal, hihihi.
Jayne melepaskan kaitan bra di punggung Sabrina, untuk kemudian ternganga melihat warna puting susu Sabrina yang merah jambu menggoda.
“T-They are more beautiful than I’ve imagined...” Bisik Jayne sambil menatap lekat kedua puting susu itu.
Sabrina membusungkan dadanya dan menunduk menatap wajah Jayne yang tengah terkagum-kagum.
“And they are more sensitive than you might have thought.” Bisiknya di telinga Jayne sambil mengelus rambut panjang si professor. “Kiss them, Jayne...” Bisiknya lagi.
Jayne mendekatkan mulutnya ke puting susu kanan Sabrina. Aku akan mengisap puting susu Dr Sabrina Yuzuki! Pikirnya tegang.
Sabrina tak kalah tegang, ia menatap lekat bibir merah Jayne mendekat ke puting susunya dan bersiap merasakan lagi rasa geli dan nikmat yang ia rasakan semalam dari kedua teman sekamarnya.

“Nggghhhh...” Sabrina mendesah... mengerutkan kening dengan mata menyipit merasakan bibir Jayne melumat putingnya. Rasanya lain... jauh lebih merangsang daripada teman-teman sekamarku... “Shhh...” Ia kembali mendesah saat mulut Jayne menarik benda kecil itu dan melepaskannya. Aduhh... nikmat sekali... Jayne menatap puting susunya perlahan mengencang... begitu tinggi dan tegang.
Jayne mengamati wajah Sabrina yang mengekspresikan kenikmatan.
Dr Sabrina Yuzuki terangsang oleh mulutku! Pikirnya lagi... puting susunya amat sensitif, aku akan menaklukkannya!
Sambil menikmati pemandangan wajah cantik Sabrina yang mengaduh dan merintih, Jayne melanjutkan melumat-lumat kedua puting susu itu dengan penuh ambisi untuk ‘menaklukkan’ wanita yang selama ini hanya hadir dalam khayalannya. Tiap jilatan Jayne membuat Sabrina merasakan tubuhnya makin lemas dan terangsang, hingga akhirnya ia merebahkan diri ke ranjang, membiarkan Jayne menindih tubuhnya. Hangat sekali rasanya saat kulit-kulit mulus itu saling bergesekan.... Kedua pangkal payudara berukuran sedang itu diremas-remas dan puting-puting susunya terus dijilat dan diisap hingga kian mengencang. Kenikmatan ini membuat Sabrina terpejam-pejam sambil mengerang-ngerang keenakan. Merasa lawannya kian terangsang, Jayne bangkit berdiri dan menelanjangi diri di hadapan koleganya yang masih telentang dengan dua puting mengacung tinggi. Dengan bangga, ia membiarkan ketelanjangan tubuhnya terekspos di hadapan Sabrina yang menelan ludah mengaguminya. Pinggang Jayne begitu ramping, semampai, dan berkulit bersih tanpa noda... kedua payudaranya berukuran sedikit lebih besar daripada milik Sabrina, namun terlihat kencang dan terawat dengan sepasang puting susu yang berwarna kemerahan, menantang siapapun untuk mengisapnya. Awalnya Sabrina berniat untuk menyerbu tubuh indah Jayne, namun ia mengurungkan niatnya.
Untuk apa bersusah payah kalau dia rela bekerja keras untuk memuaskanku? Pikir Sabrina. Aku akan memberikan apa yang dia inginkan... mendominasi tubuhku. Pikirnya lagi saat Jayne mulai naik ke ranjang dan menciumi paha dan perut Sabrina dengan lembut namun bernafsu.

Paha ini... perut ini... pinggang ini... milik seorang Sabrina Yuzuki.. . Pikir Jayne sambil terus menikmati tubuh telanjang di hadapannya.
Geliatan-geliatan dan rintihan kecil Sabrina makin membuatnya bernafsu, mulutnya segera kembali pada kedua payudara Sabrina dan melanjutkan merangsangnya, hingga Sabrina tampak seperti kehabisan nafas dan mendekap erat lehernya, seolah tak ingin kejadian itu berakhir.
“Nghhh... J-Jayne... it feels soo greattt...” Desah Sabrina terus menerus, mengekspresikan perasaannya yang dibanjiri kenikmatan.
Jayne tidak hanya menjilati puting susu Sabrina, ia juga menjilati batang leher yang jenjang, tulang rahang yang indah, serta bahu Sabrina yang terbentuk indah.
Tubuhnya indah sekali... begitu sempurna! Pikir Jayne kian bernafsu.
Diam-diam kedua puting susunya ikut mengacung karena bergesekan dengan perut Sabrina yang ramping namun berotot cukup keras itu. Sambil memegangi kedua payudaranya, Jayne menyentuh-nyentuhkan puting susunya sendiri pada puting susu Sabrina yang terasa begitu keras dan tegang.
“Ohh... you’re so hard, Brina... Ngghhh..” Ia merintih-rintih kegelian sendiri. “Kiss them, Brina...”
Kedua tubuh indah itu kini berada dalam posisi saling berkebalikan, mirip posisi sixty-nine, namun kedua wajah cantik itu tidak menghadap ke kemaluan masing-masing, melainkan ke payudara-payudara indah itu. Lidah-lidah hangat membelai puting-puting susu yang kian mengencang, dan suara erangan wanita memenuhi kamar hotel murah itu. Kedua buah vagina mulai berdenyut dan lembab, meneteskan cairan pelumas yang membasahi paha-paha mulus dan jenjang.
“Ohh... Jayne... I can’t stand it anymore...” Bisik Sabrina merasakan dirinya telah amat terangsang dan membutuhkan penuntasan.
“Neither can I...” Jawab Jayne sambil membalikkan posisi berbaringnya hingga kedua insan sejenis itu kini saling berhadapan.

