Sesosok pria berusia 40an akhir dan bertubuh gempal itu dengan sabar melayani para pelanggan yang berebut membeli baksonya. Tak kenal lelah dan selalu tersenyum walau peluh bercucuran karena panasnya . Pak Fahri, nama pria pemilik warung mie bakso yang terkenal di kota itu. Begitulah situasi sehari-hari di warung mie bakso itu, para mahasiswa dari kampus dekat situ, para pekerja bangunan sampai keluarga tampak ramai duduk di area makan depan warung. Suasana khas warung bakso terlihat dari meja dan bangku panjang yang tersedia. Ruangannya yang cukup luas dan memanjang agak gerah karena kurangnya kipas. Kadang Pak Fahri nampak kewalahan karena pelanggan berjubel di gerobaknya untuk antri membeli mie baksonya, sehingga membuat beliau susah bergerak dan terkadang batuk - batuk, mungkin karena tak sempat mengambil nafas di tengah kegerahan dan kesibukannya. Meskipun begitu senyum selalu menghiasi wajahnya, sungguh sosok yang sangat gigih dalam menjalani profesinya. Dalam hal kesabaran beliau sudah tidak bisa diragukan lagi. Bagaimana tidak, ketika sedang melayani para pembeli, ada saja pembeli nakal yang sering kali ada yang mengambil kuah seenaknya kadang nyangkut juga beberapa butir bakso dan tidak dibayar sepeserpun, kadang mangkuk atau gelas pecah oleh pembeli yang tidak sengaja menjatuhkannya tapi beliau tak pernah ngomel - ngomel seperti tukang bakso kebanyakan paling beliau hanya senyum mesem sambil mengatakan tidak apa-apa pada si pembeli yang meminta maaf padanya, ia bahkan menolak ketika si pembeli itu hendak mengganti mangkoknya, baru setelah orang yang memecahkan mangkok itu memaksanya menerima uang itu barulah ia menerimanya.
“Yah lain kali hati-hati aja Den supaya ga pecah lagi” begitu katanya dengan ramah.
Harga yang pas bagi kantung orang banyak, namun dengan porsi yang ‘generous’ serta rasanya yang ‘mak...nyus’ (kata Pak Bondan), plus kebersihan warung serta keramahan pemiliknya, itulah faktor-faktor yang membuat warung mie bakso Pak Fahri selalu ramai dikunjungi orang. Namun satu faktor lagi yang membuat orang selalu ingin menyisihkan uang untuk membeli mie baksonya adalah rasa simpati juga kasihan. Ya...Pak Fahri hanya tinggal berdua dengan Hamzah, putranya 17 tahun, yang menderita keterbelakangan mental, remaja pria ini juga membantunya melayani para pembeli di warung berukuran sedang itu. Sementara istrinya sudah lama meninggal dalam kecelakaan ketika Hamzah masih kecil. Sejak itu pria itu berjuang keras sendiri memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua. Warung itu buka mulai pukul enam pagi hingga hingga pukul tiga sore, kadang kalau jualannya sudah habis ia biasa menutup warung. Anehnya warung yang ramai itu hanya dijalankan oleh mereka berdua, memang terkadang ada karyawan lain yang bertugas sebagai pelayan dan kasir namun tidak lama mereka tiba-tiba menghilang.
“Udah pulang lagi, gak cocok kayanya kerja di sini...” itulah jawaban Pak Fahri bila ditanya pelanggan mengenai karyawannya yang tidak terlihat lagi, “soalnya saya emang rewel soal kebersihan, kotor dikit atau racikannya salah dikit saya pasti tegor, ya gimana ya? Itu mau gak mau harus, kan demi kepuasan pelanggan juga”
Tingkah laku Hamzah yang seperti anak-anak namun rajin membantu ayahnya itu pun mengundang simpati pelanggan. Kadang para mahasiswa yang makan di situ memberikannya alat tulis, mainan, pakaian, atau hadiah lainnya untuk remaja tersebut yang diterimanya dengan penuh rasa syukur dan terima kasih pada mereka.
###########################
Suatu siang
jam makan siang
Pak Fahri |
Warung Pak Fahri, seperti biasa, sedang ramai dikunjungi pembeli. Pak Fahri seperti biasa sangat sibuk meracik bumbu dan menuangkan kuah ke mangkok yang dipesan, juga sesekali menerima dan mengambil uang kembalian, sementara Luthfi lalu-lalang membawakan pesanan yang sudah jadi pada pelanggan. Televisi yang dipasang di atas sedang menayangkan berita mengenai menghilangnya pengacara kontroversial Farhat Abass di kota tersebut.
“Kena sumpah pocongnya sendiri kali tuh orang!” celetuk seorang mahasiswa disambut gelak tawa teman-temannya.
“Syukurin tuh, makanya jangan banyak bacot ngehakimin orang melulu, kaya sendirinya udah bener aja” seorang gadis lain berkata dengan sinis lalu menggigit bakso urat yang disendoknya.
“Menghilangnya di kota ini loh, lokasinya gak jauh dari sini lagi” kata seorang pegawai negeri pria, “cuma mobilnya doang yang tersisa, mungkin penculikan kali ya”
“Bodo amat lah, semoga gak pernah nongol lagi tuh mahluk” timpal rekannya yang lebih tua, “banci satu itu pantesnya dijadiin bakso kaya gini nih” sambil menusuk sebutir bakso tenis dari mangkoknya “terus....emmmhhh....” lanjutnya seraya menggigit bakso itu, telur puyuh dan daging cincang di dalamnya yang juicy itu pun mengisi mulut si pria itu yang melahapnya dengan nikmat.
Pak Fahri nampak senyum-senyum sambil terus sibuk mendengar obrolan para pelanggannya.
“Pak! Tambah lagi dong, ususnya banyakan ya” sahut seorang pemuda menyodorkan mangkok kosong ke dekatnya, “kaya lebih enak hari ini, dagingnya pasti segar ya Pak?”
“Selalu Den, Bapak selalu pakai daging segar supaya kualitasnya gak nurun” jawab Pak Fahri sambil menuangkan kecap ke dua mangkok mie, Hamzah langsung mengambil nampan tersebut setelah ayahnya selesai, “nih...segini Den...cukup ga?” ia lalu menuangkan jeroan beserta kuah yang disendoknya dari panci.
“Cukup Pak, makasih ya!” pemuda itu kembali ke mejanya.
“Pak! Yamien manis dua dibungkus ya...dua-duanya pake bakso-pangsit!” sahut seorang pria dari bangku dekat situ yang hampir menghabiskan makanannya.
“Siap bos!” jawab pria ramah itu.
“Pak bihun asin, pake bakso yang gede ya!” pinta seorang staff kantoran yang datang bersama seorang temannya, “lu pesen apa Jo?” tanyanya pada temannya yang baru pernah ke warung tersebut.
“Saya es kelapa muda aja Pak!” kata temannya, lalu keduanya duduk agak di pojok
“Disini paling terkenal baksonya terutama yang urat, ga mau nyoba lu?” kata si pria pertama itu.
“Gua belum laper, lagian di keluarga gua daridulu gak pernah makan bakso soalnya lu ga pernah tau bahan apa yang dipakai untuk membuatnya” jawab temannya dengan suara dipelankan.
Waktu terus bergulir, pembeli datang dan pergi, mulai masuk setengah dua, suasana warung mulai lenggang, hanya terlihat lima orang sedang makan di sana dan seorang wanita menunggu di samping gerobak untuk pesanan yang dibungkus. Setelah menerima uang dari si wanita itu, Pak Fahri mengelap keringat di dahinya lalu mulai menghitung rezeki yang masuk hari itu.
“Apa nih Pak? Kayanya enak?” tanya Luthfi, tukang parkir preman yang mau bayar menunjuk ke arah makanan di piring.
“Ooh...ini sih gak dijual, buat makan kita nanti, iga bakar bumbu...” jawabnya
“Nyoba satu yah Pak!” Luthfi nyelonong mengambil sepotong daging iga itu, dikeratnya daging itu, pria itu mengangguk-angguk merasakan lemak dan bumbu yang mengundang selera itu mengalir di mulutnya, “wuih...maknyus, si bapak bukan cuma pinter bikin bakso ternyata ya” komentarnya.
