***
Salam..
Tahukah perbedaan kebenaran dengan kebetulan?
Kebenaran adalah apa yang kalian yakini, yang - nyaris - tidak ada dalam satir ini,
Kebetulan adalah apa yang nubi gali dalam mengisahkan cerita ini..
Tahukah perbedaan kebenaran dengan kebetulan?
Kebenaran adalah apa yang kalian yakini, yang - nyaris - tidak ada dalam satir ini,
Kebetulan adalah apa yang nubi gali dalam mengisahkan cerita ini..
***
Sudah se-senior ini aku masih saja sering grogi. Sinar perak di panggung pentas selalu memberiku rasa canggung. Pasti berbeda dengan yang dirasakan artis-artis muda itu, yang ke mana-mana selalu bisa gambreng dan luwes, tidak kaku sepertiku. Ujung-ujungnya, rest room jadi pelarianku.
Rasa tegang sebelum naik panggung selalu membuat kandung kemihku penuh. Aku akan tampil bernyanyi dalam acara ini. Malam pemberian anugrah kepada para insan musik Indonesia yang berkiprah tahun 2008. Sebuah ajang bergengsi bertajuk AMI Award.
Aku bergegas ke toilet cewek di belakang panggung dan memasuki bilik terdekat. Saat sedang – berusaha – menuntaskan hajat, langkah-langkah kaki terdengar di luar, lalu terhenti dan – terdengar – berkumpul di dekat wastafel. Tawa cekikikan memberitahuku, mereka adalah artis pendukung acara dan beberapa penari latar.
“Hihi.. aku salah pake, euy, mau gloss malah pake balm,” kata seseorang.
“Nih, pake lipgloss aku aja.” Seseorang yang lain menyahut dari seberang ruangan.
“Thanks, Nit. Huh, grogi nih, bentar lagi aku ngiringin kak Glenn. Mana gak siap gini. Bisa-bisa aku bikin nyanyinya dia jadi jelek..” sahut suara pertama.
“Huuu.. belum apa-apa itu, aku dong, tiba-tiba gantiin lefty-nya Agnes. Grogi abisss deh nih..”
Aku tersenyum mendengarnya. Ternyata gadis-gadis muda ini grogian juga. Jadi yang kaku bukan aku saja.
“Eh eh, Raffi keren yah tadi..” seseorang berkata lagi.
“Iyaaaaa.. Duuhh.. Brasa pengen nyubitin deh itu mukaaa..”
“Baru putus kan dia? Haha.. ini kesempatan aku..”
“Ih, kege-eran.. paling nanti dia ngelirik aku. Huhu..”
“Iri banget tau gak sih, sama LCB.. Bisa jalan sama Raffi walopun gak lama..”
“Sekarang ini, cewek paling beruntung itu, cewek yang bisa dapetin si Raffi. Bisa jadi pacarnya..”
“Gak cuma cewek kali, emak-emak juga pengen. Kalo gak percaya, tanya saja sama emak kamu.. Hahahaha..”
Aku menahan tawa mendengar mereka. Di dalam bilik, kubenahi kembali dalaman dan gaunku. Aku sudah akan membuka pintu ketika kudengar gumaman lain.
“Ih, tapi males banget deh, aku entar ngiringin Yuni Shara.”
“Haha.. Sial banget kamu, Tan.”
“Iya nih, lagu nostalgia mana ada power-nya. Sudah gitu yang nyanyi nenek-nenek cempreng pula.”
“Eh, jangan gitu lah.. Kasian, kan, janda tua.. Hihi..”
Pipiku memerah mendengar obrolan itu. Ternyata begitu pandangan artis-artis muda terhadapku. Rasanya ingin sekali menghambur keluar, melabrak dan mencakari wajah mereka satu-satu. Tapi alih-alih begitu, aku justru duduk kembali di toilet seat. Apa yang mereka katakan tidak sepenuhnya salah, walaupun tetap saja sakit mendengarnya.
Tetapi sesuatu yang mereka obrolkan tadi membuatku menyadari sesuatu. Pembicaraan mereka memberiku insight untuk membungkam mulut mereka sendiri. Seketika aku tahu cara membuat dagu mereka jatuh turun menganga pada kesempatan berikutnya mereka melihatku.