Secara refleks, keduanya saling berdekapan erat dan berciuman... tubuh-tubuh berkeringat itu merapat, puting-puting susu bergesekan dengan badan masing-masing... tungkai-tungkai jenjang itu saling bertautan sedemikian rupa hingga kedua vagina mereka sama-sama tergesek oleh paha satu sama lain. Keduanya tampak telah sangat terangsang dan kini sangat menikmati percintaannya. Bermenit-menit kemudian, gesekan-gesekan paha pada vagina yang berlelehan itu kini makin cepat, membuat suara berkecipak terdengar cukup keras. Kekaguman atas kecantikan satu sama lain membuat kedua wanita itu kini saling menjilati wajah lawan mainnya. Seluruh logika dan perasaan telah menguap dari otak kedua akademisi itu, hanya birahi yang menguasai jiwa dan raga mereka kini.
“J-Jayne... I’m... I’m cumminggg...” Erang Sabrina sambil mengeratkan dekapannya.
Ini dia! Pikir Jayne. “Let it out, Brina... let it out...” Ia mempercepat gesekan pahanya sambil menyisipkan tangan di antara kedua tubuh mereka untuk merangsang puting susu Sabrina yang sangat sensitif itu... membuat wajah cantik tampak mengekspresikan kesakitan, meski sebenarnya tengah berjuang menahan kenikmatan.
“Ahkkkk....” Sabrina menjerit tertahan dengan tubuh mengejang-ngejang selama beberapa saat, sebelum akhirnya terkulai lemas dalam pelukan Jayne. “I came...” Rintihnya lirih di tengah nafas yang terengah-engah.
Jayne mendekap tubuh lunglai itu dan mengelus-elus rambutnya.
Sabrina Yuzuki! Makhluk cantik yang cerdas dan berprestasi... kini terkulai tak berdaya dalam dekapanku. Ego Jayne terguyur oleh kepuasan batin yang amat sangat. Wanita ‘super’ yang telah lama menghuni khayalnya itu kini benar-benar telah ‘dikalahkannya’ dengan telak... tubuh sempurna itu telah dibuatnya lemas, terkulai tak berdaya dalam dekapannya.
“Have some rest, Brina.” Bisik Jayne sambil mengecup kening Sabrina dan bangkit berdiri.
Sabrina tampak menurut. Namun dengan sengaja ia memasang pose yang amat merangsang dan terkesan ‘takluk’. Kedua tungkainya mengangkang, menampakkan vagina yang masih sesekali berdenyut dan berleleran, pinggangya sedikit terputar ke samping, dan kedua tangannya terentang ke atas, membuat payudaranya tampak membusung dan bergerak naik turun seiring nafasnya. Sementara wajah cantiknya terpejam dengan mulut ternganga seperti orang yang benar-benar kewalahan didera orgasme. Butir-butir keringat di sekujur tubuh semampai itu menambah sempurna visual-effect yang diciptakannya.

Jayne duduk di tepi ranjang. Sambil tetap telanjang, ia meraih iPhone dari tasnya dan memotret pose Sabrina yang tampak ‘takluk’ itu dari berbagai sudut. Dengan senyum penuh kemenangan dan birahi ia memandangi lagi tubuh semampai di atas ranjang itu, dan mulai menyentuh tubuhnya sendiri. Dalam beberapa menit, wanita itu mengejang-ngejang dilanda orgasme. Mendengar rintihan panjang Jayne. Sabrina tiba-tiba melompat bangkit. Jayne yang masih didera orgasme tampak kaget, namun ia tak memiliki cukup energy untuk bereaksi saat Sabrina menyerbu tubuhnya... membuatnya jatuh telentang di karpet dan langsung menjejalkan tiga jari ke dalam vaginanya.
“Ahkkkk... B-Brinaaa... Ohhh...” Jayne merasa benar-benar keenakan.
Dalam kondisi baru saja mendapat orgasme, tiba-tiba jemari Sabrina menyerbu masuk dalam liang kewanitaannya... dan bergerak begitu lincah... menunjukkan pengalamannya ‘memperkosa’ wanita. Jari-jari itu berkali-kali menyentuh tempat yang tepat hingga Jayne kian kelojotan. Ia berusaha meronta, namun lengan-lengan Sabrina ternyata berotot keras dan kuat, memeganginya hingga ia tak berdaya. Mulut Sabrina menangkap puting susu Jayne dan mengisap serta menjilatinya dengan gerakan-gerakan tak terduga, membuat Jayne kian meronta, menggelinjang, dan menjerit-jerit kewalahan menahan rangsangan yang memang terlalu berlebihan ini. Wajahnya terpejam dan menggigit bibir, kepalanya menggeleng-geleng, refleks yang menunjukkan bahwa ia menolak datangnya rangsangan...namun kenikmatan yang terlalu bertubi-tubi benar-benar membuat wanita ini kewalahan. Ia merasakan sejumlah besar energinya mengumpul... rangsangan-rangsangan pada puting susu dan vaginanya seolah menggumpal di dalam badannya... untuk kemudian mengalir turun dengan derasnya... lalu menyembur keluar melalui vaginanya. Sabrina melepaskan mulutnya dari puting susu Jayne, jarinya terus menjentik-jentik G-Spot yang ditemukannya dalam vagina Jayne berulang-ulang. Dengan senyum nakal, ia menyaksikan semburan cairan bening dari kemaluan Jayne menyemprot begitu kuat dan jauh, hingga membasahi ranjang di dekat mereka.
Wow... female ejaculation! That is rare! I want that too someday! Pikir Sabrina menikmati hasil kerjanya.
Jayne sempat melihat semburan dari tubuhnya, sebelum sedetik kemudian tubuhnya terasa begitu lemah dan pandangannya berkunang-kunang. Ia sempat berusaha mengangkat kepalanya dari lantai, namun kembali rebah karena terasa begitu berat. Rasa nikmat itu terlalu kuat untuk ditahan oleh tubuhnya yang kini benar-benar kelelahan. Ia terkulai tak bergerak... tak sadarkan diri.

Dia pingsan? Pikir Sabrina menatap tubuh langsing penuh keringat yang tergolek di atas karpet itu.
Tubuh Jayne tampak benar-benar tak berdaya meski sesekali masih mengejang mengikuti denyut jantung yang tak teratur, namun ia memang tak sadarkan diri. Astaga... aku membuatnya ‘kalah’. Sabrina tampak menyesal. Kenapa aku tak bisa menahan diri untuk tidak menikmati tubuhnya?
Penyesalan Sabrina hanya sebentar, karena kemudian ia kembali ‘mengerjai’ tubuh Jayne yang masih belum siuman itu. Ia menggesek-gesekkan vaginanya pada vagina Jayne yang hangat itu, berusaha mencapai orgasme, namun akhirnya ia menyerah dan berhenti. Well... I think I’m not that good as a lesbian... I need a real dick! Pikirnya sambil mengenakan pakaian dan mulai menikmati Fillet O’ Fish dari kantong McDonalds, menunggu si professor siuman.
################################
Pingsan rasanya aneh. Namun pingsan karena orgasme, rasanya benar-benar nikmat. Saat seluruh energy terasa ‘terenggut’ dari dalam tubuh, membiarkan tubuh lemas tak berdaya, mata berkunang-kunang, lalu semuanya gelap. Hanya kegelapan, kehangatan, dan kenikmatan yang terasa. Itulah yang dirasakan Jayne sekarang. Perasaan itu terus hinggap dalam otaknya selama hampir dua jam... untuk kemudian mulai mereda, mereda, dan akhirnya kegelapan dan rasa hangat lenyap... meski kenikmatan masih tersisa, plus sedikit rasa lemas di badan.
##################################