“Hehehe...ya maklumlah harus bisa masak, udah ga ada istri ini lah” kata Pak Fahri, “nih kalau mau ambil aja lebih deh Fi...” ia mengeluarkan plastik kecil dan memasukkan tiga kerat daging iga itu ke dalamnya.
“wah bener nih Pak...lagi dong dua lagi, enak sih” kata Luthfi tak tahu diri,
“Boleh, kita juga cuma duaan, ga bakal abis semua sehari” tanpa terlihat keberatan, pria itu menambahkan dua kerat lagi.
“wah makasih banget Pak, lain kali jualan iga bakar juga pasti laku”
“Ah...belum kepikir lah, takutnya gak kepegang, hahaha”
Jam dua lebih, dua orang terakhir membayar dan pergi sehingga tinggallah si penjual bakso itu dan putranya yang keterbelakangan mental. Langit sudah mendung, sayup-sayup gerimis kecil mulai turun membasahi bumi. Pak Fahri selesai menghitung uang, ia bersyukur pendapatan hari ini cukup banyak sehingga sekarang hujan pun tidak mengapa, lagipula sebentar lagi sudah waktunya tutup. Saat itu Hamzah sudah naik ke atas untuk tidur siang setelah disuruh naik oleh ayahnya karena sudah sepi dan tinggal tunggu tutup.
Ketika sedang nonton TV, seorang gadis bule menyandang tas ransel lumayan besar melintas dan ternyata ia memasuki warung sederhana Pak Fahri.
“Selamat siang...apakah ini Mie Bakso Pak Fahri?” sapanya dengan logat bulenya yang kental, senyum manis pada wajahnya menambah kecantikannya.
“Ohh...iya iya, silakan duduk, mau makan apa Non?” Pak Fahri balas menyapa gadis itu dan mempersilakannya duduk setelah terpana beberapa detik karena terpesona.
Gadis bule ini bernama Jill Richardson (19 tahun), asal Australia, ia cukup fasih berbahasa Indonesia, karena pernah mempelajarinya dalam ekstrakurikuler semasa sekolah dulu. Dalam rangka mengisi liburan kuliahnya, ia melakukan perjalan wisata ke Indonesia secara backpacker, ini bukanlah kali pertama ia ke Indonesia sehingga ia cukup berani melakukan perjalanan wisata ini. Secara fisik, Jill termasuk yang di atas rata-rata, dengan mata indah kehijauan saat itu rambut coklat sedadanya diikat ekor kuda, tubuhnya memang tidak terlalu tinggi namun membentuk lekuk yang indah karena terawat baik, terutama payudaranya yang montok bulat menjadi salah satu daya tariknya, selain itu kulitnya juga putih mulus, tidak pucat dan berbercak merah seperti beberapa bule lain. Kaos you can see warna kelabu dipadu dengan celana pendek hijau yang menggantung sejengkal dari lututnya semakin memperlihatkan keindahan tubuhnya sehingga tidak heran sempat membuat si tukang bakso ini terpana ketika ia datang tadi.
“Kata orang, tempat ini makanannya enak, jadi saya ke sini!” katanya setelah memesan seporsi yamien asin dengan bakso tenis.
“Hehe...makasih Non, orang terlalu melebih-lebihkan saja, ini cuma warung sederhana kok” kata Pak Fahri merendah sambil membuatkan pesanan gadis bule itu, “nah silakan Non!” ia lalu menghidangkan pesanan gadis itu.
Semangkok mie bertabur bawang goreng, cacahan daging dan dihias daun seledri beserta semangkuk sup berisi 2 butir bakso tenis ditambah segelas teh hangat yang menggugah selera kini tersaji di depan Jill.
“Thank you, saya makan dulu Pak!” katanya tersenyum.
Pertama kali makanan tersebut datang, Gadis Australia itu mencicipi dulu kuah baso disusul mie-nya tanpa ditambah dulu dengan bumbu-bumbu lain. Setelah memanjakan mulut dengan beberapa suapan kecil kuah yang masih panas itu, Jill akhirnya menambahkan sedikit kecap manis, cuka, dan sedikit sambal. Gadis itu mengejapkan mata merasakan rasanya yang jadi lebih segar dan enak, terlebih setelah ia mengggigit potongan bakso tenisnya.
“Bagaimana? Enak Non?” tanya Pak Fahri ingin mengetahui respon pelanggan mancanegaranya.
Jill mengangguk, “very nice, ini enak sekali Pak!” katanya puas.
“Hehehe...bagus deh, saya ke atas dulu yah sebentar” kata pria itu lalu masuk ke dalam.
Ia naik ke atas sebentar untuk melihat keadaan putranya. Di atas ranjang, Hamzah telah terlelap sambil memeluk boneka teletubbies kesayangannya. Pak Fahri tersenyum melihat ekspresi polos anak semata wayangnya yang tengah terlelap lalu menutup pintu kamar dan kembali ke bawah.
Saat itu hujan sudah turun sangat deras, sesekali kilat menyambar dan disusul bunyi guntur. Memang akhir-akhir ini sering hujan besar bahkan terkadang sampai banjir. Bagi Jill menikmati mie bakso hangat di tengah cuaca seperti ini menambah nikmatnya. Ia memang sangat menikmati perjalanan single backpacker perdananya ini, jiwanya seolah seperti burung yang terbang tinggi.
“Apa ini Pak?” tanya gadis itu ketika Pak Fahri tiba-tiba meletakkan segelas minuman hangat di mejanya, ia agak bingung karena tidak memesannya.
“Bonus dari saya Non...gak usah bayar, gratis, ini namanya bandrek, enak diminum kalau lagi hujan-hujan gini” kata pria itu.
“You mean Free?”
“No…. bukan free, bandrek Non… Bandrek.” Pak Fahri terlihat sekali kurang begitu dalam bahasa inggrisnya. Jill tertawa geli melihat gelagat pak Fahri yang mencoba menjelaskan dengan kalimat yang campur aduk bahasanya sambil menunjuk-nunjuk gelas minuman yang diberikannya.
“Oh.. thank you very much, it looks good, kelihatannya enak… ” ia lalu menyeruput sedikit minuman yang masih panas itu, “mmm...enak, rasanya hangat!”
Pak Fahri duduk di bangku di depan gadis itu. Sambil Jill menikmati makanannya pelan-pelan, mereka saling memperkenalkan diri dan mulai mengobrol . Ia bercerita banyak mengenai tempat-tempat yang telah dikunjungi di Indonesia serta kesan-kesannya. Karakter Jill yang supel dan penuh keingintahuan bertemu dengan Pak Fahri yang mampu mengimbangi pembicaraan gadis itu dengan cepat membuat suasana menjadi akrab. Pria itu menjelaskan situasi kota ini dan memberi rekomendasi mengenai tempat-tempat yang jangan dilewatkan untuk dikunjungi, juga saran dan masukan lain. Jill mendengarkan penuturan pria itu sambil mangut-mangut sesekali menyuapkan makanan ke mulutnya, pak Fahri pun bilang kepada Jill, bahwa dia adalah turis yang paling cantik yang pernah datang mengunjungi warungnya. Mendengar sanjungan pria itu, Jill tersenyum simpul dan berterima kasih atas pujian itu.
Jill |
“Maaf permisi sebentar Non Jill, saya mau tutup warung dulu, ini udah waktunya” Pak Fahri permisi setelah melihat jam menunjukkan pukul tiga lebih seperempat.
“Ooh sorry, sepertinya saya harus cepat-cepat menghabiskan makanan saya” kata Jill.
“Ga...ga apa-apa Non makan santai aja dulu, lagian ini hujannya besar sekali, tunggu aja dulu di sini, kalau hujannya udah berhenti baru pergi”
“Okay kalau begitu, saya tunggu”
Pak Fahri pun menutup warungnya, ia menarik pintu lipat dari papan kayu itu lalu mencantelkan gembok tanpa menguncinya.
“oh ya, Pak..istri bapak dimana?” tanya Jill setelah menghabiskan suapan terakhirnya.
“sudah meninggal lama Non”
“oh maaf, Pak..saya tidak tau, Pak…”.
“nggak apa-apa kok Non..,saya cuma tinggal berdua sama anak..”.
Jill mengangguk-anggukan kepala, “lalu anak bapak...?”
