Stefanny: Gairah Dalam Lift Kampus | kisahbb2

Stefanny: Gairah Dalam Lift Kampus

Stefanny Adventure Series
By: Dian Kanon
@kisahbb
Part 01 – Gairah Dalam Lift Kampus

I. Sekilas Tentang Diriku
Stefanny
Namaku Stefanny, seorang gadis Chinese yang baru saja berulang tahun yang ke 22 di awal tahun 2005 ini. Sekilas tentang bentuk fisik tubuhku, tinggiku badanku 158 cm dan berat badanku 46 kg. Rambutku lurus dan panjang sampai sebahu. Banyak orang yang mengatakan kalau wajahku cantik, tubuhku indah dan menggairahkan, walaupun penampilanku biasanya selalu feminim dan anggun. Di bulan Mei 2005 ini, aku masih kuliah di sebuah universitas elite di Surabaya. Saat ini aku menginjak semester delapan dan akan segera lulus. Di kampus tempat aku kuliah ini, aku termasuk golongan mahasiswi high class alias anak orang kaya. Sejak aku masih kuliah di semester satu tahun 2002 lalu, banyak mahasiswa di kampusku yang mencoba mendekatiku, tapi mereka harus gigit jari karena waktu itu aku sudah memiliki seorang pacar yang kusayangi, yaitu Melvin. Aku amat bangga memiliki pacar sehebat Melvin. Ia adalah mahasiswa seangkatanku sekaligus kapten tim basket di kampusku, dengan tubuhnya yang begitu atletis dan wajahnya yang cukup tampan. Aku mengenalnya secara tidak sengaja di arena basket kampusku. Awalnya aku bersikap cuek ketika Melvin terus berusaha mengejarku dan mendapatkan hatiku, tapi akhirnya aku luluh dengan semua perhatiannya, dan aku jadi jatuh cinta pada Melvin. Valentine Day 2003 adalah hari terindah dalam hidupku ketika Melvin menyatakan keinginannya menjadi pacarku. Singkat cerita, kami pun pacaran dan menjadi pasangan paling populer di kampus kami. Tapi semua kebahagianku ini harus lenyap begitu saja ketika di hari tiga tahun kami jadian, tepatnya pada Valentine Day 2005, Melvin merenggut keperawananku. Aku menyerahkan mahkotaku yang paling berharga ini, karena waktu itu aku takut kehilangan Melvin yang memintanya dengan paksa sebagai bukti cintaku padanya. Waktu itu aku sama sekali tak merasakan nikmatnya bercinta, yang kurasakan hanyalah sakit dan pedih pada liang vaginaku. Namun yang terjadi selanjutnya benar benar menyesakkan dadaku.. Setelah menodai dan menikmati tubuhku, Melvin tiba tiba jadi sulit sekali untuk kuhubungi. Semua telepon dariku tak pernah lagi diangkatnya. SMS dariku juga tak pernah lagi terbalas. Kalau kami bertemu di kampus, Melvin selalu menghindariku dengan alasan sibuk. Dua minggu mendapat kenyataan seperti itu, aku tahu kalau aku sudah tak punya harapan lagi. Maka daripada aku tersiksa lebih lama lagi, dengan hati yang hancur aku nekat menemui Melvin di fakultasnya, menyatakan bahwa aku memutuskannya. Melvin dengan gampang mengiyakan, bahkan ia tertawa santai seperti tak ada yang perlu disesalkannya, seolah hubungan kami selama ini memang tak ada artinya bagi Melvin. Hal itu membuatku semakin yakin keputusanku ini benar walaupun sebenarnya kenyataan ini membuatku terpukul. Sejak saat itu statusku resmi menjadi single, dan berita ini segera menyebar ke seantero kampusku dengan begitu cepat. Tiba tiba saja aku sering mendapat ajakan makan siang, atau keluar nonton berdua dan sejenisnya oleh berbagai macam mahasiswa di kampusku ini, tapi aku takut menerima ajakan ajakan itu, karena aku sudah trauma dengan kejadian pahit yang menimpaku saat pertama kali pacaran itu. Apalagi aku merasa hidupku sudah hancur dengan hilangnya mahkotaku. Dunia ini rasanya suram, sering rasanya ingin aku mengakhiri hidup ini. Seolah semua ini belum cukup menyiksaku, kesedihanku ini masih harus ditambah dengan rasa bersalahku pada adikku.

Hampir sebulan kemudian, di suatu malam aku mendapati Caroline, adik perempuanku, yang umurnya dua tahun lebih muda dariku, harus rela menjadi budak seks empat pekerja mebel yang tinggal di mess yang ada di halaman belakang rumahku. Aku jadi sering menangis sendiri, menyesali kebodohan adikku yang memilih jalan sepahit itu. Apalagi akhirnya aku tahu, penyebab adikku jatuh ke tangan mereka adalah adikku takut ketahuan olehku yang sedang menunggu di ruang tamu di waktu ia pulang malam. Padahal seandainya adikku tahu kalau waktu itu aku bukan ingin mengurusi tentang ia pulang malam, tapi aku hanya ingin mengajaknya makan kue ulang tahunku pemberian Melvin (waktu itu statusku masih pacarnya Melvin), ia tak perlu harus menyerahkan dirinya untuk menjadi santapan empat serigala yang tinggal di mess belakang rumahku itu. Hidupku berubah sekitar dua minggu kemudian. Ketika aku akan memberikan les di rumah salah satu murid lesku yang bernama Eliza, aku harus menunggu di kamar Eliza yang siang itu memberi kabar kalau ia akan pulang terlambat karena salah satu ban mobilnya bocor, dan ia bermaksud mengganti ban sekaligus menambal ban yang bocor itu. Maka aku menunggu, toh setelah memberikan les pada Eliza nanti aku sudah tak ada kegiatan apapun. Tanpa sadar, aku tertidur begitu saja di kamar Eliza. Dan hari itu, untuk kali kedua tubuhku disentuh oleh lelaki. Aku terbangun ketika dua orang lelaki berpenampilan kacau tiba tiba sudah mencumbuiku, bahkan yang satu sudah menurunkan celananya untuk memaksaku mengoral penisnya. Kedua tanganku yang tertahan di atas kepalaku tanpa bisa kugerakkan membuatku ketakutan. Selagi aku harus berjuang melawan rasa mual selama mengoral penis itu, aku merasakan sensasi yang aneh yang menjalari tubuhku ketika orang yang satunya lagi mencumbui kedua payudaraku, bahkan ia lalu mencumbui kedua pahaku, lalu aku sampai menggelinjang ketika vaginaku yang masih tertutup celana dalam itu tak luput dari cumbuannya. Untungnya sebelum kedua orang berbuat lebih jauh, aku terselamatkan oleh kepulangan Eliza. Aku cepat cepat merapikan sprei ranjang Eliza tempat aku digumuli oleh kedua orang tadi yang kini sudah kabur entah kemana. Lalu aku merapikan diriku di kamar mandi yang ada di dalam kamar Eliza, termasuk membasuh bagian bagian tubuhku yang terkena air ludah kedua orang tadi. Setelah aku keluar dari kamar mandi dan bertemu Eliza, terjadilah berbagai hal yang membuatku mengerti nikmatnya bercinta. Dimulai dari ‘perkosaan’ yang dilakukan oleh Eliza terhadapku, di malam harinya Eliza bahkan melakukan live show di hadapanku, bermain cinta dengan begitu liar dan sexy bersama ketiga pembantunya demi membuatku terbakar gairah hingga akhirnya aku menyerahkan tubuhku begitu saja pada tiga orang pembantunya, yang dua di antaranya ternyata adalah mereka yang mencumbuiku di siang harinya tadi. Dan kenakalan Eliza yang menjadikanku sebagai bintang film porno dalam pesta seks yang terjadi di malam itu mendatangkan kenikmatan yang luar biasa padaku, dan benar benar mempengaruhi kehidupan seksku selanjutnya dan membuatku tidak ragu mencoba petualangan baru di sana sampai beberapa kali. Sudah beberapa kali aku datang lebih awal ke tempat Eliza, tentu saja dengan pakaian yang sexy dan merangsang karena aku sengaja gairah ketiga pembantu Eliza itu hingga mereka memperkosaku ramai ramai. Seperti yang pernah dikatakan Eliza padaku, it’s just sex, not love. Memang sebenarnya aku sempat berkenalan dengan kokonya Eliza, yang membuatku kembali dilanda bunga asmara. Hengky, begitu tampan meskipun tidak begitu atletis. Aku suka senyuman malu malu dari Hengky saat berkenalan denganku. Perkenalan itu membuatku sering bermimpi indah. Tapi aku tak mau berharap banyak sungguhpun aku tahu kalau Eliza sendiri yang ingin aku jadi kekasih kokonya. Bagaimana kelak reaksi Hengky kalau tahu aku ini sudah bukan perawan suci, apalagi kalau ia sampai tahu aku sudah terlanjur ketagihan merasakan nikmatnya ngeseks dengan ketiga pejantan yang ada di rumahnya? Apa ia masih tetap mau berdekatan denganku? Demikian sekilas tentang diriku dan ini awal petualangan seks dalam hidupku yang akan kujalani.
-x-