“Welcome back, Jayne.” Goda Sabrina sambil mengunyah french fries dan duduk bersila di atas karpet saat ia melihat Jayne mulai bergerak dan mengerang.
Jayne tampak bersusah payah berguling dan mengangkat tubuhnya untuk duduk. “Ngg... was I fainted?” Tanyanya sambil memijit tengkuknya yang terasa letih untuk memulihkan tenaga.
“Indeed... for almost two hours.” Jawab Sabrina sambil tertawa, “You really enjoyed it didn’t you?”
“Yes, I did.” Jayne memaksakan senyuman manis. Aku telah dikalahkan... telak. Pikirnya.
Ia merasa egonya jatuh dan hancur berkeping-keping saat itu, namun ia berusaha untuk bersikap manis dan menahan amarah. Ia tak ingin kehilangan hubungannya dengan wanita yang selama ini dikhayalkannya itu.
Dia benar-benar superior, dan aku telah dikalahkannya... apakah aku memang begitu lemah?
“Brina...” Ujar Jayne setelah menyeruput sedikit sprite dari gelas plastik McDonald’s. “...did you... did you enjoy it too?” Tanyanya lirih. Kenapa kamu harus berpura-pura orgasme tadi? Tanya Jayne dalam hati. Apakah aku tidak memuaskanmu? Apakah aku seorang yang sangat konyol dan tidak berpengalaman dalam hubungan intim? Jayne merasa kepercayaan dirinya agak terganggu.
“You bet!” Jawab Sabrina ceria sambil meraih tangan Jayne dan mengecupnya. “This hand... had taken me to the seventh heaven.” Ujarnya sambil mengecup-ngecup jemari Jayne yang dipenuhi cairan vagina yang telah mengering. Aku harus membiarkan egonya tetap tinggi agar ia tetap bahagia. Pikir Sabrina yang menyadari bahwa ‘menjatuhkan’ Jayne adalah sebuah kesalahan yang lain waktu harus dihindari. Sedikit rasa iba dalam benaknya mulai beralih menjadi rasa simpati.
“Really?” Mata Jayne sedikit berbinar, “Did I really satisfy you?” Ia masih terdengar tidak yakin. Memang perlu waktu untuk mengembalikan ego seseorang dengan kepribadian seperti Jayne. Apalagi Jayne merasa telah dikalahkan dalam banyak hal... mulai dari bentuk dan tinggi badan, sampai kemampuan bercinta.
Sebagai seorang psikoanalis, Sabrina menyadari hal itu. Ia menggeser posisi duduknya dan memeluk tubuh telanjang Jayne. “I really enjoyed every moment we’re together.” Bisiknya sambil mengecup pipi Jayne, “...and I want this to happen again.” Lanjutnya sambil mulai mencium-cium leher jenjang Jayne.
“Hey, I might have not energy to do that again.” Bisik Jayne sambil tersenyum, mengakui bahwa ia masih terlalu lelah untuk bercinta lagi. “Not to say that I don’t want to do it again someday.” Lanjutnya sambil meremas kecil payudara Sabrina yang telah terbungkus rapi oleh kemejanya. Dia menginginkan tubuhku lagi... Dr Sabrina Yuzuki yang sempurna ini menginginkan tubuhku lagi! Ego Jayne mulai kembali naik.
“I’m obsessed with you...” Sabrina berbisik sambil menggelendot di bahu Jayne, membiarkan kepalanya tersandar pada dada telanjang Jayne yang duduk bersandar di kaki ranjang. “...your beauty... your intelligence... your work ethic... your achievement... Jayne, you are a PERFECT woman, you know that?” Sabrina terus berusaha memberi makan ego Jayne yang senantiasa lapar itu.
“All right... let me do it with my mouth... take this off.” Jayne menjentik puting susu Sabrina dari balik kemejanya.

Sabrina duduk dengan kedua paha mengangkang di tepi ranjang. Kemejanya tak terkancing dan melorot hingga ke siku, membiarkan kedua payudaranya menjadi bulan-bulanan jemari Jayne. Karena ia tak mengenakan celana dalam, rok mini yang dikenakannya tidak mempersulit Jayne untuk menciumi bibir vagina kemerahan miliknya. Jayne memilin kedua puting Jayne dengan tangannya, sementara mulutnya menjilat dan mengisap-isap klitoris pada ujung bibir vagina Jayne yang berwarna merah menyala. Ia tak perlu waktu lama untuk membuat bibir vertical itu lembab dan merekah, diiringi erangan lirih pemiliknya.
“Nghh... Jayne...” Rintih Sabrina saat Jayne melesakkan jari ke dalam vaginanya. Terasa geli dan nikmat... namun tak cukup untuk memberinya rangsangan berlebih, yang diperlukannya untuk mencapai orgasme hebat seperti yang diinginkan Jayne.
Aku harus menggunakan cara lain. Sabrina memilin-milin kedua putingnya sendiri sambil membiarkan Jayne mengerjai vaginanya. Imajinasinya melayang pada percintaan-percintaan yang pernah dilakukan atau dikhayalkannya. Wajah Brad Pitt, otot Arnold Schwarzenegger, suara Antonio Banderas, belaian lembut Anne Hathaway, erangan menyayat Sharon Stone... serta adegan-adegan romantis dalam film Twilight, semua berusaha diingatnya. Terbayang olehnya puting-puting susunya sedang dijilat-jilat oleh Sharon Stone dan Megan Fox. Keduanya seperti begitu bernafsu dan menjentik-jentik puting-puting itu hingga mengencang dan membengkak keras dalam mulut mereka.
“Ohhh... Nghh...” Sabrina mengerang dan merintih, tak berani menyebutkan nama, karena takut salah sebut.
Terbayang juga sekujur kulit tubuhnya diraba oleh tangan-tangan kekar Jay Cutler, juara binaraga Amerika. Terasa tangan-tangan kekar dan berotot besar itu meremas-remas pinggangnya yang ramping, pangkal payudara, serta pinggulnya... dengan pijatan yang kuat dan mantap. Ia benar-benar bisa merasakan kehangatan yang akan terasa seandainya itu benar-benar terjadi. Jari-jari Jayne dalam vaginanya terasa seperti sodokan-sodokan kejantanan dari Jacob, si werewolf dalam film Twilight. Sabrina juga membayangkan sedang menatap tubuh tegap berotot besar di hadapannya sedang bergerak maju mundur... sesekali, imajinasinya beralih dari sebuah tubuh seorang binaragawan menjadi tubuh langsing dan ramping milik seorang supermodel, dengan anggota tubuh serba panjang, serta payudara-payudara berukuran sedang dengan puting-puting mencuat kemerahan. Tiba-tiba terbayang wajahnya sendiri. Sabrina teringat akan foto-foto yang dilihatnya di iPhone milik Jayne saat Jayne masih belum siuman... ia mengakui bahwa tubuhnya sendiri tampak begitu sensual dan merangsang... terbayang ia sexang nergumul dengan dirinya sendiri... wajah yang tiap hari dilihatnya dalam cermin itu tampak begitu sensual saat mengerang dan mengerutkan kening dengan mata menyipit serta bibir mendesahkan kenikmatan. Secara ajaib, tiba-tiba ia merasakan orgasmenya hadir... awalnya begitu ringan... namun makin lama makin besar... membesar... lalu meledak... Ia mengelinjang dengan vagina membanjir, meski tidak sampai ejakulasi. Ia merebahkan diri ke ranjang dengan nafas terengah-engah... energinya tidak terlalu terkuras, namun orgasme kecil yang dirasakannya cukup untuk memuaskan ego Jayne.
Aku membayangkan diriku sendiri saat bermasturbasi? Tidak! Aku bukan seorang penderita narcissistic-sociopath disorder! Kenikmatan menghapus kekuatiran singkat di otak Sabrina, dan untuk sesaat ia tergeletak menikmati orgasme... yang sebenarnya tidak terlalu memuaskan.
Jayne menarik nafas lega. Superioritasnya diakui. Di sisi lain ia juga bangga bahwa orang yang mengagumi superioritasnya adalah orang yang dianggapnya juga superior. Prestasi Sabrina di dunia akademik, kecantikannya, keindahan tubuhnya, dan kecerdasannya, sudah lama dikagumi oleh Jayne... dan kini gairah Sabrina di ranjang menjadi salah satu faktor yang juga dikagumi oleh Jayne. Memang hanya orang-orang di level ini yang boleh menjamah tubuhku! Ego Jayne kembali berbisik. Dan hanya mereka lah yang boleh berada di lingkaran kecil lingkungan sosialku!
“May I have one of these?” Tanya Sabrina sambil mengeluarkan sekotak Sampoerna Menthol dari dalam tasnya.
“Oh sure.” Jayne menjawab sambil berusaha berdiri, “I’ll join you after shower.”
Keduanya berpisah setelah beberapa lama mengobrol ditemani beberapa batang sigaret dan beberapa kaleng Heinekken.
#######################