“lagi tidak di sini”
Hujan belum ada tanda-tanda mereda, Jill berpikir, apakah selama ini pria tua ini tidak pernah merasa kesepian tinggal sendirian. Selain itu, rasa kagum muncul di hatinya. Ia memandang pria di depannya ini sebagai seorang yang mampu bekerja keras, dan kelihatan begitu tegar meski sudah lama ditinggal istri dan membesarkan anaknya seorang diri. Sikapnya pun sopan, sedari tadi ia tidak mendapatinya mencuri-curi pandang tubuhnya seperti beberapa pria lain. Didorong rasa simpati dan kasihan, Jill ingin sekali membuat pria yang sangat baik dan sopan seperti Pak Fahri senang. Dalam pikirannya, hadiah yang mungkin akan membuat tukang bakso ini senang dan juga yang dia rasa paling tepat untuk pria yang benar-benar kesepian sepertinya adalah dengan memberikan tubuhnya agar pria itu bisa memenuhi kebutuhan biologisnya. Di saat yang sama, entah mengapa, ia merasakan libidonya bangkit, mungkin akibat situasi dan kondisi yang mendukung, hanya berduaan dengan pria dengan hujan deras di luar. Tapi, ia tidak ingin membuat dirinya nampak seperti pelacur dengan menawarkan diri terang-terangan. Namun, setelah dipikir-pikir, tak apalah, sebuah hadiah yang memang pantas ditawarkan untuk pria yang baik dan sopan seperti Pak Fahri. Secara fisik memang pria ini jauh dari tampan. Namun harus diakui badannya berotot karena terbiasa kerja keras, mungkinkah penisnya juga perkasa?
“God, what am I fucking think?” omelnya dalam hati merasa nafsunya dengan cepat naik, “what's the matter with me? How could I imagine to have sex with him?” disingkirkannya pikiran itu dari benaknya
Namun sebentar kemudian, pikiran tersebut menyergapnya lagi, menggodanya dengan bayangan-bayangan erotis yang tak seharusnya dia lamunkan. Jill merasakan putting susunya mulai mengeras di balik bra-nya, dirasakannya selangkangannya menjadi basah oleh birahinya dan nafasnya menjadi tersengal.
"Pak...eerr terima kasih atas bandrek dan keramahannya, saya jadi bingung bagaimana membalasnya"
"Oohh...gak apa apa Bapak ikhlas kok, ga mengharapkan balasan apa-apa”
“Memangnya bapak gak pernah merindukan kehangatan seorang wanita selama ini?” Jill mulai menggodanya.
“Eng… tentu saja Non, biar gimanapun, saya ini khan seorang laki-laki normal.”
“Don’t you think I’m pretty? Apa menurut bapak saya cantik?” gadis itu memajukan dadanya semakin memperlihatkan belahan payudara serta gunung kembarnya yang makin menonjol di balik kaosnya pada si tukang bakso yang duduk di hadapannya itu.
“Non, ini… kenapa jadi begini?” Pak Fahri terlihat kikuk namun ia sudah tahu kalau jalan ceritanya bakal jadi begini. “Kalau tetangga tahu, saya bisa… “
Untuk beberapa saat, Jill tak mampu berkata apa-apa. Dia sudah berkelakuan layaknya seorang wanita jalang murahan di hadapan pria asing yang baru dikenalnya, begitu mudah ia mengucapkan kata-kata
rayuan untuk menggodanya. Selintas ia malu akan dirinya dan benaknya memutar dengan keras untuk mendapatkan sebuah pembenaran atas tingkah lakunya tadi. Mark...ia teringat lagi mantan pacarnya yang ia tangkap basah sedang bercinta dengan wanita lain di ketika berkunjung ke flatnya. Ia langsung memutuskan Mark saat itu juga setelah melempar kalung pemberiannya ke wajah pemuda itu. Sedih dan marah mengisi hatinya mengingat penyelewengan orang yang pernah dicintainya itu sehingga ia merasa ingin melampiaskannya sekarang pada pria asing ini.
“No one needs to know, gak ada yang perlu tau... saya malah jadi sungkan kalau bapak menolak, hhmmm...bagaimana kalau....”
"kalau apa non???"
"kalau saya...." Jill menghela nafas sejenak sebelum meneruskan, “kalau saya mencium bapak?” suaranya sedikit bergetar saat dia memandang pria itu dan ia memutuskan untuk semakin maju, semakin berani
Pria itu terhenyak, kaget namun ada senang juga.
“Ahh...hehe Non Jill lagi bercanda kali ya, masa non masih muda dan cantik mau cium bapak yang sudah tua ini?” tanya Pak Fahri menahan diri.
“Really... tidak bolehkah saya berterima kasih?“ jawab Jill lalu bangkit berdiri dan duduk di sebelah kanan pria itu.
Pak Fahri makin berdebar-debar dibuatnya terlebih ketika gadis bule itu benar-benar memajukan wajahnya lalu bibirnya yang lembut mencium pipi kanan dan kirinya. Keduanya saling bertatapan lama, hening sejenak, hanya terdengar suara hujan deras di luar dan hanya mereka berdua di ruangan itu. Wajah mereka saling mendekat lagi, Jill mencium bibir tebal Pak Fahri dengan lembut, cukup lama. Si tukang bakso terdiam, ia biarkan bibir ranum gadis bule itu mengecup bibirnya dengan lembut. Tak lama kemudian barulah ia membalas ciuman gadis bule itu. Percumbuan mereka semakin dipenuhi nafsu birahi. Pak Fahri mengeluarkan lidahnya, berusaha memasuki rongga bibir Jill.
Gadis itu pun membalas tak kalah liar, lidah mereka saling bertemu dan mereka berciuman dengan penuh nafsu. Lidah mereka saling melilit dan air ludah mereka tercampur, hingga menetes ke pipi masing-masing. Mereka saling berciuman amat panasnya, nafas mereka mulai terengah-engah karena nafsu. Kedua tangan Jill melingkari leher pria itu sementara tangan kokoh Pak Fahri juga mulai mendekap tubuh Jill dan membelai punggungnya. Seiring nafsu yang semakin membuncah, Pak Fahri mulai berani meraba buah dada Jill yang semakin menggelinjang mendapat sentuhan di daerah sensitifnya itu. Tangan pria itu meremas pelan kedua payudara sekal Jill dari luar kaos u can see-nya.
Birahi Pak Fahri semakin menggelegak, ciumannya mulai merambat ke leher jenjang gadis bule itu dengan rakus. Hal yang sama juga dirasakan oleh Jill, ia mendesah keenakan. Matanya terpejam meresapi setiap rangsangan dari si tukang bakso itu. Ia memegang kepala Pak Fahri dan meremas rambutnya.
“Oohh … it feels good, enak pak, “ desahan keluar dari mulut bule cantik itu merasakan lidah Pak Fahri menyapu telak lehernya dan menciumi telinganya.
Pak Fahri semakin beringas, kedua tangan yang tadinya meremas payudara Jill kini berusaha menyingkap ke atas kaosnya sehingga terlihatlah payudara montoknya yang masih dibungkus bra warna hitam. Tak ada penolakan dari gadis itu ketika Pak Fahri menyentuh payudaranya. Kini Jill yang melepaskan pergumulan mereka dan menatap pria itu dengan tatapan sayu.
“Saya mau tanya, Bapak rindu sama istri?” tanyanya dengan nafas memburu
“eeehh...iya, kangen sih Non....ini...kita”.
“kalau gitu, sekarang ini bapak anggap saja saya istri bapak..” katanya “saya akan nemenin bapak..” ia meletakkan tangan Pak Fahri di paha kanannya.
“jadi...maksud Non Jill, bapak boleh….gini?” Pak Fahri mulai mengelus-elus paha mulus itu, Jill mengangguk dan tersenyum.
Elusan tangan pria itu semakin dalam merayapi paha Jill, sungguh halus kulit gadis Australia ini. Pak Fahri terus mengelus-elus paha Jill sambil tangan satunya meremasi payudara gadis itu. Ia menyusupkan tangannya ke dalam, menyentuh paha bagian dalam Jill.
“hmmm…”, lirih Jill sambil tetap tersenyum.
Elusan-elusan si tukang bakso sedikit demi sedikit membangunkan gairah Jill. Dengan lembut dan perlahan belaian pria itu telah sampai di selangkangan. Meski sudah lama tidak bermain seks, insting pejantannya masih ada, dia tahu bagaimana membangkitkan gairah seorang wanita. Tangan kasarnya terus mengelusi kedua pangkal paha Jill, nafas gadis itu dibuatnya semakin berat.