II. Sepulang Kuliah

15 Mei 2008 - Hari itu kuliah terasa membosankan. Aku tak bisa konsentrasi dalam ruang kuliah. Gurauan Siu Sien, teman kuliahku yang duduk di sampingku juga tak begitu kutanggapi. Sekarang ini yang memenuhi kepalaku hanya Eliza, murid lesku yang secantik boneka Barbie. Teringat akan kenakalannya padaku membuatku tanpa sadar tersenyum geli. Ya ampun, apa aku sedang jatuh cinta padanya?
“Baiklah, kuliah kita akhiri sampai di sini dulu. Ingat, minggu depan tugas kelompok ini harus dikumpulan, jangan ada yang terlambat. Selamat siang semuanya”, kata dosenku mengakhiri kuliahnya hari ini.
Mendengar kata tugas, aku agak terkejut, karena memang sejak awal kuliah tadi aku sama sekali tak memperhatikan dosenku. Maka aku menatap Siu Sien yang malah tertawa geli sambil melihatku.
“Ya gitu deh, seharian melamun terus, senyum senyum sendiri, lagi jatuh cinta deh temanku ini. Iya tadi memang ada tugas, Fanny”, kata Siu Sien sambil mencubit kedua pipiku dengan gemas.
“Aduh… sakit tau”, aku mengomel manja dan mengusap kedua pipiku.
“Abisnya kamu sih, pakai pasang muka bengong begitu, lucu tau”, kata Siu Sien sambil tertawa geli.
“Jadi beneran nih ada tugas? Ya ampun, tugas apa ya Sien?”, tanyaku mulai panik.
“Tugas kelompok Fan, satu kelompok dua orang. Untung ya aku ini baik hati, tadi aku udah daftarin kita sebagai satu kelompok”, kata Siu Sien yang meleletkan lidah padaku.
“Iya iya, makasih ya Sien… kamu memang temanku yang paling baik kok”, kataku sambil tersenyum.
Siu Sien, teman kuliahku yang satu ini adalah teman baikku sejak kami sama sama kuliah pada semester satu. Ia adalah gadis Chinese yang seumur denganku, dengan tinggi badan 157 cm dan berat badan 46 kg. Rambutnya juga lurus panjang sampai sebahu dan selalu tertata indah. Wajah Siu Sien ini begitu cantik, menjadikan Siu Sien sebagai bunga di kampus ini, tapi bukan bunga yang bisa didekati sembarang kumbang, karena sama sepertiku, Siu Sien termasuk golongan mahasiswi high class di kampus ini. Hari ini Siu Sien terlihat imut imut dengan kaus lengan panjangnya yang berwarna putih dan bermotif garis garis merah. Rambut panjangnya yang berwarna sedikit kecoklatan dan tergerai indah itu membuat Siu Sien tampak semakin cantik. Celana jeans yang panjangnya sampai ke lututnya dan sepatu hak tinggi berwarna putih yang menghias kakinya itu mempermanis penampilan Siu Sien.
“Eh… Fan, kamu kok ngeliatin aku seperti itu sih? Naksir ya?”, goda Siu Sien dengan usil.
“Hah? Oh nggak apa apa Sien… abisnya kamu hari ini cantik sekali…  Sien…”, jawabku gelagapan.
Siu Sien menatapku sejenak, lalu ia tersipu malu dan memalingkan wajahnya, sementara aku sendiri makin gugup tak tahu harus berkata apa. Duh, ini pasti gara gara Eliza deh. Jawabanku pun mirip dengan jawaban Eliza ketika ia melakukan hal yang sama terhadapku. Ya ampun, apa aku sudah jadi wanita yang suka pada sesama wanita?
“Kamu juga cantik kok Fan… apalagi hari ini, kamu sexy sekali pakai baju itu”, kata Siu Sien pelan, masih dengan wajahnya yang terpaling dariku.
Mendapat pujian seperti itu dari gadis secantik Siu Sien, perasaanku seperti tersengat listrik. Kalau saja sekarang ini kami sedang berada di kamarku atau di kamar Siu Sien, aku pasti sudah memeluknya, menciumnya atau mungkin aku akan ‘memperkosa’ temanku ini seperti yang dilakukan Eliza terhadapku. Tapi kini aku hanya menunduk dengan jantung yang berdegup kencang. Ya, dulu aku selalu memakai baju yang tertutup, atau kalaupun aku pakai kaus tanpa lengan seperti ini, aku pasti menutup tubuhku dengan sweater ataupun baju lengan panjang. Tapi setelah aku terseret dalam pesta seks bersama Eliza dan tiga pejantan di rumahnya itu, tanpa sadar aku mulai merubah penampilanku. Seperti hari ini, sejak tadi pagi diam diam aku menikmati tatapan penuh gairah dari para mahasiswa di kampusku. Kalau biasanya aku hanya memberikan lipgloss pada bibirku, kini aku merias wajahku dengan memperindah garis kelopak mataku. Rambutku kubiarkan tergerai namun tertata rapi, dan aku memakai gaun putih tanpa lengan yang sexy dan kupadu dengan rok mini berwana merah menyala dan sepatu putih hak tinggi. aku makin percaya diri dengan penampilanku. Agak lama kami berdua terdiam tanpa saling pandang. Hanya tinggal kami berdua di ruangan ini yang sudah kosong dari peserta kuliah yang lain. Perlahan aku memberanikan diri menatap Siu Sien yang masih menunduk malu.