Deetou

Dalam mobil Honda City berwarna silver yang dikemudikannya, Sabrina memasang Bluetooth hand set di telinganya dan menjawab sebuah panggilan telepon.
“How was it?” Tanya suara seorang pria dalam sambungan telepon itu.
“Aduh Ditt... gua hampir aja melakukan kesalahan.” Sahut Sabrina pada si penelepon dalam bahasa Indonesia casual... penelepon itu tak lain adalah Deetou. “Tapi egonya udah naik lagi kok, no worries.”
“Lo pasti sebelumnya bikin dia KO di ranjang ya?” Tanya Deetou menyelidiki, “Trus naikinnya lagi gimana?”
“Iya... she’s pretty lousy in bed.” Jawab Sabrina, “...untung dia cantik, jadi gua masih bisa sedikit memanfaatkan imajinasi gua lah... hahaha.”
“Ya, itu sih gua tau... Terus cara lo naikin egonya gimana?” Deetou mengembalikan pada pokok permasalahan, seolah tak ingin kliennya mendapat terapi yang salah.
“Ya, gua bilang kalo gua obsessed ama dia, mengagumi dia, dan berbagai crappy statement seperti yang lo ajarin tadi sore, hihihi... thanks lho, by the way.” Sabrina menjawab panjang.
Beberapa jam sebelumnya, saat Sabrina dan Jayne baru saja memutuskan untuk berkencan, Deetou mendatangi ruang kerja Sabrina dan mem-briefing-nya. Pria itu menjelaskan bahwa Jayne berada dalam perawatannya untuk mengatasi kebingungan seksual, namun permasalahan Jayne yang sebenarnya adalah megalomaniac-narcissistic-sociopath disorders, jadi perlu penanganan professional untuk pelan-pelan memperkuat egonya yang amat lemah dan sensitif itu... dan Sabrina telah mengikuti pesan Deetou dengan baik malam ini.
“Dia bakalan nempel sama elo sekarang.” Deetou menyimpulkan, “Jadi gua bisa rada rileks, hihihi.”
“Yah... curang lo!” Balas Sabrina. “Tapi, btw Ditt... ada yang gua mau nanya sama lo, ini serius.”
“Apaan?” Tanya Deetou lagi dengan nada ikut serius.
“Sorry ya, gua mencium kalo elo ada tujuan lain dalam melibatkan gua di proyek Jayne... maaf kalo gua salah...” Tanya Sabrina sambil menepikan mobil karena pembicaraan makin serius.
“Hmm... maksud lo?” Deetou menggali lebih dalam.
“Kayanya ada kesan kalo lo sengaja membangun team riset tanpa melibatkan orang lokal.” Sabrina menjelaskan, “Maksud gua... orang melayu.”
“Yah, mereka memang jarang ada yang bisa kerja beneran sih.” Jawab Deetou asal-asalan, “Apa yang bikin lo kuatir tentang itu?”
“Apa ga berbahaya buat Jayne kalo proyeknya berisi dia dan kita doang? Ntar petinggi-petinggi universitas bakal berusaha ngejegal, lho...” Sabrina kembali menjelaskan, “Gua mungkin tau beberapa orang melayu yang lumayan berpengaruh untuk masalah gitu-gitu.”
“Hm... kita perlu ketemu deh kayanya... lo di mana sekarang?” Tanya Deetou seolah tak mempedulikan waktu yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Gua di sekitar Green Lane, deket sama McDonalds’... mo ketemuan di mana?” Sabrina menjawab, “Eh, tapi lo gapapa ketemu gua malam-malam?”
“Gua sih gapapa... hm... ketemu di McD aja deh, gua kesitu lima belas menit lagi.” Jawab Deetou mengakhiri pembicaraan.
#############################
Kedubes Amerika’, nama julukan untuk restoran McDonald’s, tampak masih terang benderang di malam yang telah larut itu. Beberapa remaja sedang memanfaatkan internet gratis dengan hanya membeli sebungkus French Fries, dan sejumlah pasangan tampak memilih tempat di sudut-sudut yang agak gelap untuk berasyik masyuk. Sabrina Yuzuki tidak meninggalkan mobil setelah memarkirnya. Ia memilih untuk menurunkan sandaran dan beristirahat sejenak. Ia sadar bahwa kemeja kerja yang kusut dan rok mini bukan pakaian yang tepat untuk berada di dalam restoran malam itu. Ia memutuskan untuk menunggu Deetou menelepon menanyakan dia berada di mana. Di luar dugaan, Deetou tidak menelepon, ia justru mengetuk kaca jendela mobilnya.