“eemmhhh…”, Jill sedikit bergetar saat Pak Fahri mulai merabai bagian tengah selangkangannya, meskipun masih tertutup celana, belaian itu begitu terasa dan menghanyutkan.
“Non Jill…boleh saya buka aja beha-nya?” Pak Fahri meminta ijin sambil meremas payudara kiri gadis itu
“Of course..”, jawab Jill sambil tersenyum.
Gadis itu lalu menggerakkan tangannya ke belakang meraih kaitan bra-nya dan melepasnya. Pak Fahri perlahan melepaskan kaos beserta bra gadis itu yang telah terbuka, Jill mengangkat kedua lengannya membiarkan penutup tubuh atasnya itu melolosi tubuhnya. Mata Pak Fahri tak bisa lepas dari pemandangan yang begitu indah yang ada di depannya. Kedua gunung kembar Jill yang tadi tersembunyi di balik cup bra kini terekspos jelas, bulat montok dengan putingnya yang coklat. Ditambah lagi dengan lekuk-lekuk tubuh gadis itu yang sempurna, perut rata, kulit yang putih dan mulus. Pak Fahri belum pernah melihat tubuh wanita yang begitu indah dan sangat sempurna sehingga matanya nanar seperti mau lepas dari rongga matanya. Tak tahan, dengan penuh nafsu, ia mengarahkan kepalanya ke sana. Sambil terus meremas-remas, ia mengenyoti kedua payudara montok Jill, mulut gadis itu menceracau tak jelas dalam bahasa Inggris. Jemari tangan kiri Pak Fahri terus memilin puting payudaranya hingga jadi semakin mencuat kemerahan, sedang mulutnya mengecupi yang satunya lagi. Diperlakukan seperti itu, tentu membuat desahan nikmat Jill semakin terdengar keras. Gadis bule itu menggeliat geli sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan memegangi kepala si tukang bakso yang terus menyusu di bulatan payudaranya. Tangan Pak Fahri mulai turun ke arah perutnya dan terus ke menyusup masuk ke balik celananya, ia merasakan permukaan vagina gadis itu mulus tidak berbulu.
”Ahh...” desah Jill ketika jemari pria itu menyentuh wilayah segitiga emasnya yang sudah basah.
Pak Fahri semakin berani menggerayangi alat kelamin gadis bule cantik itu. Jari tengahnya tepat ‘membelah’ bibir vagina Jill, lalu menggerakkannya ke atas dan bawah untuk semakin meningkatkan birahi gadis itu. Seiring dengan gesekan jari pria itu di belahan vaginanya, kedua pahanya semakin membuka lebar.
“uummhhh heemmhhh…”, gumam Jill dengan mata terpejam, sementara Pak Fahri tersenyum, tangannya terasa semakin panas sekaligus lembap.
Tiba-tiba Jill melenguh lebih panjang dan menggeliatkan tubuh saat merasakan ada sesuatu benda yang masuk ke dalam vaginanya, benda itu berputar-putar seperti sedang mengebor vaginanya. Senyum pria itu makin lebar melihat reaksi sang gadis, jari telunjuknya menyusul masuk ke dalam liang vagina Jill. Keadaan terus berlanjut, kedua jari pria itu bergerak keluar masuk menggeseki dinding vagina dan klitoris gadis itu. Yang terdengar kini hanyalah suara desahan pelan Jill di tengah bunyi hujan deras di luar. Ia memegangi tangan pria itu agar tetap berada di sana, tetap mengerjai vaginanya. Tangan kanan Pak Fahri bergerak ke arah dadanya dan menangkap bongkahan indah tersebut.Sementara tangan Jill secara refleks, juga meremasi batang kemaluan Pak Fahri yang masih tersimpan rapi di balik celananya.
“Tunggu sebentar...” tiba-tiba gadis bule itu mengeluarkan tangan pria itu dari celananya dan bangkit berdiri.
Pak Fahri terpana menyaksikan Jill dengan gerakan erotis melepas celananya sendiri. Gadis itu lalu menaikkan pinggulnya ke tepi meja tepat di hadapannya. Yang paling menarik perhatiannya tentu daerah segitiganya, begitu bersih, tanpa bulu yang menutupinya, dan kelihatan sangat menggiurkan. Sungguh kewanitaan yang begitu indah, bibir vaginanya berwarna seperti kulit di sekitarnya dan masih rapat walaupun sudah bukan perawan.
“Bapak suka?” tanya Jill sambil mengangkangkan kaki lebih lebar lagi, memamerkan belahan vaginanya yang sudah merekah indah kepada pria itu.
“Ehehehe....iyahh “ gumam Pak Fahri mengagguk-angguk
“Nikmati Pak...bikin saya puas!” sahut gadis bule itu lirih, matanya sayu dan wajahnya bersemu kemerahan akibat birahi yang makin tak terkendali.
Tak perlu menunggu lama lagi, Pak Fahri sudah membenamkan wajahnya di selangkangan Jill, dihirupnya dalam-dalam kewanitaan itu.
“hmmhh…”, desah Jill merasakan hangat dan basah mengenai vaginanya.
Jelas itu lidah Pak Fahri, belaian-belaian nakalnya di daerah pribadinya sungguh menghanyutkan Jill dalam arus kenikmatan. Tanpa sadar, kaki kanan Jill disampirkan ke atas bahu kiri pria itu. Tanpa mampir ke otaknya, tubuh gadis itu merespon kenikmatan yang sedang ia rasakan secara alamiah. Dengan meletakkan satu kaki di bahu si tukang bakso, tentu selangkangannya akan semakin terbuka dan ia akan semakin leluasa dan semakin banyak memberikan kenikmatan. Benar saja, pintu surga dunianya semakin terbuka, Pak Fahri pun semakin gencar menyerbu wilayah terlarang itu. Dengan rakusnya, ia melahap vagina Jill habis-habisan. Tak henti-hentinya, lidah pria itu menyapu setiap jengkal dari daerah segitiga yang mulus tak berbulu itu, lidahnya terus menggali, menggali, dan menggali lebih dalam lagi ‘tambang’ yang ada di hadapannya sehingga Jill pun menggeleng-gelengkan kepala, menggeliat-geliat, kedua pahanya semakin menjepit kepala pria itu.
“aaaahhh ooouuhhh yesss...more...”
Jill pun menekan dan menahan kepala Pak Fahri di selangkangannya. Vaginanya menjadi bulan-bulanan si tukang bakso yang kegirangan mendapat rejeki nomplok seperti itu. Terkurung di antara paha mulus itu tentu membuat Pak Fahri bersemangat. Pandangannya tertutup vagina gadis itu dan hidungnya hanya mencium aroma khas liang sorgawi, sungguh keadaan ‘terjepit’ yang paling menyenangkan bagi pria itu. Jill benar-benar terhanyut, meresapi kenikmatan luar biasa yang dirasakannya pada bagian bawah tubuhnya.
“AAAKKKHHHH !!”, Jill mengerang panjang, kedua pahanya menjepit kepala Pak Fahri dengan sangat kencang, perutnya agak ke atas
Kucuran cairan yang berasal dari kewanitaan gadis Australia itu tak ubahnya bagai air mata yang menyegarkan dahaga Pak Fahri. Pria itu menyeruput habis habis dalam hitungan detik saja, lidahnya pun mengorek-ngorek sisa cairan yang tertinggal di dalam rongga vagina gadis itu. Pria ini ternyata cukup mengetahui bagaimana cara memberi kenikmatan sensual pada wanita.
“Non Jill…”, ujar Pak Fahri mengelus-elus paha gadis bule itu.
Jill tersenyum puas dan merundukkan tubuhnya, Pak Fahri pun langsung berdiri memeluk tubuhnya. Keduanya berpelukan begitu erat menciptakan pemandangan yang sensual dan erotis. Kekontrasan di antara dua insan manusia itu justru menambah aura erotis dan sensual yang ada. Jill, si gadis bule yang begitu cantik dan putih mulus sudah telanjang bulat sepenuhnya, memeluk Pak Fahri, pria gempal setengah baya dan berkulit gelap dan masih berpakaian lengkap.