***
Aku dilahirkan dengan nama Wahyu Setyaning Budi. Nama lelaki, yang konon diambil dari secarik kertas yang jatuh ke pandangan orangtuaku pada hari kelahiranku. Bapak dan Ibuku yang – kebetulan – memegang teguh budaya kebathinan warisan leluhur, tetap menyematkan nama itu, meski terdengar tidak cocok dengan dominasi hormon estrogenku.
Aku mulai bernyanyi pada umur 15 tahun. Hanya di sebuah ajang lomba televisi dan radio negeri, sih, tapi kesan yang ditimbulkannya sangat terpatri. Juara II di 1987, lalu menanjak menjadi juara I dua tahun setelahnya. Masa itu adalah momen-momen paling indah dalam hidupku. Dua reward itu, dan momen percintaan keduaku.
Orang selalu bilang, saat pertama adalah yang paling berkesan. Tetapi bagiku dalam urusan seks, saat pertama sangat tidak menyenangkan. Didesak di kursi belakang minivan orangtuaku, keperawananku direnggut pacar SMA-ku, Bastian.
Tidak banyak yang bisa kuceritakan tentang Tian. Kecuali dia adalah bintang olahraga yang – hampir – tidak berotak. Hanya sekumpulan otot keras dibungkus wajah yang rupawan. Aku memacarinya hanya karena tahu semua temanku tegila-gila padanya.
Percintaan selanjutnyalah yang terasa sangat menyenangkan. Pacarku setelah Bastian, Mas Farid, adalah seorang pegawai muda di kementrian.
Tahun 1991, pada umurku yang ke-19, Mas Farid menyusulku ke Belanda. Saat itu aku sedang mengikuti sebuah festival Jazz. Seusai tur festival, kami menghabiskan dua minggu penuh bercinta di kamar hotel, dalam suite dengan balkon terbuka menghadap kanal Amsterdam yang indah.
Mas Farid adalah pria pertama yang mengenalkanku pada keindahan orgasme. Bercinta dengannya begitu lembut dan penuh perasaan. Mungkin terlalu lembut, tapi aku suka. Namun hubungan kami akhirnya berhenti ketika dia menikah dengan anak seorang staff ahli di kementrian yang sama.
Pernikahanku pada 1993 hanya seumur kecebong. Dua bulan pertama hanya diisi pertengkaran. Dua bulan berikutnya tidak membantu, hanya pengulur waktu sampai akhirnya kami jalan satu-satu. Pemicunya? Karena aku terlalu idealis untuk mencoba operasi selaput dara. Ya, Raymond Manthey merasa didustai ketika mendapati aku tidak lagi perawan pada malam pertama.
Sampai pernikahanku yang kedua dengan Henry Siahaan, Mas Farid tetaplah satu-satunya yang bisa membawaku menikmati keindahan di puncak surga dunia. Kenikmatan tertinggi penyatuan tubuh manusia. Hanya Mas Farid.
Tetapi itu sebelum aku bertemu Max.
***
Kesempatanku datang pada konser awal tahun 2009. Kesempatan untuk membalas cemoohan para gadis centil di toilet AMI tempo hari. Puluhan musisi dan artis ikut meramaikan acara ini. Tidak terkecuali Raffi Ahmad.
Raffi tampil sebagai host bersama Olga dan Trio Cagur yang mbanyol. Raffi mengenakan tuxedo yang necis, nampak menonjolkan lekuk pinggangnya yang langsing terawat. Bukan seleraku, sih, tapi demi tujuanku ini, selera bisa menerima toleransi.
Di ruang kecil backstage kuamati Raffi yang tengah bersiap memasuki panggung. Kami akan muncul sesuai urutan yang disampaikan saat brief, mengikuti isyarat dari PIC stage. Raffi terlihat gugup. Kru dan artis lain sedang sibuk dengan diri dan tugas masing-masing. Dia bisa didekati saat ini. Tapi pertanyaan sebenarnya adalah; apakah aku sanggup?
Aku tidak tahu bagaimana cara menarik perhatian Raffi. Memamerkan belahan dada? Duh, terkutuklah dadaku yang nyaris rata. Kerling mata? Cowok idola macam ini tentu bakal ngeri kalau melihat wanita yang 15 tahun lebih tua mengerling-kedip padanya. Malam ini aku mengenakan gaun sutra dengan belahan dada yang terbuka tetapi sopan. Punggungku tertutup sampai atas, dengan resluiting membelah dari bawah. Aku harus punya trik. Tapi apa?