Siu Sien

“Sien, ayo kita makan siang di kafe, sekalian jelasin aku tentang tugas kelompok tadi ya. Aku yang traktir deh”, kataku mengajak Siu Sien turun untuk makan siang.
Siu Sien hanya mengangguk tanpa melihatku, kelihatannya Siu Sien masih malu dengan percakapan kami tadi, membuat jantungku kembali berdegup kencang. Tapi aku mencoba tak memikirkan hal itu, dan kami sama sama merapikan semua barang kami dalam tas kami masing masing. Lalu kami berdua keluar dari ruangan ini dan memang sudah ada satpam yang menunggu untuk mengunci pintu ruangan tempat kami kuliah tadi. Memang ruangan tadi yang terletak di puncak tower ini bukan tempat yang biasa dipakai untuk kuliah, tapi biasanya dipakai untuk seminar dan sejenisnya. Kami terus menuju ke arah lift, ketika handphone di tasku tiba tiba berbunyi. Dan ketika aku membuka handphoneku, aku melihat nama Hengky, kokonya Eliza di layar handphoneku ini.
“Sien, kamu duluan aja ya, nanti aku nyusul. Aku terima telepon dulu, takutnya di lift signalnya buruk”, kataku pada Siu Sien.
“Iya deh, aku tunggu kamu di kafe ya honey”, kata Siu Sien sambil tersenyum manis sekali padaku.
Aku mengangguk dan segera menerima handphoneku, sambil melambai ke arah Siu Sien yang sudah masuk ke dalam lift. Lalu aku menarik nafas panjang, dan mengangkat telepon dari Hengky ini.
“Halo…”, aku menyapa sambil tersenyum senyum sendiri.
“Halo Stefanny… ini Hengky”, terdengar suara Hengky.
“Iya… kenapa Heng?”, tanyaku sambil duduk di kursi tunggu yang ada di depan lorong toilet.
Kami terlibat percakapan ringan, saling menanyakan kabar masing masing. Hengky masih terlalu malu dan canggung untuk mengajakku bercanda. Setelah telepon ini ditutup, aku menghela nafas panjang. Apa betul Hengky tertarik padaku? Dari gelagatnya sih iya. Tapi aku ragu kalau mengingat keadaanku sekarang ini, apa aku masih layak untuk menerima cinta yang tulus dari orang seperti Hengky? Aku menunggu kembalinya lift yang tadi membawa Siu Sien turun. Sebenarnya di tower sepuluh lantai ini ada 3 lift, tapi karena beberapa hal, lift lift itu beroperasi pada lantai yang berbeda beda. Lift yang akan kunaiki ini hanya terbuka di lantai 1, 9 dan 10. akhirnya lift itu kembali ke lantai 10 ini dan pintu itu terbuka menunjukkan lift itu kosong. Aku melangkah masuk dan menekan tombol 1, hendak menyusul Siu Sien yang tadi sudah berkata kalau ia menungguku di cafe. Lift ini turun dan terbuka di lantai 9, dan seorang cleaning service di kampus ini yang aku tak tahu namanya, masuk sambil membawa sebuah kemucing, sehelai kain lap dan sebotol pembersih kaca. Rupanya ia baru saja membersihkan ruangan rektorat yang memang ada di lantai 9. Aku hanya melihatnya sekilas dengan senyuman tipis supaya aku tak dicap sombong, lalu aku kembali melihat ke arah angka angka di panel lift ini. 8, 7, 6, 5 … tiba tiba lift ini tersentak dengan liar lalu berhenti begitu saja.

-x-

III. Di Dalam Lift Yang Macet

“Aaahh…”, aku menjerit ketakutan, bahkan aku hampir menangis membayangkan aku akan mati dibawa lift ini yang akan segera runtuh ke lantai dasar.
“Tenang mbak, lift ini cuma macet seperti kemarin, tidak akan terjadi apa apa. Sebentar permisi mbak, saya mau menelepon petugas yang biasanya menangani gangguan lift”, kata petugas cleaning service itu.
Aku mengangguk dengan gemetar dan melangkah mundur supaya ia bisa memakai semacam intercom yang tersedia di panel lift yang ada di depanku ini. Aku berusaha menenangkan diriku setelah tadi sempat ketakutan setengah mati.
“Mas Jusuf, saya Urip. Ini lift yang kemarin itu, macet lagi mas”
“Lift yang kemarin? Macet di lantai berapa”
“Ini di lantai… lima mas”
“Tapi saya lagi makan siang nih, nanti selesai makan saya langsung ke sana”
“Ooo ya tolong cepat ya mas”
Aku mendengarkan semua percakapan lewat intercom tadi antara tukang cleaning service yang ternyata bernama Urip itu, dengan seseorang yang bernama Jusuf yang kelihatannya adalah tukang reparasi lift di kampusku ini. Duh, berarti aku akan tertahan beberapa lama di dalam lift ini. Kalau saja aku tahu lift ini pernah begini, harusnya tadi aku memilih turun lewat tangga saja. Walaupun aku tahu Siu Sien tadi lewat lift ini dan tidak apa apa, dan aku harus terpisah dari Siu Sien karena telepon dari Hengky tadi, tak ada sedikitpun ada pikiran dariku untuk merasa kesal pada Hengky. Mungkin karena aku memang sudah jatuh hati padanya. Dan kini aku hanya diam menahan sebal pada Urip sambil bergeser ke arah kiri. Bukannya aku ini orang yang tak tahu terima kasih pada Urip yang sudah menenangkanku tadi, tapi setelah beberapa saat lamanya berdiri di belakang Urip, bau badannya yang cukup menyengat hidungku ini membuatku tak nyaman, memaksaku mencari posisi dimana udara segar dalam lift ini yang masih tersisa.
“Tenang saja mbak. Intercom tadi terhubung ke ruang petugas lift. Memang akan agak lama soalnya dia masih makan siang, tapi  dia pasti datang kok”, kata Urip yang berusaha membuatku tenang.
Baik juga orang ini, padahal wajahnya begitu buruk. Sepintas orang ini mirip seperti Boneng, tokoh film Indonesia yang terkenal dengan giginya yang tongos. Badannya juga kurus dan tak terlalu tinggi.
“Terima kasih pak, tadi itu saya takut setengah mati”, kataku sambil tersenyum padanya.
“Sama sama mbak”, kata Urip singkat.
“Pak Urip kok bisa tahu cara menghubungi petugas lift ini?”, tanyaku heran.
“Ini mbak, kan ada catatan di bawah interkom ini bagaimana kalau terjadi gangguan lift”, jawab Urip.
Aku baru kali ini memperhatikan tulisan tulisan yang selama ini kukira tidak berguna itu. Aku tersenyum malu dan menatap Urip dengan rasa terima kasih, tapi entah kenapa ia hanya sekilas melihatku, lalu ia malah menunduk. Eh? Kok seperti reaksi Hengky yang malu malu kalau bertatapan mata denganku? Aku terus memperhatikannya, dan ia masih saja menunduk tanpa berani menatapku. Diam diam aku tertawa geli dalam hati, nih tukang cleaning service naksir aku kali ya? Entahlah, tapi daripada aku mati bosan di dalam lift ini, kupikir ada baiknya aku mengajak dia mengobrol. Lagipula ia terlihat cukup baik di mataku, dan sekalian aku ingin mencari tahu apa betul ia naksir padaku ^^