“mmm…ccpphhh..mmm…”. Ciuman yang terjadi begitu mesra dan kompak. Keduanya bergantian saling lumat dan pagut. Bibir Jill yang lembut membuat pak Fahri benar-benar gemas. Dilumat, dihisap, dikenyot, dikulum, bibir Jill habis-habisan diserbu Pak Fahri. Lidah keduanya pun tak jarang saling belit, saling kait, dan saling silang.
“hmmm…mmm…”. Terlihat jelas sekali kalau tak hanya Pak Fahri yang menikmati percumbuan ini, tapi Jill juga sangat, sangat menikmatinya. Rambut Jill pun menutupi sisi kiri dan kanan seperti tirai/hordeng yang menutupi bibir mereka berdua yang menyatu seakan tak ingin ada seorang pun yang melihat percumbuan mereka.
“Uuah..”, Jill mengatur nafasnya setelah melepaskan bibirnya dari bibir Pak Fahri dan menegakkan tubuhnya.
Kini ia ingin sekali melihat kejantanan Pak Fahri. Tubuh pria ini nampak bugar dan kekar, pastilah senjata di balik celananya itu perkasa, sebuah batang yang hitam, besar, dan berurat terbayang di pikiran Jill. Semakin ‘gatal’ rasanya sehingga tangannya pun semakin aktif, setelah membuka pakaian atas Pak Fahri, tangannya merayap ke bawah meremas selangkangan pria itu yang telah menggelembung, ia menggenggam sesuatu yang keras.
“Sebentar yah Non!” kata Pak Fahri lalu dengan sangat tergesa-gesa, ia membuka celana dan celana dalamnya sendiri. Kedua mata Jill langsung tertuju ke benda yang menggantung di tengah-tengah selangkangan pria itu, benda itu begitu kokoh, panjang, dengan ujung bersunat, gadis itu menelan ludah membayangkan batang perkasa itu mengaduk-aduk vaginanya.
“masukkin Pak…”, Jill yang birahinya sudah meledak-ledak meminta pria itu untuk menjejali vaginanya dengan benda itu.
Kedua kaki gadis bule itu terbuka dengan sangat lebar, Jill juga menyibakkan bibir vaginanya sendiri seolah mengundang penis Pak Fahri agar segera masuk ke dalam. Tanpa buang waktu lagi, kepala penis pria itu pun sudah menempel di bibir vagina Jill.
“Oh yesss....eeemmm”, desah Jill ketika pria itu memajukan pinggulnya perlahan, kepala penisnya mulai mendobrak masuk ke dalam liang kewanitaannya.
Jill merasa bagian bawah tubuhnya benar-benar penuh sesak dengan batang besar milik Pak Fahri yang semakin melesak masuk. Sensasi yang luar biasa pun dirasakan Pak Fahri, penisnya terasa begitu terjepit dan terasa seperti diurut-urut. Setelah beberapa kali tarik-dorong, akhirnya seluruh batang penisnya berhasil menancap di dalam liang vagina gadis bule itu dengan sangat kokoh. Ia diam sejenak untuk menikmati liang vagina Jill yang begitu hangat dan peret, penisnya seperti dicengkram dengan sangat kuat oleh dinding vagina gadis itu. Belum lagi rasa hangat yang menyelimuti batangnya. Desahan-desahan pelan mulai mengalun dari mulut Jill saat tukang bakso itu mulai menggerakkan pinggulnya. Dengan lembut, pria itu terus berusaha memompa penisnya dengan perlahan.
“sshh ooouuhh uummhh..yeaaah!!!”, racau Jill merasakan sensasi nikmat dari vaginanya yang dirojok-rojok.
Sementara Pak Fahri terus menggasak liang vagina Jill. Ia menyodoknya dengan penuh perasaan namun cukup kuat untuk membuat gadis bule itu tersentak-sentak.
“ookkhh…aahhh....God i like it!!”, Jill mengerang lebih nyaring saat Pak Fahri menyodok vaginanya sampai mentok.
Tukang bakso itu terus menggenjot dengan ritme sedang agar Jill yang sedang digenjotnya juga menikmatinya. Gadis itu meletakkan kedua telapak tangannya pada meja sehingga buah dadanya nampak membusung menantang. Pak Fahri pun menangkupkan kedua tangannya dan menggenggam kedua gunung kembar itu. Ia remasi payudara Jill yang terasa sangat empuk dan kenyal itu. Kedua kaki indah Jill melingkar erat di pinggang Pak Fahri. Merasa gadis itu semakin terhanyut dalam kenikmatan, Pak Fahri mulai mempercepat genjotannya.
“I’m coming....yyaahhh...sshhh...aaahh...aahhhh!!!”, Jill mengerang panjang saat gelombang orgasme melanda tubuhnya, pria itu terus menyodok-nyodokkan penisnya berusaha menyusulnya ke puncak.
Hujan masih deras di luar sana mengaburkan bunyi pergulatan seks di kedai tersebut, nafas keduanya menderu-deru, bulir-bulir keringat keduanya telah membasahi tubuh masing-masing. Kedua insan beda ras beda negara itu bercinta dengan sangat bergairah, begitu menggelora. Desahan-desahan penuh kenikmatan keluar dari mulut keduanya. Keduanya saling berpelukan dengan erat sementara alat kelamin mereka terus bergesekkan semakin cepat dan tanpa henti sampai lima menitan kemudian...
“OOKKHH...Non Jill...enakkkhhh !!!!”, erang Pak Fahri melepas orgasmenya, ia akhirnya berhasil menyusul gadis itu ke puncak kenikmatan.
Jill akhirnya bisa bernafas lega setelah pria itu menghentikan sodokannya. Keduanya sama-sama meraih puncak kenikmatan yang mereka bangun bersama. Rasa hangat dan becek terasa oleh di liang kewanitaannya. Tubuh Jill terkulai lemas di meja sehabis mendapatkan orgasme tadi. Wajah cantiknya nan sendu itu menatap Pak Fahri dengan senyuman puas. Pak Fahri membaringkan tubuhnya disamping gadis bule itu dan dia mengusap-usap buah dadanya lembut. Jill memainkan jari-jarinya di penis pak Fahri yang sudah lemas kembali, tapi si penis belum juga mau bangkit kembali.
Setelah beristirahat beberapa saat, Jill menggeser tubuhnya turun dari meja dan bersimpuh di antara kedua paha Pak Fahri. Ditatapnya sejenak penis yang setengah bangun itu, lalu dikocoknya perlahan benda itu dan dimasukkannya ke dalam mulutnya.
“Uugghh…” lenguh Pak Fahri merasakana sensasi geli setiap kali gadis itu menghisap penisnya.
Ketika penisnya mengeras lagi, dikeluarkannya benda itu dari mulutnya dan disapukannya lidahnya dari pangkal hingga ke ujungnya. Dikenyot-kenyotnya buah zakarnya dan disapukannya lidahnya lagi ke batangnya yang berurat. Pak Fahri menikmati permainan mulut dan lidahnya dengan mengelusi rambut gadis itu, ia melihat bagaimana gadis bule itu menservis senjatanya.
“Non, udah dulu, nanti keburu keluar, sekarang Non nungging aja!” kata Pak Fahri beberapa menit kemudian karena tidak ingin buru-buru ejakulasi
“Oke...I see, saya siap mulai lagi!” sambil tersenyum Jill melakukan perintah pria itu.
Ia membungkukkan badan dengan kedua tangan berpegangan di pinggir meja. Menganggap gadis itu sudah siap,Pak Fahri segera memasukkan penisnya ke lubang vaginanya dari arah belakang, vagina yang sudah becek itu menelan penis itu dengan mudah. Dengan berpegangan pada pinggang Jill yang ramping, ia pun mulai menggerakkan badannya maju mundur. Batang penisnya kembali menghentak-hentak keluar-masuk di lorong vaginanya, mula-mula dengan perlahan-lahan, namun makin lama semakin bertambah temponya. Sesungguhnya Jill belum benar-benar lepas dari buaian orgasmenya. Vaginanya masih terasa gatal dan setiap gerakan, betapa pun kecilnya, menyebabkan kegelian itu menjalar ke mana-mana di tubuhnya. Dengan cepat ia merasa birahinya sudah bangkit kembali, dan tanpa sadar ia mulai menggoyang-memutar pinggulnya, membuat penis Pak Fahri yang serasa diaduk-aduk di liang kewanitaannya. Tubuh Jill mulai terguncang-guncang dan dari mulutnya kembali terdengar desahan sensual
”Ough... aahhh, more Pak...aaawww” jeritnya kecil ketika tangan pria itu menampar bongkahan pantatnya yang menggemaskan, “Bapak nakal...aahh...” ia menengok ke belakang.