Aku bingung memulai pendekatan tanpa beresiko terlihat kegatelan. Tetapi Raffi terlihat manis dalam penampilannya yang klimis. Dia piala yang harus kulambaikan di depan wajah semua wanita. Sebuah trofi yang harus kumiliki.
Seketika ide melintas di kepalaku. Sembunyi-sembunyi, kulepas celana dalamku, kuremas dan kumasukkan dalam tas kecilku. Tidak berhenti di situ, kutarik resluitingku hingga gaunku terbelah membuka di bagian belakang.
Siapapun yang berada di belakangku akan melihat kulit punggung dan pantatku yang telanjang. Aku merapatkan punggung ke dinding. Perlahan-lahan kugeser tubuhku bergerak ke arah Raffi.
“Pssst.. Fi, psssttt..” aku berbisik memanggil.
“Ya tante?” Raffi tampak heran melihat gerak-gerikku.
“Ng, bantuin dong.. Mau yah..” jawabku tersenyum, nampak gugup. Yah, sebenarnya aku memang gugup.
“Bantuin apa, Tante?” Raffi mendekat.
“Ih, kok tante sih.. Panggil Yuni aja..”
“Haha, gak sopan lah.. Mbak aja deh..” Raffi kini berdiri tepat di depanku.
“Bantuin apa sih, Mbak?”
“Ng, sini dulu..”
Kuraih tangan Raffi, lalu menariknya ke sudut ruangan. Raffi mengikutiku dengan wajah heran. Cahaya di bagian ini cukup redup dan menjadikan kami jauh dari kemungkinan diperhatikan orang lain. Aku bergerak bergeser dengan tetap membelakangi dinding. Kurasakan sensasi dingin di paha dan selangkangku. Baru kali ini aku di luar kamar tanpa mengenakan celana dalam.
“Ini nih, zipper di punggung Mbak macet. Tadi Mbak buka karena brasa ada yang gatel. Pas mau dinaikin lagi malah gak bisa. Tolong dong..”
Tanpa menunggu jawaban, kubalikkan badan membelakanginya. Punggungku kini menghadap Raffi sepenuhnya.
“Ohh, kirain apa. Cuma ini toh..”
Raffi terdengar tenang, ucapannya keluar lancar. Apakah dia tidak melihat ketelanjanganku di bawah sana? Cahaya yang redup sepertinya membuat Raffi tidak bisa langsung menyadarinya. Aku harus mengubah cara.
“Ng, jangan ditutup dulu.. Ng, sebenarnya masih brasa gatel.. Tolong dong..”
Suaraku terdengar malu. Aku memang – sedikit – malu.
“Tolong apa mbak? Masak mau digarukin?”
Kutolehkan wajah, Raffi tersenyum gugup.
“Iya, tolong.. habis siapa lagi..”
Beberapa detik tidak ada gerakan. Lalu sebuah sentuhan datang. Raffi mulai menggaruk lembut punggungku.
“Akh.. ke bawah dikit..”
“Di sini?” Raffi menggeser jarinya sedikit lebih rendah. Sedikit. Terlalu sedikit.
“Bawah sedikit..hh..” Sengaja kutambahkan desah di ujung suara.
Jari Raffi bergerak ke titik yang lebih rendah, hampir menyentuh area batas celana dalamku. Area batas yang seharusnya ditutupi celana dalamku. Ujung jarinya yang hampir tidak berkuku bergerak-gerak menggaruk kulitku. Aku memejamkan mata.
“Di sini, Mbak?”
“Mmmhh.. ke bawah dikit lagi..”
Kurasakan tubuh Raffi menegang. Tangannya turun lebih rendah, menyentuh awal celah di sela dua bulatan pinggulku. Pinggul yang kubanggakan bentuknya.
“Bawah lagi, Fi.. Dikit lagi..”
Tangan Raffi bergerak turun, mulai menyentuh bulatan pantatku sebelah kiri, ketika suara tepuk tangan penonton mengagetkan kami. Acara sudah dimulai.
Raffi menarik tangannya tiba-tiba. Beruntung, keramaian yang seketika terjadi membuat perhatian orang-orang semakin teralih dari sisi di mana aku dan Raffi sedang berdiri.
Dengan canggung, Raffi menarik resluitingku ke atas. Kami berdua terdiam, tidak bertukar sepatah pun kata. Ketika Raffi selesai menutup gaunku, mata kami bertemu. Aku tersenyum, menggumamkan terima kasih. Raffi membalas dengan anggukan malu-malu lalu beranjak pergi.