################################

Tubuh besar Deetou terlihat agak sulit untuk duduk di kursi yang posisinya terlalu ke depan di mobil Sabrina, hingga ia harus memundurkannya semaksimal mungkin. Sabrina tidak menaikkan sandaran kursinya dan tetap duduk dalam posisi setengah berbaring. Ia tak peduli kalau posisinya itu memungkinkan pria untuk berpikir yang tidak-tidak karena keindahan tubuhnya. Meski baru berkenalan pagi tadi, wanita itu merasa bahwa Deetou adalah seorang yang ‘aman’, sekaligus seorang teman yang bisa dipercaya.
“Wow, baju lo kusut banget?” Tanya Deetou yang agak alergi dengan ketidak-rapian. “Pasti tadi gila-gilaan sama Jayne ya?”
“Yah... perlu perjuangan untuk babysitting orang kayak dia.” Jawab Jayne sambil menggeliat melemaskan otot, “Lo kok bisa sih betah jadi konsultan pribadi dia?”
“Gua kasihan sama dia sebenernya.” Jawab Deetou sambil mengeluarkan blackberry playbook dari sakunya, “Dia perlu dibantu... dan sekaligus bisa membantu karir gua, hehehehe.” Pria itu lalu memotret Sabrina yang terlentang itu dengan gadgetnya.
Kilatan lampu blitz membuat Sabrina menyipit, hingga hasil foto itu terlihat begitu menggoda. “Hey, apaan sih?” Ia berusaha merebut gadget itu dari tangan Deetou, “Kalo lo mo liat yang lebih seru ada di iPhone nya si Jayne...”
“Wah, besok gua minta deh.” Jawab Deetou sambil tersenyum. “Lo mo ngobrol di dalem apa di sini aja?” Tanyanya sambil menatap tubuh Sabrina yang menunjukkan pose amat menggoda itu. Ceroboh sekali dia membiarkan tubuh seindah itu terpamerkan dengan sembarangan.
“Di sini ajalah...” Jawab Sabrina, “Tapi lo ga keberatan kan kalo gua sambil tiduran gini? Rada cape gua.”
“Mananya yang cape?” Tanya Deetou nakal, “Mo dipijit?”
“Boleh.” Jawab Sabrina sambil bangkit duduk, “Sini... pegel banget leher dan bahu gua.” Ia menyibakkan rambut panjangnya ke samping dan sedikit menurunkan kemejanya ke bawah... menunjukkan tengkuk yang luar biasa indah itu pada Deetou. Apakah pria ini bakal terangsang kalau aku menunjukkan ini? Pikir Sabrina dalam hati, mencoba memulai sebuah petualangan baru.
Gila! Apa dia sengaja menggodaku? Pikir Deetou sambil mengagumi keindahan tengkuk yang senantiasa tersembunyi di balik rambut dan baju itu. Namun ia masih bisa menguasai diri dan meletakkan jemari besarnya pada tengkuk dan bahu Sabrina, dan mulai memijit lembut.

“Nghhh... enak banget, Diiiitttt...” Sabrina mengerang sensual. Tidak dibuat-buat, karena memang ia merasa otot-ototnya begitu nyaman dalam pijatan jari-jari raksasa yang kuat itu. “Ngobrol sambil dipijitin gini juga gapapa, kan?”
“OK...” Jawab Deetou sambil membetulkan posisi duduk dan membayangkan menjilati tengkuk indah yang begitu seksi itu. “Gua denger, ada sejumlah petinggi universitas yang kurang suka sama kesuksesan Jayne.” Ia memulai penjelasannya, berusaha untuk tidak menyebutkan secara terlalu terbuka misi yang dipercayakan kepadanya oleh MI6.
“Nghh... turun dikit, Ditt...” Sabrina mengerang meminta Deetou memijit agak ke punggungnya.
“Bukannya Jayne memang pantes menduduki posisinya? Apa dia punya policy yang berbeda sama yang dipengenin universitas?”
“Biasa lah, Brin... birokrat-birokrat melayu takut kalo mereka ga kebagian nama kalo Jayne yang pegang proyek-proyek besar...” Jawab Deetou sambil memainkan ibujarinya di antara otot-otot punggung Sabrina yang memang sedang kaku. “...karena mereka tahu kalo Jayne bakal ga ngrekrut orang melayu sama sekali.”
“Itu sebabnya dia minta elo yang ngebikin team, karena dia merasa bahwa elo lebih ‘diterima’ oleh kalangan birokrat melayu?” Sabrina mengkonfirmasi tebakannya sambil menggelinjang sedikit saat telunjuk-telunjuk Deetou secara tak sengaja meraba tengkuknya lagi.
“Bisa jadi...” Jawab Deetou lagi. “Gua emang berencana masukin beberapa nama orang melayu, tapi gua juga mesti menjamin kalo proyeknya bakal sukses... therefore, lo gua rekrut.”
“Thanks ya, buat kepercayaannya.” Sabrina menjawab dengan nada agak manja sambil menepuk tangan Deetou yang masih hinggap di bahunya sambil memijit, “...turun dikit dong, punggung gua juga pegel, hehehe.”
“It’s cool. Gua sih berpendapat bahwa proyek ini harus tetep ngangkat nama kita...” Deetou melanjutkan sambil memijit punggung Sabrina. Karena tangannya amat besar, meski ibujarinya memijit punggung, jemari yang lain melingkar ke pinggang Sabrina yang ramping itu. Badannya benar-benar atletis dan tidak berlemak! Pikir Deetou sesaat, “...tapi harus ada beberapa nama melayu yang perlu diangkat juga, biar proyeknya aman.”

“Kalo orang Arab gimana?” Tanya Sabrina, merujuk pada sejumlah besar warga timur tengah yang mendapat beasiswa untuk S2 dan S3. “Orang melayu kan seneng sama Arab.”
“Nggak lah.” Deetou menjawab sambil sedikit meremas pinggang Sabrina, “Arab susah diajak komunikasi... bahasa Inggrisnya jelek... lagian kalo udah masalah nama, orang melayu pasti lebih pengen kalo kita nunjuk orang lokal... anyway, kita masih perlu orang psikometri buat ngitung statistiknya ntar.”
“Berarti orang melayunya harus orang psikometri? Unghhh...” Sabrina menggelinjang saat telunjuk Deetou menekan pinggangnya dan membuatnya merasa agak kegelian.
“Ngga juga sih...” Jawab Deetou, “Gua bisa masukin lagi satu orang psikometri beneran, terus orang-orang melayunya sekedar buat bantuin kita fieldwork... you know, biar mereka yang masuk ke sekolah-sekolah nyebarin kuesioner dan interview.” Lanjutnya sambil menelan air liur melihat Sabrina menggelinjang barusan.
“Kalo gitu sih coba nama-nama yang akan gua sebut ini...” Sabrina menjawab. “Catet dongg! Tangan lo kaya ga mo lepas aja dari badan gua, hihihi...”
“Oh, OK.” Deetou melepaskan tangannya dari tubuh Sabrina dan meraih blackberry playbook-nya. “Ok, siapa yang lo pikir bakalan cocok? Besok gua omongin Jayne.”
Sabrina menyebutkan beberapa nama.
“Kalo orang yang kira-kira deket ma orang Arab siapa, Brin?” Deetou menggali lebih dalam, “Kali-kali aja mereka juga pengen ada nama Arab di proyek ini.”
Sabrina menyebutkan beberapa nama lagi. Ia sering menghadiri rapat-rapat untuk para pemegang beasiswa, dan ia tahu betul siapa orang-orang yang dimaksudkan Deetou. Tanpa curiga sedikitpun tentang maksud lain di balik itu.
“OK... recorded.” Jawab Deetou sambil memasukkan gadget-nya kembali ke dalam saku. Sebenarnya ia telah mengirimkan nama-nama tadi lewat jalur komunikasi internal pada seorang agen MI6 lain, dengan pesan agar latar belakang dan informasi tentang nama-nama tadi diselidiki lebih jauh.