“Ehehehe...abis gak tahan Non, montok banget..ssshhh...sshh!!” kata pria itu sambil terus menggenjot dan plak...sekali lagi ia menampar pantat Jill yang sebelah seperti penunggang kuda memecut tunggangannya.
Selama beberapa saat Pak Fahri menyetubuhi Jill dengan cepat dan bertenaga, hingga akhirnya ia pelankan helaannya dan meraih payudara gadis itu untuk diremas-remas. Sesudah itu ia naikkan lagi tempo genjotannya. Akibatnya Jill pun mulai ribut lagi
”Uughh... ughh... oughh...”
Jeritan gadis itu semakin membangkitkan nafsunya, sehingga ia menggoyang tubuhnya semakin cepat dan makin bertenaga. Tak lama kemudian, akhirnya gelombang orgasme menerpa bak tsunami meluluh-lantakan segalanya. Pak Fahri menggeram-mengerang keras, menghujam cepat dan pendek berkali-kali.
“Uuuhhh...keluar enakkkhh!!” ia mengerang-menggeram, menegakkan tubuhnya sambil menghujamkan penisnya dalam-dalam, menumpahkan cairan kental panas ke vagina Jill yang telah berdenyat-denyut.
Sementara Jill membelalakkan mata dengan pandangan kosong merasakan sebuah kenikmatan luar biasa menyergap tubuhnya. Lalu pandangannya mengabur dan merasakan tubuhnya seperti melayang-layang..Kenikmatan yang bertubi-tubi menghempas tubuhnya sedemikian rupa sehingga ia tidak lagi bisa merasakan ketika penis pria itu memuncratkan cairan kental panas mengisi seluruh bagian dalam kewanitaannya, membuat liang sorgawi itu penuh. Saat penis pria itu tercabut dari liang kewanitaannya, cairan cinta berleleran di sela-sela paha gadis itu. Jill hanya bisa terpejam dan mengerang pelan, nyaris tak terdengar. Ia menjatuhkan tubuh ke kursi terdekat dan bersandar dengan nafas naik-turun. Cairan putih kental nampak meleleh dari vaginanya yang mekangkang membasahi kursi di bawahnya
“Owh...how wonderful!” gumam gadis itu dalam hati
Dipandangnya Pak Fahri yang juga terduduk lemas di kursi seberangnya, penis pria itu nampak menyusut setelah orgasme dahsyat tadi. Lama juga keduanya terduduk lemas dengan tubuh berkeringat di kursi. Pak Fahri yang bangkit duluan menawarkan minuman pada gadis itu.
"Mau minum apa Non? Bapak ambilin!" tawarnya
"Oh,...saya rasa saya perlu yang menyegarkan!” jawab Jill tersenyum lemah
Pak Fahri berjalan menuju lemari penyimpanan minuman di sudut warung, dua botol teh botol Sosro dingin segera diraihnya. Setelah membuka tutupnya dan memasukkan sedotan, ia menghampiri Jill dan menyodorkan botol tersebut. Dengan lahap gadis Australia itu meneguk minuman yang menyegarkan itu. Sekejap kemudian botol sudah kosong.
“Hujannya sudah kecil” kata Jill mendengar suara hujan di luar mulai mereda, sudah tidak ada lagi suara guntur, namun masih turun rintik-rintik, “saya rasa saya sudah bisa berangkat”
“Masih belum bener-bener berenti Non” kata tukang bakso itu, “sambil nunggu Non mau lihat-lihat ke belakang? Tempat saya bikin bakso?” tanyanya.
“Ah tentu saja, saya senang sekali mempelajarinya!” sahut Jill antusias, ia bangkit dari kursi dan meraih celananya.
“Ehh...ga usah Non, ga usah dipake dulul, takutnya di dalam kotor” Pak Fahri mencegah gadis itu yang hendak memakai kembali pakaiannya, “lagian Non lebih cantik kalau gak pakai apa-apa kok”
“Hahaha...” Jill tertawa lepas, “Bapak ini pintar merayu ya....baiklah kalau begitu saya tidak akan pakai dulu bajunya”
Akhirnya gadis itu mengikuti pria itu ke belakang hanya dengan memakai sepatu dan kaos kakinya yang sedari tadi belum dilepas. Inilah rupanya tempat pria ini mengolah makanan yang menjadi dagangannya itu. Ruangan yang berukuran sedang itu tertata bersih dan rapi. Di sana terdapat sebuah alat penggiling daging, sebuah rak yang di dalamnya berisi toples-toples kecil bumbu masakan, sebuah lemari pendingin berukuran sedang untuk menyimpan persediaan daging, tungku memasak, serta peralatan masak yang menggantung dan tergeletak di meja. Pak Fahri menjelaskan sepintas alat-alat yang ada di sana dan cara-cara mengolah bakso supaya menjadi enak. Jill berjalan ke sebuah jendela di belakang, ia menggeser tirainya sedikit sehingga ia dapat melihat keluar, ke arah sebuah kebun kecil di belakang sana. Pak Fahri berdiri di belakangnya, menjelaskan bahwa di sana ia menanam beberapa jenis tanaman yang dibutuhkan untuk bumbu seperti cabe, bawang, daun seledri, dll. Dengan menanam secara mandiri harga pun dapat ditekan sehingga lebih ringan di tangan pembeli. Jill berdecak-decak kagum mendengar penjelasan pria itu, ia memang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi mengenai hal-hal baru.
Sambil membicarakan tanaman, Jill merasakan tubuh pria itu dekat sekali di belakangnya, sangat dekat bahkan. Sebuah aliran birahi samar-samar kembali menjalari tubuh gadis itu. Ia menengok ke sebelah mendapati sebuah meja panjang dengan marmer hitam panjang di atasnya, tingginya sepinggang orang dewasa lebih sedikit. Lantai di bawahnya berlapis tegel kuning dengan kisi-kisi pembuangan air di sudutnya.
“Ini tempat nyembelih Non” kata pria itu menerangkan.
“Nyembelih?” tanya Jill
“Eeemmm...motong maksudnya...” pria itu memperagakan gerakan memotong daging, “daging besar dipotong di sini jadi kecil-kecil, hehe gitu maksudnya!”
Jill mengangguk-angguk.
“Oh iya, Non Jill mau saya bersihin gak sebelum pergi? Biar segar badannya” kata pria itu seraya mengambil selang berwarna hijau yang terhubung pada kran ledeng dekat situ, “ini biasa buat bersihin daging, tapi airnya bersih kok”
Gadis itu tersenyum, “Bapak mau bersihin saya atau mau pegang-pegang badan saya lagi?” godanya.
“Hahaha...mungkin dua-duanya Non, ya kan kalau bersihin ya harus pegang-pegang dong supaya lebih bersih. Gimana Non? Kalau Non gak keberatan, berbaring aja di sini, biar Bapak bersihin” katanya sambil menepuk-nepuk meja marmer itu.
Jill terdiam sejenak, aneh juga harus melakukannya di meja jagal. Namun ia kemudian tersenyum.
“Haha...saya jadi merasa seperti hewan mau dipotong, selera anda memang funny Pak!” katanya sambil melepaskan sepatu dan kaos kakinya dan naik ke meja tersebut, “oke...Pak silakan bersihkan badan saya!” ia terbaring telentang pasrah tanpa sehelai benangpun.
Pak Fahri mulai menyiramkan air ke tubuhnya, menggosokinya dengan lembut membuat gadis itu merasa nyaman. Siraman air dingin dari selang itu memberinya kesegaran dan sentuhan-sentuhan erotis pria itu membuatnya terbuai, ia merasakan aliran sensual merayapi tubuhnya, apakah ronde berikutnya akan dimulai? Ia belum tahu pasti. Matanya terpejam menghayati tangan pria itu membersihkan tubuhnya. Siraman air tidak terasa lagi, sebagai gantinya tiba-tiba ia merasakan bibir pria itu menempel di bibirnya. Serta merta ia pun menyambutnya dengan hangat, lidah mereka saling belit selama beberapa saat hingga pria itu menarik lidahnya, sepertinya hendak mengakhiri percumbuan. Tiba-tiba jret....takk....!!! terdengar suara daging terpotong dan disusul bunyi logam beradu dengan meja marmer di bawahnya. Mata Jill yang terpejam langsung membelakak, ia tidak sempat menyadari apa yang terjadi karena kepalanya telah terpisah dari tubuhnya. Pak Fahri menjenggut rambut panjang gadis itu dan mengangkat kepalanya yang terpotong sambil terus mencium bibirnya selama beberapa detik.