Sepanjang acara, sesekali kami saling pandang dan bertukar senyum. Bertukar pesan tanpa kata. Aku tahu, dari beberapa tempat yang berlawanan dengan sumber cahaya gaunku akan menerawang. Dalam beberapa kesempatan kulihat beberapa gadis terang-terangan membelalakkan mata memandangku. Mungkin mereka menyadari tidak adanya garis di gaunku, penanda celana dalamku. Atau mungkin rambut di pubisku menerawang?
Ah, bodo amat. Yang pasti, malam itu Raffi tidak bisa menahan pandangannya jauh dariku. Dan pandangannya yang terlalu sering itu juga ditangkap oleh gadis-gadis yang menjadikannya pusat gravitasi. Yes! Strike one!
Kurasakan sensasi dingin kembali menyapu pahaku sebelah dalam. Kali ini lebih dingin dari sebelumnya. Perasaan menang terhadap wanita lain ternyata membuat selangkanganku basah..
***
Raffi menghampiriku seusai acara.
“Mbak, kuantar pulang yah..”
Kusampaikan penolakan sopan, tetapi Raffi tetap memaksa. Kurasakan tusukan puluhan tatapan iri ketika Raffi menggandeng tanganku, membuka pintu dan menyilakan aku masuk ke mobilnya. Sebuah Hummer kuning menyala.
Keheningan menggantung di udara, di jalan raya, dan di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju rumahku di Lebak Bulus. Perasaan puas karena berhasil membuat mata Raffi terpaku padaku membuatku merasakan gairah yang membungkam kemampuanku berbicara. Sesekali tangan Raffi menyentuh lututku ketika menarik tuas perseneling. Ada getar gairah di sana, getar yang sama yang mengalir di seluruh tubuhku saat ini.
Mobil berhenti di depan rumahku. Aku tidak bergerak, juga Raffi. Suara Raffi yang kikuk kemudian memecah keheningan,
“Aku mau cium Mbak..”
“Kamu..” Jawabku tiba-tiba, entah mendapat keberanian dari mana.
“Ng?”
“Bukan Mbak, panggil aku “kamu”.. Buat Raffi, namaku Yuni”
Kami bersitatap sejenak. Kalimat panjang yang kuucapkan hanya berarti satu kata. Kata “iya” yang Raffi sudah duga. Lalu bahu Raffi bergerak mendekat. Kupejamkan mata ketika wajahnya semakin rapat. Belaian lembut rambutnya menyapu dagu dan pipiku. Raffi tidak mencium bibirku, kecupannya telak bersarang di leherku,
“Aaahhhh..” Aku mendesah,
Wajah Raffi menyentuhku di dada, ujung jarinya sedikit menarik tepian gaunku, menampakkan bra putihku yang berenda. Diremasnya pahaku yang berlapis gaun sutra. Kaget, kutarik wajahnya menjauhi dadaku, mata kami bersitatap sejenak. Telapak tanganku menyentuh Raffi di bahu.
“Aku horny sejak tadi, Yun, sejak kamu menggodaku di belakang panggung..”
Kembali Raffi membenamkan wajahnya di leherku. Sensasi geli yang menyentak membuatku tak bisa membuka mata. Raffi memindahkan ciumannya ke puncak payudaraku. Belasan kecupan-kecupan manisnya membuatku menahan napas. Kudekap erat kepala Raffi, menautkan jari di sela rambutnya yang tebal dan ber-wax.
Tangan Raffi menyusup di celah kain di dadaku. Jarinya menjepit puncak payudaraku, membuatnya mencuat meruncing. Raffi mengusap kuncupnya dengan ibu jari,
“Aku mau mau cium kamu di sini..”
Kutengadahkan kepala, sebuah persetujuan tanpa suara.
“Aaahhh..” Aku hanya terus mendesah, terlalu jengah untuk melontar wicara.
Lalu sikuku membunyikan klakson tanpa sengaja.
Aku mendorong bahunya menjauh. Kami berdua menghela napas, meredakan ritmenya yang memburu. Aku merapikan pakaian yang bagian atasnya berantakan. Tersenyum canggung ketika berpandangan.
Raffi memutar mobilnya pulang ketika aku sudah melewati pintu pagar dan berjalan ke dalam. Kami baru saja bercumbu seperti remaja. Sesuatu yang terlalu jauh dari rencanaku semula. Tetapi tidak bisa kupungkiri, aku wanita yang merindukan belaian..