“Ditt...” Sabrina membalikkan tubuh dan menghadap ke arah Deetou. “Massage nya belum kelar kok udah mo pergi lo?”
“Hah?” Deetou tampak agak bengong, “Udah malam lho, lo ga pulang?”
“Bagian depannya belon.” Jawab Sabrina agak nekat, sambil membusungkan dadanya.
Wanita ini benar-benar ceroboh! Pikir Deetou, Bagaimana jika yang berada di depannya ini bukan orang yang bisa dipercaya? Untuk sesaat pria bertubuh raksasa itu ragu-ragu... Atau jangan-jangan ia punya maksud lain? “Males ah... tangan gua cape.” Jawabnya sambil mencoba mengobservasi jawaban dari pancingannya.
“Pake mulut juga boleh.” Jawab Sabrina nakal. Tanggung, toh mungkin dia sudah berpikir sejak tadi kalau aku perempuan nakal. “Takut ya?”
Pancingan Deetou berhasil, namun Sabrina membalas dengan pancingan lain, yang agak membuat egonya terganggu karena tak ingin disebut pengecut. Pria itu menengok keluar mobil. Pelataran parkir itu cukup kosong, dan tempat yang dipilih Sabrina memang agak tersembunyi di balik sebuah bus yang sepertinya tidak akan dipindahkan sampai besok pagi. Situasinya amat mendukung untuk makeout...
Dalam hati Deetou mencurigai jangan-jangan Sabrina memang merencanakan untuk menggodanya malam ini... padahal mereka baru saja berkenalan pagi tadi.
“Hehehe, ada-ada aja elo, Brin.” Deetou mencoba mengelak, meski sepasang payudara terbungkus kemeja di hadannya itu tampak amat menggoda, apalagi dengan leher jenjang dan wajah super cantik di atasnya. “Ntar kalo ada orang liat gimana? Bisa-bisa kita dikawinin deh.” Candanya merujuk pada peraturan konyol di Malaysia tentang sepasang orang yang tertangkap sedang bermesraan di tempat umum.
“Punya gua ga sebagus punya Jayne ya?” Sabrina kembali melancarkan serangan. Nothing to lose, toh aku masih merasa menginginkan kepuasan yang cukup untuk malam ini, pikirnya tanpa mempertimbangkan resiko.
“Sama-sama bagusnya kok.” Ujar Deetou sambil meraih handle pintu. Tapi kapan lagi aku bisa mendapat peluang seperti ini? Pikirnya tidak mau rugi.
“Cuman sini aja kok... ga usah sampe ke bawah.” Lagi-lagi Sabrina menggoda lebih jauh. Kali ini ia bahkan sambil melepaskan kancing kemejanya satu demi satu, membiarkan mata Deetou berusaha melihat ke arah dadanya di tengah kegelapan.
“Ga keliatan lagi...” Seloroh Deetou, “Gelap banget.” Apakah alasan ini cukup logis?
“Tapi kan kerasa, Ditt...” Goda Sabrina. Ayo coba!
“Elo yang kerasa, gua mah biasa aja.” Deetou berdiplomasi. Toh ini tidak akan tertuntaskan.
“Halah, masa lo ga kerasa enak bisa melakukan itu?” Jawab Sabrina. Sedikit lagi!
Akhirnya Deetou mengalah. “Ya udah, sini... lepasin bra sekalian.” Mungkin memang malam ini aku setengah beruntung, pikirnya.

“Gua ga pake bra... masa lo ga kerasa waktu pijit gua tadi?” Jawab Sabrina sambil melepaskan seluruh kancing kemejanya, dan melorotkan kemeja itu hingga ke lengannya. Cahaya remang-remang jatuh ke rambut, leher, dan bahunya, menambah kesan indah dari badan wanita itu.
Deetou mendekatkan wajahnya pada payudara Sabrina, tanpa bisa melihatnya dengan jelas karena gelap. Dia akan terangsang, lalu minta untuk ke hotel... Pikir Deetou. Dan aku akan menjawab besok saja di kantor!
Kira-kira jilatannya akan merangsangku atau tidak?
Pikir Sabrina. Ia harus memberiku orgasme yang mantap kalau aku benar-benar terangsang. “Ahkkkk...” Sabrina memiawik tertahan saat lidah Deetou menyambar puting susu kanannya dengan jilatan cepat yang singkat. Puting kecil itu langsung mengencang, dan pemiliknya langsung terangsang. Gila! Ini dia pria yang aku perlukan!
“Ohhh... Nghh...” Sabrina menjatuhkan punggungnya di sandaran kursi yang masih belum dinaikkan. Kini dengan setengah berbaring, ia merintih-rintih dengan wajah sayu, merasakan jilatan-jilatan Deetou pada puting-putingnya. Terasa lain lagi... begitu merangsang.
Mulut Deetou cukup besar untuk melahap hampir seluruh permukaan buah dada Sabrina dan mengisapnya kuat-kuat sambil lidahnya mengait-ngait puting susu hingga makin mengencang. Lengan-lengan raksasa miliknya merengkuh pinggang Sabrina. Rampingnya lingkar pinggang itu, berikut kencangnya otot-otot pemilikinya, membuat Deetou merasa makin terpesona dengan keindahannya, ia makin bernafsu untuk membuat wanita itu terangsang. Dan ia berhasil. Merasakan hampir seluruh payudara kanannya berada dalam mulut Deetou memberi Sabrina perasaan yang belum pernah dirasakannya... Begitu hangat, begitu luar biasa.. . Puting susunya yang telah mengencang itu bergesekan dengan langit-langit mulut Deetou, membuatnya kian terpejam-pejam menahan nikmat dan tentu saja makin terangsang.
“Ahh... Ditt... Shhhh... enak bangetttt...” Bibir tipis Sabrina tak henti-hentinya mengerang dan merintih mengekspresikan kenikmatan yang luar biasa itu.
Bermenit-menit lamanya adegan itu berlangsung. Seluruh bukit payudara Sabrina terasa mengencang, puting-puting susunya, entah bagaimana, terasa makin sensitif. Rangsangan yang mengalir dari dada Sabrina mengalir ke sekujur badan, membuatnya benar-benar ingin sekali lagi melakukan seks malam ini. Nafasnya tertahan-tahan tiap kali putingnya menerima rangsangan lidah Deetou, wajahnya menunjukkan ekspresi amat terangsang.