“Mmmhhh...” ia melepas ciumannya dan menatap potongan kepala gadis itu yang masih membelakakkan matanya, “maaf yah Non, Bapak lagi butuh daging gadis muda yang rasanya enak itu, Non datang di saat yang tepat membawa daging impor lagi hehehehe...”
Ia lalu meletakkan kepala itu di atas meja di sebelahnya dan mulai beralih ke arah tubuhnya yang masih mengucurkan darah dengan deras pada potongan lehernya. Lelehan darah membasahi lantai di bawahnya mengalir bersama sisa air ke saluran pembuangan air. Tanpa membersihkan cipratan darah pada wajah dan tubuhnya lebih dulu, Pak Fahri mulai memposisikan ujung golok dagingnya pada ulu hati tubuh tak berkepala itu lalu ia tekan dan tarik hingga membelah perut yang mulus dan rata itu. Kembali darah tercurah membasahi meja. Hati, jantung, usus, semuanya jelas terpampang dihadapannya. Dengan tenang seperti melakukan pekerjaan biasa, ia mengeluarkan isi perut Jill dan menampungnya pada sebuah baskom besar. Kemudian, bagaikan seorang tukang daging di pasar, pria itu dengan santai memotong buah dada Jill dan memotong daging dari bagian tubuh lainnya yang telah ia pilah-pilah lalu ditampung di sebuah baskom lainnya. Daging-daging terpilih itu ia cuci hingga bersih dari darah lalu dibawanya ke arah mesin penggiling. Mesin dinyalakan, satu-persatu potongan daging manusia itu ia masukkan ke lubang di atas mesin yang lalu secara otomatis mengelurkan hasil gilingannya ke baskom lainnya. Total didapat dua baskom ukuran sedang dari daging yang masih ‘segar’ tersebut.
Kembali ke meja penjagalan di mana tubuh Jill sudah tidak berbentuk lagi. Tubuh gadis malang itu kini hanya berupa bagian-bagian yang terpisah-pisah. Kaki, tangan, serta tubuh telah terpotong-potong menjadi beberapa bagian, beberapa di antaranya sudah tinggal berupa tulang yang masih bermandikan darah, sementara kepala gadis itu tergeletak di meja lain, matanya yang membelakak menatap ke arah tubuhnya yang sudah tidak utuh lagi. Pemandangan menjijikkan itu nampaknya bagi Pak Fahri merupakan hal yang biasa saja, tanpa tergesa-gesa ia membereskan sisa pekerjaannya. Daging yang tersisa ia sayat hingga habis dan ia letakkan di wadah lain. Kurang lebih setengah jam kemudian yang tersisa tinggal tulang-belulang merah darah. Pria itu mengambil sebuah plastik hitam besar yang biasa dipakai untuk membuang sampah lalu memasukkan tulang-tulang itu ke dalamnya. Terdengar suara langkah menuruni tangga dari ruangan sebelah.
“Pak...Bapak!!” terdengar suara Hamzah memanggil ayahnya.
“Sini Nak! Bapak lagi sibuk! Tolong bantuin Bapak dong!” sahut Pak Fahri menanggapi panggilan anaknya itu.
Hamzah menemui ayahnya yang masih telanjang dengan tubuh berlumuran darah itu di dapur belakang, namun tampaknya pemuda keterbelakangan mental itu tidak merasa ngeri ataupun kaget.
“Bapak lagi potong daging? Ehehehe!” ia tertawa polos sambil memeluk boneka Telletubies merah kesayangannya.
“Iya, kamu datang tepat waktu nak.” pak Fahri berkata sambil merenggut rambut kepala Jill yang bertengger di atas meja di sampingnya, masih dengan mimik wajahnya yang terkejut dengan mata membelalak lebar. “Cepat, yang ini masih segar.” Katanya sebelum melempar kepala itu ke arah Hamzah yang buru-buru melepas bonekanya dan menangkap kepala gadis malang itu.
“Hehehe, yang ini cantik pak. Kok rasanya sayang kalo di…”
“Halaaah, sudah gak usah banyak omong. Nanti keburu telat, ini semua buat kebaikan kamu juga nak. Ayo, kamu udah tau caranya khan?”
“Iya pak, Hamzah ngerti.” Dengan santainya pemuda itu meletakkan kepala Jill di atas sebuah talenan kayu yang cukup besar dengan posisi wajah yang menghadap ke arahnya. Kemudian meraih sebilah pisau daging yang sudah tajam terasah, diangkatnya tinggi-tinggi pisau itu.
“Awas nak, jangan sampai berceceran. Sayang kalau terbuang.”
“Iya pak.” Sahut si pemuda dengan seringai polos di wajahnya, yang entah bagaimana tampak mengerikan di sinari lampu redup bohlam berwarna kuning yang menggantung dengan malasnya di atas dapur si tukang jagal itu. Dengan satu kali ayunan di tetakkannya pisau daging itu di ubun-ubun kepala si gadis malang, kemudian dengan jari-jari pada kedua tangannya pemuda itu mengoyak tengkorak kepalanya hingga terbelah. Dengan satu tangan diraupnya sebongkah otak yang masih berdetak dari dalam tempurung kepala Jill. Diangkatnya gumpalan otak itu tinggi-tinggi seolah memamerkan pada ayahnya, “Pak… masih hangat pak.”
“Bagus nak, ayo dihabiskan. Biar kamu tambah pinter.” Sahut Pak Fahri menyemangati anaknya.
Pak Fahri berjalan ke arah rak hendak mengambil bumbu dan alat masak lain, dipungutnya boneka Telletubies yang tadi dijatuhkan Hamzah ketika menangkap kepala Jill. Ia letakkan boneka tersebut di meja, namun wajahnya jadi terkejut melihat sesuatu di layar pada perut boneka itu yang dapat diselipkan sesuatu.
“Loh nak...ini kok bisa disini sih?” tanyanya pada Hamzah seraya mengeluarkan SIM yang terselip di perut Telletubies yang berlayar itu.
Hamzah yang tengah menyendok otak Jill seperti makan puding itu menengok sejenak,”Ooohh...itu punya om yang Hamzah tusbol itu”
“Iya tau...yang bapak tanya, kok bisa benda ini ada di sini? Bapak kan udah larang keras untuk mengambil barang punya orang lain, itu dosa, tau?” pria itu terlihat agak marah pada anaknya dan memukulkan boneka itu ke kepala Hamzah.
“Soalnya Pak....soalnya....” jawab Hamzah dengan gayanya yang lugu, “om itu kan gendut, imut, mirip boneka Hamzah....jadi...jadi....Hamzah kasiin ke dia, jadi boneka Hamzah punya nama sekarang...Hamzah bisa baca loh Pak, nih liat!” pemuda kelainan mental itu meraih SIM yang dipegang ayahnya, “Farrr....hat....aaa...basss! bener kan Pak? Jadi boneka ini Hamzah kasih nama Farhat”
“Iya...iya...Hamzah pinter, tapi tetap ngambil barang orang lain itu gak boleh, ngerti?” tegas Pak Fahri yang dibalas anaknya dengan anggukan, “Bapak ambil ya kartu ini, ntar malem mau dibakar sama barang-barang di tas gede di warung depan, kamu ambil apa lagi nggak?”
“Nggak Pak, Hamzah cuma ambil kartu itu aja, gak ambil apa-apa lagi,sumpah!”
“Ya udah kamu terusin aja makannya dulu, abis itu bantu bapak beres-beres yah!” kata Pak Fahri seraya mengambil sebuah sendok dan beberapa bumbu masak, “eh iya...hati-hati nyendoknya, matanya jangan sampe rusak nak, besok mau bapak pake buat bikin sop mata kesukaan kamu”
“Yee....asyyiikk...hore...Bapak mau bikin sop mata, kayanya bakal enak Pak, soalnya ini matanya bagus, warna ijo, Hamzah baru pernah liat yang kaya gini!” kata pemuda itu kegirangan sambil menatap mata Jill yang memandang kosong.