***
Bagi sebagian ibu, sabtu dan minggu adalah waktu untuk wifely duties. Hari yang sibuk dan melelahkan. Tetapi tidak bagiku. Sabtu dan minggu adalah hari favoritku. Dua hari di mana aku dapat meliburkan diri sepenuhnya. Memanjakan badan dan pikiran, lepas dari segala beban karir bernyanyi – yang sebenarnya stagnant – dan urusan anak-anak.
Semenjak perceraianku dengan Henry tahun lalu, anak-anakku selalu menghabiskan akhir pekan bersamanya entah di mana. Itu adalah bagian dari pengaturan perceraian yang kami sepakati saat berdua. Jadilah, bagiku sabtu dan minggu adalah hari yang kunikmati sepenuhnya.
Sabtu pagi adalah sepotong waktu yang paling kusuka. Aku selalu berolahraga sendiri. Walaupun belakangan ini seringnya ditemani oleh Ancha.
Ancha adalah tetanggaku di belakang rumah. Pekarangan belakang kami hanya dipisahkan oleh pagar jala dari baja, membuat kami – kadang – dapat saling melihat di sela-selanya. Kami berkenalan bulan lalu, ketika Ancha pertama kali pindah ke rumah itu.
Tidak banyak yang kutahu tentang Ancha. Kecuali – mungkin – pekerjaannya sebagai wirausaha bidang konstruksi telekomukasi. Sesekali kudengar kata-kata yang menggambarkan itu ketika dia berbicara di telepon dengan suara keras. Ancha adalah duda tanpa anak, kanker payudara membunuh istrinya beberapa tahun lalu, pada kehidupannya di tempat yang dulu. Sejauh ini, hanya itu tentangnya yang kutahu, selain penampakan fisiknya.
Ancha adalah pria berbadan besar, kulit cokelat nyaris gelap dengan lengan berbulu. Usianya mungkin setahun lebih tua dariku, atau dua tahun, sulit menebak dengan pasti. Penampilannya terlihat kasar, typical pekerja dengan kebiasaan berpakaian yang sulit rapi, hihi.. Baiklah, yang terakhir ini bayanganku saja, kebenarannya belum terbukti.
Di sabtu pagi seperti ini, kami berdua akan sibuk di pekarangan masing-masing. Biasanya, kami akan bertemu pandang ketika aku keluar dari pintu rumah bagian belakang. Bertukar sapa selamat pagi atau sekedar senyum, kemudian mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku dengan senam lantai dan acroyoga-ku, dia sibuk dengan.. Entah apa.
Yah, “ditemani” oleh Ancha memang tidak benar-benar berarti ditemani. Kami hanya berdiri dalam jarak beberapa meter, saling pandang barely, dan hampir tanpa komunikasi.
Sepanjang aku berolahraga, kami tidak dapat saling melihat, sebab terhalang oleh pagar tanaman setinggi satu setengah meter yang tumbuh merambat di pagar jala. Gerakan yoga memang lebih banyak dilakukan dalam posisi rendah. Berbaring atau duduk bersila.
Pagi itu – seperti biasa – wajah kami bertemu sekilas ketika aku keluar dari pintu. Ancha tidak berolahraga, dia sedang merapikan pagar tanaman yang memisahkan pekarangan kami. Ancha berdiri menyamping, ketika kumulai sesi pagiku dengan senam ringan.
Aku menghabiskan 40 menit selanjutnya di treadmill dan setengah jam lagi di lantai kayu. Duduk dengan posisi bersila, mengenakan hanya sport bra dan yoga pants. Kunikmati cahaya matahari pagi yang menerpa wajahku setelah menerobos kisi-kisi penahan angin. Sedikit kesenangan alam di udara Jakarta yang kejam dan dingin.
Ancha masih sibuk memotong tanaman. Kudengar bunyi statis gunting besar yang sedang digunakannya. Kubayangkan otot-otot lengannya yang besar, memegang gunting dengan dua tangan. Kupejamkan mata, mengkhayalkan kedua lengan itu mengangkatku, meremas dan menjamahi seluruh tubuhku. Duh, aku bergidik ngeri, juga geli.
Geli pada bayanganku sendiri. Apakah aku sudah begitu kesepian, sampai terhanyut oleh fantasi?
Baiklah, itu mungkin saja. Tapi Ancha? Masak sama Ancha? Yang benar saja..