“Pak Urip udah lama kerja di sini?”, tanyaku basa basi.
“Baru tiga bulan mbak”, jawab Urip yang kini malah terlihat tegang.
Aku makin yakin Urip ini tertarik padaku. Wajar saja sih, walaupun status kami amat berbeda, bagaimanapun juga Urip kan lelaki normal. Seharian ini aku sudah kenyang menerima bermacam macam tatapan dari para mahasiswa di kampusku, entah itu tatapan kagum atas kecantikanku, ataupun tatapan penuh nafsu atas penampilanku yang sexy. Tiba tiba aku teringat bagaimana di malam itu aku menyerah begitu saja, mengesampingkan semua pikiran tentang kehormatanku, dan rela menjadi betina untuk tiga pejantan di rumah Eliza. Hari itu adalah kali kedua aku ngeseks dengan lelaki, dan aku takluk sepenuhnya di tangan Wawan, salah satu pejantan di rumah Eliza yang menyetubuhiku sampai sekitar satu jam hingga aku orgasme tak karuan. Bahkan waktu itu aku sempat memohon mohon pada Wawan supaya tidak berhenti memompa liang vaginaku karena aku masih ingin terus menikmati orgasmeku. Teringat akan semua hal itu, tiba tiba saja gairahku langsung naik begitu saja. Dan sekarang ini aku jadi ingin merasakan hal itu lagi. Akui membayangkan kalau sekarang ini, aku, seorang mahahsiwi high class yang cantik nekat menggoda seorang petugas cleaning service di dalam lift ini, dan kemudian aku akan dipaksa melayaninya. Hitung hitung, anggap saja hal itu sekaligus sebagai balas budi karena bisa dibilang ia adalah penyelamatku. Kalau tak ada dia, tadi itu aku mungkin akan panik tak tahu harus berbuat apa saat lift ini terguncang keras dan berhenti begitu saja, atau bahkan mungkin saja aku pingsan karena ketakutan. Dan kalaupun nanti aku sampai merintih ataupun melenguh sejadi jadinya, aku tak perlu kuatir terdengar dari ruangan di lantai lima ini karena ruangan itu kedap suara, tempat biasanya mahasiswa mahasiswi di kampus kami menonton video. Lagipula petugas yang akan memperbaiki lift ini masih menyelesaikan makan siangnya, jadi kami akan punya banyak waktu di dalam lift ini.

-x-

III. Akibat Bermain Api

Urip

Kini aku menyandarkan tubuhku ke dinding lift, dan aku pura pura terlihat capek.
“Duh… capeknya… Pak Urip, saya nggak tahan kalau terlalu lama berdiri, capek nih. Pak Urip mau nggak pijitin betis kaki saya?”, tanyaku dengan pelan.
“Hah? Ma… mau mbak… memang boleh?”, tanya Urip dengan sedikit tergagap.
“Ya boleh lah pak, kan saya yang minta. Tapi jangan bilang siapa siapa ya pak”, jawabku sambil tersenyum dan menatap Urip dengan pandangan menggoda sambil meletakkan tas milikku di lantai lift ini.
“Iya… iya mbak”, kata Urip cepat seperti tak ingin aku berubah pikiran.
Urip menunduk dan menatap kedua betisku, dan aku jelas melihatnya sedang meneguk ludahnya. Aku tertawa geli dalam hati, melihat Urip yang sudah pasti tak akan bisa menahan godaan yang kuberikan padanya ini. Dan sesaat kemudian memang Urip sudah berlutut di hadapanku hingga kepalanya persis ada di hadapan selangkanganku, dan ia meletakkan semua peralatan yang dibawanya di lantai lift ini.
“Permisi ya mbak”, kata Urip dan kedua tangannya meraih betisku yang menghadap dinding lift ini, dan wajah Urip sampai hampir menempel di rok yang kukenakan ini.
Aku hanya mengangguk tanpa menjawab. Urip pun mulai memijat kedua betisku. Pijatan yang diberikan Urip ternyata memberikan rasa nyaman. Dan bukan cuma itu, sentuhan jemari Urip yang terasa kasar pada kulit tubuhku ini membuatku terangsang, mengingatkanku pada saat saat dimana tubuhku sedang dijarah para pejantan yang membantaiku di rumah Eliza itu. Aku memejamkan mata menikmati semua ini. Ketika aku merasa cukup, aku kembali melanjutkan rencanaku untuk memprovokasi gairah Urip, walaupun aku sadar kalau ini yang kulakukan sekarang ini sama saja dengan bermain api.
“Pak Urip… mijatnya naik ke atas sedikit dong”, kataku di antara desahanku sambil menatap Urip sayu.
Urip menatapku seperti tak percaya, tapi tanpa kusuruh untuk kedua kalinya ia segera menaikkan kedua tangannya menyusup ke dalam rok yang kukenakan. Kini kedua tangan itu mulai memijat kedua pahaku bagian belakang.
“Ooh…”, aku merintih ketika jemari tangan Urip mulai menjarah bagian dalam pahaku.
“Kenapa mbak…”, tanya Urip dengan suara bergetar, jelas sekali gairah si Urip ini terbakar hebat.
“Nggak… nggak apa apa… teruskan aja Rip”, jawabku sambil memejamkan mata erat erat.
Dalam keadaan terangsang seperti ini, aku bahkan sudah lupa memanggil pak pada Urip, aku langsung menyebutkan namanya begitu saja. Pijatan yang kini sudah berubah menjadi belaian dan rabaan ini mulai merambah pangkal pahaku. Aku menggigit bibir, tubuhku bergetar menahan kenikmatan ini. Tapi di luar dugaanku, Urip ini ternyata cukup sopan untuk tidak menyentuh bagian vaginaku yang masih tertutup celana dalam ini. Ia malah mengarahkan tangannya ke belakangku, mencari pantatku.
“Auw…”, aku merintih manja ketika Urip meremas kedua pantatku ini dengan cukup keras.