***
Hampir seminggu sejak kedatangan Jill ke warung bakso pak Fahri, dan hampir seminggu pula warung baksonya dijejali oleh pelanggan baik tetap maupun barunya pak Fahri. Pelanggan yang datang lebih ramai bila dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.
“Baksonya tambah enak aja pak Fahri, resep baru ya?” celetuk seorang bapak pekerja kantoran yang merupakan pelanggan tetap yang tengah sibuk menikmati satu porsi bakso yang terhidang di hadapannya.
“Biasa aja kok Pak, masih resep warisan, dagingnya aja yang lagi bagus.”
“Pake daging apa emang pak? Sapi impor ya?” timpal rekan kerja si bapak yang duduk di sebelahnya.
“Yah, gitulah Pak.” Jawab pak Fahri yang disertai beberapa gelak tawa dari pelanggan-pelanggan yang ikut sibuk menikmati hidangan masing-masing.
Tak berapa lama kemudian Luthfi datang dengan membawa seorang gadis. Usianya masih belia dan bila dilihat dari pakaian yang dikenakan oleh gadis ini sepertinya dia baru datang dari kampung. Kaos ketat murahan di balut dengan jaket jeans lusuh sebagai atasannya dan celana jeans ketat model legging yang terlihat agak kotor sebagai bawahannya.
“Pak Fahri. Bapak masih butuh karyawan gak? Saya liat setelah si Nanik keluar berapa bulan lalu kan belum ada yang kerja lagi.” tanya Luthfi sambil melirik meja kerja pak Fahri mencari makanan yang sekiranya dapat di comoti.
“Nah, yang kamu bawa ini siapa Fi? Saudaramu?”si gadis yang tahu tengah dibicarakan diam saja malu-malu dan kalau pak Fahri tak salah lihat, wajahnya seperti mau menangis. Buru-buru di tutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang kotor.
“Bukan pak, ini cewek saya temuin lagi tidur di terminal bis waktu saya lagi markir. Dia dateng dari kampung, saya takut dia dikerjain sama anak-anak terminal. Makanya saya bawa dia kemari.” Jelas Luthfi yang terlihat agak sedikit kecewa karena tak ditemukannya makanan siap comot di meja pak Fahri.
“Memangnya nama kamu siapa?” tanya pak Fahri ramah sambil mempersilahkan gadis kampung itu duduk. Gadis itu masih belum buka suara karena masih menahan tangisnya. Pak Fahri menyuruh Hamzah untuk menyuguhinya segelas air putih, gadis itu malu-malu menerima gelas yang disodorkan pemuda itu dan meminumnya.
“Eh iya, Fi...mau kerupuk kulit gak? Ini baru aja digoreng dan dikemas pagi tadi...ambilin di dapur nak!” pintanya pada Hamzah.
Sebentar saja Hamzah kembali dengan membawa beberapa kantong kerupuk kulit yang sudah dikemas dalam plastik kecil.
“Masih garing terus kulitnya yang spesial kali ini, lembut tapi kriuk gitu, dicoba deh!” Pak Fahri menyodorkan sebungkus pada si preman tukang parkir itu.
“Wah makasih nih, jadi ngerepotin? Dicoba dulu yah” ia menyobek kemasannya, mengambil sepotong kerupuk kulit itu dan kriuk....ia mengangguk-angguk merasakan kerupuk kulit yang gurih itu, “wahhh....top ini Pak, kulit sapi muda ya? Atau sapi impor? Nanti malem buat temen makan nasi goreng wuihh...pas banget tuh!”
Pak Fahri tersenyum puas melihat krupuk kulit buatannya itu memuaskan selera yang memakannya, ia memberikan lima bungkus untuk Luthfi lalu pamit dengan hati gembira karena mendapat makanan gratis lagi.
“Nah...udah tenang sekarang?” Pak Fahri kembali pada gadis kampung yang sudah mulai reda tangisnya itu, ia mulai mengangkat wajahnya yang menunduk, “kita kenalan aja dulu, nama bapak Fahri, nah itu putra bapak, namanya Hamzah, kalau adik namanya siapa?” tanyanya dengan ramah.
“Nama saya Lastri pak, saya baru datang pertama kali ke sini. Kampung saya di Cilacap, saya dijanjiin mau dikasih kerjaan jadi pembantu rumah tangga.” Gadis kampung itu menyeka air matanya sebelum meneruskan ceritanya. “Tapi semalam bisnya telat, jadi begitu saya sampai disini. Lowongan pekerjaannya udah diisi sama orang lain.”
“Nah, terus nak Lastri kenapa sedih? Gak tau jalan pulang?” tanya Pak Fahri yang melihat peluang di depan matanya.
“Bukan pak, saya gak punya ongkos pulang ke kampung.”
“Lantas kenapa kamu gak telepon aja keluarga kamu di kampung minta dijemput?”
“Keluarga saya gak ijinin saya kerja di luar kota. Jadi saya kabur dari rumah pak.” Terang Lastri sambil tangisnya meledak lagi tampak sekali menyesali keputusan buruk yang telah diambilnya. Sedangkan senyum pak Fahri semakin merekah lebar mendengar semua penuturan gadis kampung yang polos itu.
Diperhatikannya tubuh Lastri yang berkulit putih bersih khas kembang desa. Dengan buah dada yang jelas mencetak di kaos ketatnya, pak Fahri tak perlu menebak-nebak lagi berapa ukurannya.
"Hmm... begini saja nak Lastri. kalo kamu mau, kamu boleh bekerja disini selama beberapa hari. Yahh... anggap saja gajinya buat kamu tabung untuk ongkos pulang kembali ke kampung. Kalo kamu betah dan mau terus bekerja disini, saya pun gak bakal melarang. Saya cuma niat membantu kamu saja." usul pak Fahri dengan raut wajah yang meyakinkan.
"Bener pak? bapak ijinin saya bekerja disini?"
"Iya, kamu boleh tinggal disini. saya ada kamar kosong di atas."
"Terima kasih ya pak, saya betul-betul gak akan mengecewakan bapak." kata Lastri buru-buru sambil meraih tangan pak Fahri dan menciumnya. Air mata Lastri yang tadinya sudah kering pun kembali keluar karena tersentuh akan kebaikan hati pak Fahri.
"Sudah... sudah, kamu pasti lapar. Sebentar lagi sudah waktunya tutup, saya buatin kamu bakmie buat ganjal perut sebelum kita makan malam." usul pak Fahri, dan Lastri pun bukannya tak mau, karena memang sejak semalam perutnya belum diisi dengan makanan. dia mengambil tempat duduk yang kosong dan menerima makanan yang disuguhkan pak Fahri dengan berkali-kali ucapan terima kasih terlontar dari mulutnya.
Sementara Lastri menyantap bakmie buatan pak Fahri. Pelanggan yang memang sudah tahu jam buka dan tutupnya warung bakso pak Fahri, satu persatu meninggalkan tempat itu sehabis mengisi perut mereka. Pak Fahri pun dengan santai menutup warungnya, ia menarik pintu lipat dari papan kayu itu lalu mencantelkan gembok tanpa menguncinya. Kemudian ia masuk ke dapur, mengambil sebuah gelas dan membuat bandrek hangat untuk diberikan kepada si gadis kampung, dan tentu saja tak lupa ia memasukkan obat perangsang dosis tinggi seperti yang diberikan pada Jill hampir sepekan yang lalu.
"Kebetulan nih, stok daging udah mau habis." gumam pak Fahri dengan seringai jahat di wajahnya.
By: Shusaku
Special thanks to: Jimmy Jinx yang sudah membantu penulisan cerita ini
NB:
- Cerita ini adalah effek samping dari semingguan dijejali film Untold Story 1 dan 2 dan Meat Grinder
- Cerita ini hanyalah fiktif belaka kalau ada kesamaan tempat dan tokoh di dunia nyata insya allah come true seperti di cerita (terutama tokoh yg di dunia nyatanya :D , u know who...)
- Tidak ada satupun seseorang atau binatang yang disakiti dalam penulisan cerita ini
- Don’t try this at home, unless you want to become psycho or serial killer
Senin, 22 September 2014
Cerita lepas
0 Response to Bakso Maknyus ala Pak Fahri
Posting Komentar