Pastilah percumbuan tanggung semalam dengan Raffi yang membuatku begini. Mungkin kentang-ku bisa hilang dengan mandi.
Aku bangkit berdiri. Mataku dan Ancha bertemu lagi. Aku tersenyum sopan dan berbalik ke dalam. Ekor mataku menangkap tatapan Ancha yang berputar mengikuti langkahku, menatap lurus ke pantatku. Hihi, pria selalu sulit menahan pandangannya..
Aku langsung menuju kamar tidurku. Berbelok ke kiri dari meja rias, ada pintu geser menuju powder room. Ruang dandan dengan walk in closet di sepanjang dindingnya. Kulepaskan satu persatu pakaian pagiku di lantai di dalam sana.
Celana yogaku kuturunkan hingga mata kaki, seperti berganti kulit ketika aku melangkah keluar. Kujatuhkan bra dan celana dalamku, lalu membuka pintu kecil di ujung terjauh powder room. Sebuah pintu menuju salah satu ruang favoritku di rumah ini. Kamar mandi dengan waterfall shower hasil desain suamiku yang kedua.
Kuputar keran di dinding, seketika guyuran air berjatuhan dari lubang di atasku.
Kubasuh keringat di leher, tengkuk dan perutku, sejenak kumatikan keran, meneteskan sabun ke telapak tangan lalu mengusapkannya ke seluruh tubuh. Leher, tengkuk lalu ke dada. Menyusuri sisa-sisa stretch mark di perut, pinggang dan pinggul lalu turun ke paha. Kupijat perlahan sekujur tubuhku dalam busa, kurasakan puting susuku mengeras oleh dinginnya.
Aku tidak terlalu menikmati sentuhan pria di payudaraku. Ukurannya yang terbilang kecil mudah hilang sepenuhnya dalam tangkupan telapak tangan pria. Aku tidak pernah tergoda untuk melakukan modifikasi bentuk payudara. Pengalaman Yanti, adikku, sudah cukup membuatku trauma. Tubuh Yanti menolak hormon yang disuntikkan para pakar, menghasilkan payudara yang besar sebelah.
Alternatif implant juga tidak kalah membuatku ngeri. Kanker yang diderita Andien, penyanyi jazz yang usianya lebih muda dariku, adalah contoh nyata kegagalan percobaan pembesaran payudara, walaupun penyebabnya ditutupi dari media.
Ingatanku sejenak teralih kepada Yanti. Dunia mengenalnya dengan nama Kris Dayanti. Aku belum membalas pesan yang dikirimnya semalam. Belasan messenger curhatan panjang, tentang seorang pria pengusaha asal Timor Leste yang terus-menerus mencoba mengajaknya berselingkuh. Curhatannya sekilas nampak mengeluh, tetapi aku terlalu mengenal Yanti dan tahu, dia senang dengan perlakuan pria itu. Siang nanti biar kubalas pesannya.
Aku senang berlama-lama menyabuni tubuh bagian bawahku. Pinggul dan pantat adalah bagian tubuh favoritku. Aku senang sekali mengenakan gaun yang memamerkan bulatan pantatku yang kecil, namun melengkung sempurna. Hasil bentukan bertahun-tahun dari kombinasi yoga, pilates dan thae bo.
Kencangnya kulit di area pinggulku ternyata berdampak pada kepekaannya terhadap sentuhan. Cubitan-cubitan di pinggul dan pantat adalah stimulus yang kurasakan paling nikmat ketika bercumbu. Apalagi jika dipadukan dengan remasan kuat oleh tangan yang besar. Lengan kuat berbulu. Seperti milik Ancha..
“Ahhh..”
Seketika kurasakan jengah tak beralasan ketika tanpa sadar bibirku mendesah. Kusadari khayalanku lagi-lagi terbang kembali ke tetanggaku di belakang rumah. Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. Merasa malu atas isi kepalaku sendiri.
Raffi sialan, ini semua pasti gara-gara anak itu. Aku jadi penasaran ingin lebih, ingin dipuaskan. Jika sudah seperti ini, hanya Max yang bisa kuandalkan.
Max yang classy, keren dan selalu mengerti.
Cepat-cepat kuselesaikan mandi pagiku.
Max, aku mau kamu..
***
Jumat, 06 November 2015
Cerita Dewasa Artis
0 Response to Cerita Dewasa Artis Yuni Shara 1
Posting Komentar