“Sakit mbak?”, tanya Urip yang menghentikan remasannya sambil menatapku, mungkin ia berusaha memastikan aku tidak keberatan dengan tingkahnya.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum dan menatap Urip sayu. Kini Urip makin berani. Ia berdiri tanpa melepaskan remasannya pada kedua pantatku, membuat rok yang kukenakan ini terangkat dan posisiku seperti sedang dipeluk olehnya. Aku memalingkan mukaku ke samping, agak berdegup juga jantungku ketika melihat wajah Urip yang persis berada di depan wajahku, dan ia menatap mataku seperti ingin menelanjangiku. Akhirnya Urip puas juga meremasi pantatku. Dan tanpa membiarkan ujung rok yang kukenakan ini jatuh kembali menutup pahaku, Urip meneruskan ‘pijatannya’ pada pinggulku. Tubuhku sedikit menegang ketika aku mulai tak tahan merasakan nikmatnya sentuhan jemari Urip pada pinggulku. Nafasku mulai tak beraturan, dadaku sampai rasanya terguncang ketika aku berusaha mengatur nafasku. Kini sentuhan itu sudah naik ke perutku, lalu punggungku. Rambutku yang tergerai di belakangku ini dibelai oleh Urip dengan lembut, membuatku mulai larut dan melupakan semua perbedaan status di antara kami ini. Apalagi sesaat kemudian tangan tangan itu terus merayap berpindah ke depan dadaku, dan meremasi kedua payudaraku dengan lembut.
“Oooh… sshhh”, aku kembali tak tahan dan mendesah nikmat.
“Mbak… saya boleh cium mbak ya”, tanya Urip dengan penuh harap seperti seorang anak kecil yang meminta mainan.
Aku mengangguk pelan tanpa membuka mata, dan perasaanku seperti tersengat listrik ketika bibir yang tebal dan kasar itu melumat bibirku yang mungil. Tanpa bisa kutahan lagi aku memeluk Urip yang masih terus meremasi kedua payudaraku ini.
“Mmhhh… Rip…”, aku merintih di tengah cumbuan Urip yang amat liar ini
Tubuhku yang tersandar di dinding lift ini beberapa kali menggeliat ketika Urip menguatkan remasannya, tapi aku sama sekali tak berniat meminta Urip untuk menghentikan perbuatannya. Rasa sakit yang mendera kedua payudaraku ini hanya membuatku mendesah karena setiap remasan itu memberikan rasa nikmat yang amat sangat padaku. Urip menghentikan lumatannya pada bibirku, kelihatannya ia sudah puas memagut bibirku. Aku menatap sayu pada Urip yang memandangku dengan penuh nafsu, dan tiba tiba ia membalikkan tubuhku dengan agak kasar hingga aku menghadap dinding lift.
“Akhh…”, aku mengeluh pelan.
Kini aku hanya menggigit bibir ketika kurasakan tangan Urip sudah masuk ke dalam rok yang kukenakan ini. Kedua tangan itu mencari cari celana dalamku, dan begitu menemukannya, celana dalamku ini langsung dilorotkan Urip ke bawah.
“Rip… kamu mau apa… jangan Rip…”, aku sedikit meronta karena takut membayangkan derita yang akan kurasakan kalau Urip menyodomiku.
“Yah… mbak… masa nggak boleh?”, tanya Urip dengan nada memprotes, tanpa melepaskan pegangannya pada kedua pinggulku.
“Aku… aku nggak mau kamu sodomi Rip… aku takut…”, jawabku terus terang.
Aku masih ingat bagaimana sakitnya ketika liang anusku diperawani oleh pak Arifin, sopir Eliza yang ikut serta dalam pesta seks di malam hari itu. Meskipun rasa sakit itu akhirnya berubah menjadi kenikmatan yang luar biasa, aku memilih menghindari merasakan penderitaan itu lagi.
“Nggak kok mbak… saya lebih suka memek kok”, kata Urip cepat seperti berusaha meyakinkanku untuk memperbolehkan dirinya menjarah selangkanganku.

-x-

IV. Awal Deritaku

Aku termenung sesaat, dan tanpa persetujuanku Urip tiba tiba memeluk dan menarik perutku dari belakang dengan cepat, hingga aku reflek menahan dinding lift di depanku ini dengan kedua tanganku supaya kepalaku tak sampai terbentur dinding lift ini. Sebenarnya aku ingin marah, karena tadi itu Urip berlaku kasar terhadapku. Tapi aku diam saja, dan kini aku dalam posisi menungging. Aku menolehkan kepalaku ke belakang dan melihat Urip sudah mulai melepaskan celana panjangnya yang sedikit lusuh itu, berikut dengan celana dalamnya. Duh, bahkan celana dalam orang ini juga dekil sekali, entah bagaimana ia bisa tahan memakai celana dalam seperti itu. Terlihat penis Urip yang panjang dan hitam itu mengacung dengan gagah. Urat urat penisnya itu tercetak tebal, membuatku merasa ngeri tapi juga sekaligus terangsang membayangkan liang vaginaku sebentar lagi harus menelan penis seperti itu.
“Rip… jangan… aku takut…”, aku pura pura merengek sambil menatap Urip, tapi aku sama sekali tak bergerak untuk merubah posisi tubuhku yang menungging ini.
“Saya akan pelan pelan kok mbak, nggak sakit kok”, kata Urip dengan nada memaksa.
Maka aku diam saja dan menunggu dimulainya ‘perkosaan’ terhadap diriku ini. Jantungku berdebar kencang ketika aku merasakan benda tumpul hangat yang pasti adalah kepala penis Urip itu kini sudah menempel di belahan bibir vaginaku.
“Ngghh…”, aku melenguh perlahan ketika Urip mulai melesakkan penisnya membelah liang vaginaku.
Penis itu terus menghunjam memenuhi liang vaginaku. Aku merintih dan mengerang karena Urip mulai menghentakkan tubuhnya hingga penis yang keras itu seperti mengaduk aduk liang vaginaku. Rambutku yang tergerai ini ikut tersentak setiap tubuhku mengejang. Siksaan kenikmatan yang kudapat ini makin menjadi jadi ketika berikutnya Urip memegang perutku dengan kedua tangannya, lalu menarik tubuhku ke arahnya hingga penisnya itu serasa menancap makin dalam saja di liang vaginaku. Keringatku mulai bercucuran, aku sudah tak bisa berpikir jernih karena aku dalam keadaan terangsang hebat. Tangan kananku kuturunkan hingga kini cuma tangan kiriku yang memegang dinding menahan tubuhku yang tersentak sentak ke depan mengikuti irama hentakan si Urip ini. Aku bahkan nyaris tak percaya dengan perbuatanku, ketika aku mengarahkan tanganku ke tangan kanan Urip yang sedang memeluk perutku, kemudian aku menarik tangan itu ke dadaku dan kutempelkan pada payudara kananku. Gilanya, aku bahkan meremas tangan itu hingga payudara kananku teremas oleh tangan Urip.
“Mmmhh…”, aku merintih nikmat.