"Uhhh... Uhhh... Aduhhh... G-gua ga tahannnn." Sabrina mengerang penuh ekspresi. Meski hanya dua payudara dan lehernya yang dijilati oleh Deetou, bukan hanya bagian itu yang basah pada dirinya; cairan pelumas telah berlelehan dari vaginanya, membasahi paha dan jok kursi di mobilnya. "Ohh... D-Diittt... G-gua pengennnn banget..."
Deetou menghentikan rangsangannya pada tubuh semampai yang indah itu. Lalu sekarang bagaimana? Pikirnya. Ia sendiri jelas ingin menuntaskan permainan itu dengan meniduri Sabrina, dan wanita itu tampaknya akan pasrah saja jika ia benar-benar melakukannya.
“Brina...” Bisik Deetou sambil merapikan kembali kemeja Sabrina. “Gua... gua ga bisa kalo di mobil.”
“Nghh...” Sabrina mencoba mengatur nafas. Ia merasa benar-benar terangsang saat itu, "Gua pengennn banget Ditt..." Bisiknya. Kali ini ia tidak menggoda, namun memohon. Betapa tidak, vaginanya terasa berdenyut minta 'diisi'... Aku bukan menginginkannya, tolol! Aku membutuhkannya!
Deetou terdiam. Ia kembali menengok ke kiri kanan, memastikan keadaan aman. Sejak bekerja dengan MI6, ia tidak pernah merasa tidak diawasi. Di sisi lain, kejantanannya terasa begitu tegang menginginkan tubuh langsing dan atletis yang telah pasrah itu.
"Gua ga pake celana dalam." Bisik Sabrina lirih sambil menggeser punggungnya naik ke sandaran jok dan mengangkangkan paha mulusnya... Aroma kewanitaan semerbak memenuhi ruangan.
"Bentar..." Deetou tiba-tiba beranjak keluar dari mobil, meninggalkan Sabrina yang tengah tersiksa birahi.
Wanita itu menghela nafas dengan pikiran campur aduk. Ia menyesal telah menggoda Deetou karena akhirnya ia sendiri yang kini meminta-minta ditiduri. Ia bahkan juga menyesal telah berkencan dengan Jayne tadi, dan mulai mengkhawatirkan pekerjaan dan studinya...yang bisa saja rusak oleh kelakuannya yang binal itu. Tiba-tiba sebuah mobil van Hyundai Trajet berwarna hitam terparkir di samping mobilnya, hingga kini Honda City milik Sabrina diapit oleh sebuah bus dan sebuah van besar. Dari dalam van itu muncul Deetou yang langsung membuka pintu mobil Sabrina, dan menarik tubuh wanita itu keluar.
"Di mobil gua aja." Ujar Deetou sambil membuka pintu van-nya, menghempaskan tubuh Sabrina masuk bersamanya sebelum menutup pintu.

Sabrina merasakan tubuhnya terbaring di sebuah karpet tebal yang empuk bertekstur lembut. Bagian belakang van itu tidak berkursi, dan di pinggir-pinggir lantai mobil itu tampak beberapa lampu LED ungu yang menyala berpendar, membuat nuansa dalam mobil itu terasa temaram, tubuh Sabrina tampak begitu indah tertimpa cahaya itu.
"Nghhh..." Sabrina mengerang sebelum sempat mengamati interior mobil itu lebih lama. Bajunya tiba-tiba kembali terbuka dan payudara kanannya kembali berada dalam mulut Deetou. Rangsangan dahsyat yang tadi dirasakannya, kini datang kembali.
"Ahhkkk... Ditt...u-udahhh...ohhh... L-langsung ajahhh..." Pintanya sambil mendekap tubuh berotot kekar itu, berusaha menghentikan rangsangan.
Deetou tak mengubah polanya. Ia kembali menghabiskan bermenit-menit untuk merangsang payudara Sabrina hingga wanita itu kembali kelojotan dan mengaduh-aduh.
"Brina..." Bisik Deetou di telinga Sabrina yang kini terengah-engah dan amat terangsang. "Gua masuk ya?"
Sabrina mengangguk sambil mengangkangkan pahanya dengan pasrah. Ia seperti sudah tak lagi mampu berpikir... hanya seks yang diinginkannya sekarang. Terasa tangan-tangan kekar mengangkat pinggangnya, sebuah benda tumpul membelai-belai bibir vaginanya, lalu apa yang dirasakannya saat itu jauh melebihi semua imajinasinya.
"Ouhgggg... Deetouuu..." Sabrina meringis menahan rasa sakit sekaligus nikmat saat merasakan kewanitaannya seperti hampir robek terjejali sebuah benda amat besar dan bertekstur kasar.
Deetou menjejalkan penisnya dalam-dalam hingga menyentuh dasar kewanitaan Sabrina, lalu berhenti untuk menikmati perasaan itu.
Akhirnya... Aku bercinta dengan seorang Sabrina Yuzuki, pikirnya menyiram ego sendiri.
Rasa perih di mulut vaginanya berangsur surut, tergantikan dengan rasa 'penuh' dan nikmat yang hangat. "Ohhh...Diitt... Nghhh... Enaaak banget." Di hadapannya tampak sebentuk tubuh dengan otot-otot bertonjolan tersinari cahaya ungu dari lampu tepi lantai mobil. Baginya, itu tampak begitu mempesona... Baru kali ini ia ditiduri seorang pria dengan bentuk seperti itu... Wajah Afro Deetou dan kepalanya yang tercukur licin itu menambah sensasi lain baginya.