Berikutnya tanpa kusuruh, tangan kiri Urip sudah meraih payudara kiriku, dan kini sambil terus meremasi kedua payudaraku, Urip terus menghentakkan tubuhnya hingga aku makin melayang dalam kenikmatan ini. Membayangkan seorang cleaning service buruk rupa yang statusnya jauh di bawahku ini menggagahi seorang mahasiswi high class yang cantik sepertiku, tiba tiba perasaanku bergolak, dan liang vaginaku yang terasa begitu ngilu ini mulai berdenyut tak karuan.
“Ngghh… aduuuh…”, aku mendongak dan melenguh kuat kuat.
Tanpa ampun lagi aku mendapatkan orgasmeku, dan kulepaskan tanpa kutahan tahan lagi. Aku amat menikmati rasa ngilu akibat kejangnya otot otot di perutku dan di liang vaginaku ini, apalagi penis Urip terus mengaduk aduk cairan cintaku di dalam sana. Tubuhku sampai tersentak sentak di luar kendaliku, kedua betisku juga mengejang sampai rasanya seperti kram.
“Ngghhk… angghhh…”, aku terus melenguh tak karuan sedangkan Urip belum ada tanda tanda akan berejakulasi.
Orgasme yang melandaku ini tentu saja tak mereda sama sekali selama liang vaginaku terus diaduk oleh Urip. Aku mulai lemas, keringatku bercucuran makin banyak, entah sudah sebasah apa bajuku sekarang ini. Suara rintihanku sudah nyaris tak keluar sama sekali, kini aku hanya bisa berjuang supaya tubuhku tetap tersangga oleh tanganku yang masih berpegangan pada dinding lift ini. ‘Sreek…’, terdengar suara dari sesuatu yang bergeser di atasku, membuat jantungku serasa berhenti karena kupikir ada sesuatu lagi dengan lift ini. Urip sendiri juga menghentikan aksinya menggenjot tubuhku, dan ketika aku melihat ke atas, aku kembali terkejut. Atap lift ini terbuka, dan seseorang sedang melihat pemandangan kontras di dalam lift ini dengan wajah melongo seperti tak percaya.
“Woi… mas Urip iki ngeseks kok nggak ngajak ngajak, ikut ikut!!”, orang itu mengomel sambil terus melihatku dengan penuh nafsu.
“Ayo aja mas Jusuf, tapi memeknya mbak ini jatahku lho”, kata Urip seolah aku ini adalah barang miliknya yang bisa diperlakukannya dengan sesuka hati.
“Beres mas Urip”, kata orang yang ternyata tukang reparasi lift dan bernama Jusuf itu, yang kemudian dengan cekatan ia turun dari atap lift yang langsung ditutupnya, dan ia segera bergabung mengeroyokku.
Oh… habislah aku. Tadinya aku berharap aku sudah berhasil memuaskan Urip sebelum Jusuf ini datang, tapi ternyata Urip cukup perkasa dan belum juga berejakulasi sejak tadi, padahal ia sudah berhasil memaksaku untuk berorgasme cukup lama. Kini belum lagi aku berhasil menaklukkan Urip, sudah bergabung lagi satu pejantan, dengan pandangan matanya yang seperti ingin melahap tubuhku bulat bulat. Tapi tanpa melihat sorot matanya ataupun menunggu ia berkata apapun aku sudah tahu Jusuf ini pasti akan memaksaku memberinya jatah di dalam lift ini. Aku hanya bisa mengeluh dalam hati, jangan jangan aku akan mati orgasme di dalam lift ini. Kini aku mencoba menguatkan diri, berusaha melewati satu atau dua lagi sesi perkosaan yang pasti akan menimpaku.

-x-
V. Diperkosa Dua Pejantan

Jusuf yang sudah berdiri di lantai lift ini mulai sibuk melepaskan baju seragam berikut celananya, tentu saja juga celana dalamnya. Sedangkan Urip kembali melanjutkan aksinya menggenjot tubuhku setelah tadi sempat terhenti, membuatku kembali didera nikmat. Di tengah hentakan hentakan ini, aku sempat berusaha memperhatikan Jusuf, pejantan kedua yang beruntung menikmati tubuhku hari ini. Jusuf memiliki tubuh yang pendek untuk ukuran seorang pria dewasa. Badannya tidak besar dan sama sekali tidak berotot, sedangkan perutnya sedikit buncit. Dengan bentuk kumisnya yang aneh seperti persegi panjang, juga bentuk kepalanya yang aneh karena bagian atas belakang kepalanya sedikit menonjol ke belakang, juga kaca matanya yang old fashioned alias kuno, Jusuf ini benar benar buruk rupa dan bentuk badannya menyedihkan. Apalagi ketika aku melihat penisnya, rasanya aku ingin tertawa saja. Penis itu begitu mungil, padahal terlihat tegang mengacung. Mungkin sesuai dengan tinggi badannya yang pendek itu, penis yang sudah ereksi itu hanya berukuran sekitar 9 cm. Dan diameter penis itu juga kecil sekali, mungkin hanya 3 cm lebih sedikit. Jangan jangan, Jusuf ini seperti wali kelas Eliza, yang menurut Eliza mungkin impoten itu. Percuma dong ia datang bergabung, hanya buang buang waktu saja. Lho? Kok aku bisa bisanya sih berpikir seperti itu?? Harusnya kan aku ini bersyukur kalau sampai si Jusuf ini impoten. Bukankah itu berarti tugasku jadi semakin ringan karena aku hanya perlu bertahan dari hentakan penis Urip? Entahlah, aku sendiri juga tak mengerti apa yang terjadi pada diriku sekarang ini.
“Mas Urip, ke situ ke situ… nah sudah cukup”, kata Jusuf memberi perintah pada Urip, dan kini posisi tubuhku tidak lagi lurus menghadap ke dinding, melainkan agak miring ke arah ujung dinding, menghadap Jusuf yang kini punya cukup ruang untuk berdiri di depanku.
Setelah Jusuf siap untuk ikut mengeroyokku, ia menarik gaun putih tanpa lengan yang kukenakan ini hingga tinggal bra berwarna putih yang menutup bagian atas tubuhku. Tanpa ampun Jusuf membetot bagian tali bra yang terkait di belakang punggungku ini hingga putus.
“Pak!! Apa apaan sih? Dasar kampungan, nggak bisa ya halus sedikit?”, aku membentaknya dengan kesal.
“Diam mbak amoy! Jangan banyak bicara! Cepat urus ini”, Jusuf membentakku balik sambil mengarahkan penisnya yang mengacung itu ke hadapan wajahku tepat di depan mulutku.
Aku sangat kesal dan ingin memarahi kunyuk kampungan tak tahu diri bernama Jusuf ini. Seenaknya saja ia merusakkan braku, dan memanggilku dengan sebutan yang norak sekali. Tapi belum sempat aku berbuat ataupun berkata apa apa lagi, tiba tiba tangan Jusuf sudah meraih dan menarik kepalaku ke arah selangkangannya, hingga penisnya yang mungil itu menempel di bibirku. Dengan bersemangat atau lebih tepatnya penuh nafsu, Jusuf terus menekan nekan kepalaku ke arah selangkangannya hingga mau tak mau ujung penis itu menempel nempel pada beberapa permukaan bibirku, dan lagi baunya yang sedikit pesing dan amis itu membuatku mual. Tak tahan dengan semua itu, dengan terpaksa aku membuka bibirku membiarkan penis itu melesak masuk ke dalam mulutku untuk mengurangi penderitaan hidungku. Aku mengoral penis itu dengan seadanya, masih kesal rasanya kalau aku teringat akan keadaan bra milikku yang sudah tak bisa kupakai lagi itu.