Deetou mulai bergerak. Kini keduanya benar-benar bercinta. Tiap gesekan penis Deetou dalam vaginanya begitu terasa, begitu indah, begitu jauh lebih nikmat dari khayalannya. Ia tak henti mengaduh, mengerang, dan merinitihkan kenikmatannya. Gerakan-gerakan Deetou terlihat berbeda dengan saat ia melakukannya dengan Jayne Lee... dengan Sabrina, Deetou tampak begitu menikmati dan tidak hanya ‘mengumbar nafsu’. Keduanya bercinta tanpa memejamkan mata. Wajah cantik Sabrina tampak sendu dengan kening berkerut dan mata menyipit serta bibirnya mendesah-desah menahan nikmat. Keindahan wajah itu memanjakan mata Deetou, yang memang telah lama menginginkan wanita itu. Percintaan itu berjalan dengan lembut, keduanya bergerak ritmik dalam tempo lambat, seolah tak ingin segera mencapai puncak.
Rasanya lain... Pikir Sabrina... Inikah cinta? Pikirnya lebih dalam. Tidak! Egonya membantah. Ini adalah sebuah petualangan! Hanya main-main! Tapi, mengapa ia menatapku seperti itu? Mengapa tatapannya berbeda dengan tatapan Jayne, Saori, Damiana... atau pria dan wanita lain yang pernah menghangatkan tubuhnya selama ini? Meski menikmati percintaan itu, ia merasa sadar sepenuhnya. Seluruh logikanya tetap berjalan meski sebelumnya ia benar-benar dipenuhi birahi yang menyala-nyala.
“Cum for me...” Bisik Sabrina, melontarkan pancingan.
“I don’t wanna cum.” Jawab Deetou sambil mencium bibir Sabrina singkat.
“I do...” Jawab Sabrina lagi, sambil menggerakkan pinggulnya memutar, menambah sensasi nikmat bagi keduanya.
“I want to enjoy this as long as I can.” Bisik Deetou lagi, mengencangkan otot kakinya, hingga gerakan pinggul Sabrina terhenti. “Tapi kalo lo mau duluan juga gapapa.”
“Ngg... OK.” Jawab Sabrina ragu, karena ia juga masih ingin menikmatinya lebih lama. Namun ia tak ingin Deetou mengira bawa ia melakukannya ‘dengan cinta’.
Ia membusungkan dada, meminta Deetou merangsangnya di situ, di mana ia tahu, sedikit rangsangan di daerah itu akan membuat orgasme begitu cepat tiba. Deetou sedikit kecewa melihat Sabrina menginginkan pemuasan dengan cepat, namun ia menurut. Diubahnya posisi hingga kini kedua kaki Sabrina merapat, terjepit oleh dua kakinya yang berotot besar itu, membuat jepitan vagina Sabrina makin erat menjepit kejantanannya.
“Nghh...” Sabrina mengerang ketika ia merasakan jepitan itu kian ketat, gesekan pada dinding-dinding dalam kemaluannya makin terasa... memarut dinding licin itu dengan tekstur yang kasar. Sebuah hal baru lagi. Pikir Sabrina. Dia benar-benar special.

Deetou mengulum puting susu Sabrina. Kali ini ia tidak mengisap keseluruhan payudaranya, ia hanya menjepit puting kanan Sabrina dengan bibirnya, dan sedikit menarik-narik. Namun itu sudah cukup untuk membuat wanita itu menggigit bibir sambil terpejam-pejam dan melenguh keenakan. Dilakukannya hal serupa pada puting kiri, lalu kembali ke puting kanan, bergantian, terus menerus. Kedua puting merah jambu itu kian mengencang, mencuat jauh lebih besar dan lebih tinggi dari biasanya, sementara pemiliknya menggeliat mengejang tiap kali puting susunya terlepas dari mulut Deetou. Secara refleks, kedua paha Sabrina mempererat jepitannya.
“D-Dittt... g-gua hampirrr...” Erang Sabrina. Rangsangan tanpa henti pada kedua putingnya, juga gesekan antar alat kelamin mereka, membuat wanita itu merasakan sesuatu akan segera meledak dalam dirinya. Didekapnya erat-erat tubuh Deetou, lengan dan tangan halus milik Sabrina kini merasakan keras dan liatnya otot-otot pada tubuh pria itu, yang begitu besar dan terdefinisikan dengan jelas. Tubuh sangat terlatih yang sempurna... Pikir Sabrina sambil dengan sengaja menempel-nempelkan sekujur tubuhnya pada otot-otot itu.

Deetou sempat ragu untuk mempercepat gerakan tubuhnya. Ia khawatir kalau mobil akan terguncang dan orang bisa melihat aktivitas itu dari luar. Namun wajah Sabrina yang kian sayu, juga geliatan-geliatan tubuh semampainya yang kini mulai dibanjiri keringat, membuat pria itu ingin menuntaskan aktivitas itu juga. Ditarik-tariknya terus kedua puting susu Sabrina dengan mulutnya bergantian, kali ini makin cepat... membuat wanita itu makin tampak kehilangan kendali; menggelinjang-gelinjang dengan wajah mirip orang kesakitan, dan mengerang-ngerang panjang mengekspresikan kenikamtannya.
“Nggh.. Aduhhh... Ditt... mmmhhh...” Erang Sabrina dengan wajah terbuang ke kiri kanan, melecut-lecutkan rambut panjang yang basah oleh keringat, “Aduhhh... Deetou... e-enakk bangetttt... shhhhh...”
Merasa tak sabar, wanita itu bangkit duduk dan mendekap erat-erat leher Deetou. Kedua paha jenjangnya ditariknya keluar dari jepitan kaki Deetou dengan gerakan begitu lincah, lalu dijepitkannya tungkai panjang itu ke pinggang Deetou, yang tertegun oleh kelincahan dan fleksibilitas badannya. Dengan kaki dan tangan menjepit tubuh raksasa pria itu, Sabrina menggerakkan pinggulnya sambil merintih-rintih, seolah bermasturbasi menggunakan sebuah benda sangat besar yang hangat dan keras. Puting-puting susunya yang telah amat keras itu tergesek oleh otot-otot dada dan perut Deetou yang juga keras, memberinya perasaan nikmat yang begitu luar biasa dan belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Ahkkk... D-Deetouuuu....” Rintihannya tak kunjung berhenti dengan mata menatap tajam ke arah mata Deetou, seolah menantangnya. Deetou merespons dengan lebih tenang. Ia menyangga tubuh dengan lutut dan tangan-tangannya hingga posisi Sabrina kini seperti menggantung pada tubuh raksasanya. Wanita ini benar-benar terlatih dan kuat! Pikirnya. Sekaligus sangat cantik dan indah. Deetou menggerakkan sedikit tubuhnya maju mundur, membuat tubuh Sabrina sedikit terayun, hingga penisnya kian dalam menghunjam-hunjam vagina Sabrina... tetesan cairan yang mengalir dari dalam vagina itu kini mulai membasahi karpet tebal di lantai mobil Deetou.
“Uh Uh Uh Uh... Ngghh...” Sabrina merasa terhentak-hentak oleh sodokan penis raksasa itu, sementara gesekan pada kedua putingnya telah membuatnya benar-benar lupa daratan kini. Ia menikmati sensasi itu dengan mata terpejam dan mulut ternganga... tidak mengantisipasi datangnya sebuah orgasme... yang kali ini begitu tiba-tiba... “Aduhhhhh!... g-gua dapettt...” Jeritnya sambil mengejang-ngejang mendekap badan Deetou.
Orgasme itu begitu mendadak, dan begitu dahsyat, membuat tubuh Sabrina terasa seperti disambar petir... Ia mengejang... mengejang... lalu terkulai lemas dengan mata terpejam dan bibir ternganga.
To be continued....
By: Ginger Ale

0 Response to The Odd Triangle 2

Posting Komentar