Jusuf

“Wah kulit mbak amoy ini putih sekali… dan mulus sekali”, puji Jusuf yang membelai kulit punggungku, membuatku menggigil antara geli dan terangsang.
Kini aku mulai berpikir, seandainya aku hanya setengah hati seperti ini dalam mengulum penis mungil Jusuf yang ternyata cukup keras ini, Jusufnya yang keenakan karena mendapatkan kesempatan untuk berlama lama membenamkan penisnya dalam kuluman mulutku ini. Selain itu, nanti perkosaan ini malah jadi tidak selesai selesai dan membuatku menderita lebih lama lagi. Maka dengan berat hati aku mulai memberikan servis oral terbaikku. Penis itu kujilat memutar dan kukulum, sesekali ujung penis itu kusedot dan kucucup dengan kuat hingga pemilknya menggelinjang keenakan.
“Arrgh… iya gitu pinter mbak amoy… oooh enaaak…”, Jusuf meracau tak karuan sambil kedua tangannya menyusup dari kanan dan kiri tubuhku ke bawah, mencari dan meremasi kedua payudaraku yang tergantung pasrah ini.
Sialan, bisa bisanya ia masih mengingat payudaraku. Kalau aku dalam keadaan normal, jangan mimpi lelaki seperti Jusuf ini (dan tentu saja juga Urip) bisa menjarah tubuhku seperti ini. Jangankan menikmati tubuhku, menyentuhku saja sudah merupakan kesempatan yang tak mungkin bisa mereka dapatkan. Tapi semua ini bisa terjadi karena entah kenapa tiba tiba saja aku tadi terbakar gairahku yang mendadak naik tanpa alasan yang jelas. Maka semua ini harus kuterima, dan aku tak bisa berbuat apa apa selain meneruskan servis oral yang diminta Jusuf.
“Mmmhh… mmhhh…”, aku merintih rintih karena penis Urip itu mengaduk liang vaginaku dengan gencar dan sepertinya aku akan segera orgasme lagi.
“Iya… sedot terus mbak amoooy…”, erang Jusuf, yang diluar dugaanku ia sudah mencapai puncaknya.
Penis itu berkedut keras di dalam mulutku, sementara tubuh pemiliknya berkelojotan tak karuan. Sekitar tiga atau empat semburan cairan sperma dari penis itu memenuhi rongga mulutku, membuatku nyaris tersedak. Dan Jusuf dengan kejam menekan kepalaku makin dalam ke arah selangkangannya, hingga hidungku nyaris tersumbat bulu kemaluannya yang keriting itu.
“Telan semuanya mbak, jangan mengotori lantai lift!”, perintah Jusuf padaku seperti memerintah budaknya saja.
Dasar kunyuk tak tahu diri! Dengan kesal aku terpaksa menelan semua sperma dari Jusuf ini. Rasanya tidak enak, sedikit asam dan sangat amis seperti rasa putih telur ayam yang masih mentah. Aku ingat rasa sperma milik pembantu pembantu Eliza itu masih jauh lebih enak. Tapi aku tak punya pilihan lain dan berusaha menghabiskan campuran air ludahku dan sperma Jusuf yang menggenangi rongga mulutku ini. Begitu banyaknya cairan yang mengisi rongga mulutku ini, sampai sampai aku membutuhkan empat kali tegukan untuk menghabiskan semuanya. Mungkin ada sebagian cairan dari mulutku yang mengalir keluar karena tadi itu benar benar tak muat dalam mulutku. Tapi aku tak punya waktu untuk memikirkan hal itu. Begitu Jusuf menarik penisnya keluar dari mulutku, Urip juga menarik lepas penisnya dari jepitan liang vaginaku, lalu ia menarik kedua tanganku ke belakang dan membuatku berdiri tegak seperti sedang memamerkan kedua payudaraku ini di depan Jusuf.

“Rip… jangan…”, aku memprotes ketika tiba tiba Urip memeluk tubuhku dari belakang, dan kedua tangannya berkerja cepat meloloskan sabuk yang melilit tubuhku, dan tanpa berkata apa apa ia langsung melorotkan rok yang kukenakan hingga kini aku hanya tinggal memakai sepatu saja.
“Wow… memek mahasiswi amoy… akhirnya liat juga nih”, kata Jusuf yang sudah terduduk lemas setelah kuoral sampai ejakulasi itu sambil menatap vaginaku yang terpajang tepat di depan matanya.
“Bagus gak mas Jusuf?”, tanya Urip dengan kurang ajar.
“Te o pe lah”, kata Jusuf sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.
Risih juga aku ketika selangkanganku yang sudah polos ini ditatap begitu rupa oleh Jusuf. Tapi tak ada yang bisa kulakukan untuk menutup selangkanganku, karena kedua tanganku sudah dipegang oleh Urip.
“Rip, kamu jangan kasar dong… sakit nih”, aku mengeluh karena Urip menarik tanganku ke belakang dengan kuat.
Urip tidak menjawab dan langsung membalikkan badanku yang sudah telanjang bulat ini hingga berhadapan dengannya. Sejenak Urip melotot memandangi tubuhku yang indah ini, kemudian ia mendorongku hingga aku tersandar di dinding lift. Aku tak bisa melawan ketika Urip dengan seenaknya meraih kaki kiriku dan menariknya ke atas. Aku hanya berpijak pada kaki kananku, sementara kaki kiriku yang sudah terangkat dan tertekuk di samping tubuhku ini tergantung lemas di lengan bawah Urip. Kemudian Urip merapatkan tubuhnya pada tubuhku, dan kurasakan ujung penisnya kembali menyentuh bibir vaginaku.
“Mbak ini cantik sekali…”, desah Urip yang menatapku dengan penuh nafsu.
Aku memalingkan wajahku. Jengah mendengar pujian yang sebenarnya sudah sering kudengar itu. Siapa sih wanita yang tak suka dipuji kecantikannya? Apalagi kini aku merasa sexy sekali, membayangkan diriku yang telanjang bulat dan hanya mengenakan sepatu ini akan segera diperkosa dalam posisi berdiri seperti ini. Selagi perasaanku berkecamuk, Urip sudah melesakkan penisnya membelah liang vaginaku.
“Ngghh…”, aku melenguh dan menggeliat perlahan agar liang vaginaku terasa lebih nyaman.
“Enak ya mbak?”, tanya Urip cengengesan.
Aku tak ingin menjawab, tapi tubuhku terlalu jujur dan terus menggeliat mengekspresikan kenikmatan yang kurasakan. Mataku terpejam erat selagi penis itu kembali memompa liang vaginaku.

Aku merintih perlahan ketika gairahku naik kembali dengan cepat ketika Urip menambah rangsangan yang kuterima ini dengan meremasi payudara kananku menggunakan tangan kirinya. Kedua tanganku yang bebas ini tergantung lemas begitu saja seperti tak ada tenaga yang bisa kupakai untuk menggerakkannya. Urip terus menggenjot tubuhku dengan gencar. Aku merasa seperti sedang terombang ambing di sebuah perahu dengan sebuah penis yang mengaduk liang vaginaku tanpa henti. Tiba tiba Urip menghentikan remasan tangan kirinya pada payudaraku, dan berikutnya tangan kirinya itu meraih dan menolehkan wajahku hingga kami saling bertatapan dengan begitu dekat.
“Mmmhh…”, aku merintih tertahan ketika Urip memagut bibirku.
Karena semakin larut dalam gairah ini, aku mengalungkan kedua lenganku di leher Urip dan dan memeluknya begitu saja. Sodokan penis Urip di selangkanganku makin gencar, dan kurasakan nafas Urip sudah mulai mendengus tak karuan.
“Oooh… errrghh…”, Urip melepaskan pagutannya pada bibirku dan langsung menggeram.
“Aaah…”, aku merintih ketika merasakan semprotan sperma yang hangat di dalam liang vaginaku.
Sialan si Urip ini, mengeluarkan benihnya dalam rahimku tanpa minta ijin dulu. Untung sejak aku terlibat pesta seks di rumah Eliza, aku rutin minum pil anti hamil setiap pagi selagi aku dalam masa subur. Maka aku diam saja memandangi tubuh Urip yang terus berkelojotan, bahkan aku sempat melihat bola matanya sampai terbalik dan hanya terlihat putihnya saja ketika ia seperti sedang berusaha menyemprotkan semua sisa spermanya ke dalam rahimku. Memang aku merasakan semprotan sperma Urip sampai berkali kali di dalam sana, mungkin karena ia sudah begitu lama tidak ngeseks, dan kini ia berkesempatan melampiaskan nafsunya secara total pada seorang mahasiswi Chinese yang cantik dan menggairahkan sepertiku. Tapi aku? Walaupun semprotan sperma itu mendatangkan rasa nyaman, tapi aku terdiam dalam kecewa, Kalau saja Urip mampu sedikit lebih lama menggagahiku, mungkin aku juga mendapatkan orgasmeku. Dan aku melorot terduduk lemas di lantai lift ini ketika Urip mencabut penisnya dari selangkanganku.

-x-
VI. Kenikmatan Yang Menyiksa

“Gimana rasanya mas Urip, memek mbak amoy ini?”, tanya Jusuf pada Urip dengan begitu vulgar tanpa sungkan sedikitpun terhadapku.
“Oohh… uenak mas Jusuf… kontol ini rasanya seperti dijepit dan dipijit pijit”, jawab Urip dengan puas dan berbaring begitu saja di lantai lift ini, sambil dengan seenaknya menceritakan bagaimana tadi ia merasakan nikmatnya liang vaginaku.
Sadar betapa diriku jadi bahan pembicaraan porno mereka, aku hanya menunduk malu. Gairahku masih cukup tinggi, tapi aku berusaha tak memikirkannya. Aku mengambil tasku yang tergeletak tepat di sampingku ini, mengeluarkan satu pak tissue kecil. Tanpa memperdulikan mereka berdua yang masih membahas nikmatnya tubuhku, aku mulai menyeka bibir vaginaku yang belepotan dengan sperma Urip. Diam diam aku berpikir. Tiga pejantan di rumah Eliza itu mengakui kalau mereka ketagihan dengan rapatnya otot liang vaginaku, lalu Urip ini yang baru saja ngeseks denganku ini juga melontarkan pujian cabul padaku tentang nikmatnya liang vaginaku. Lalu, kenapa Melvin malah meninggalkanku setelah ia memperawaniku? Sialan, ngapain juga aku mikirin manusia jahat itu? Aku segera berusaha keras mengusir bayangan Melvin dari pikiranku dan terus membersihkan bibir vaginaku dan juga sebagian liang vaginaku, lalu aku membungkus tissue yang penuh dengan sperma ini dengan tissue lain. Setelah selesai, aku menaruh gumpalan tissue ini dalam satu kantung kresek kecil berwarna hitam yang memang selalu kusediakan dalam tasku, yang biasanya kupakai berjaga jaga jika aku harus membuang tampon yang kupakai saat aku mens. Dan entah apa aku harus berterima kasih pada Urip yang membuyarkan lamunanku dengan mulai menggerayangi tubuhku.
“Aduh… Rip, belum puas juga ya kamu”, aku pura pura mengomel sambil menepis kedua tangan Urip yang mulai meremasi kedua payudaraku ini.
“Ya belum lah mbak”, jawab Urip yang terus menatap ke arah dadaku seperti ingin membawa kedua payudaraku ini pulang ke rumahnya saja.
“Kenapa sih kok lihat lihat?”, aku kembali pura pura mengomel dan dengan usil aku menggerakkan kedua tanganku hingga menyilang di depan dadaku, menutup kedua puting payudaraku dari padangan Urip.
Akibatnya seperti yang kuduga, Urip menjadi liar dan memaksa untuk menguasai tubuhku. Ia menubruk tubuhku hingga aku harus terbaring di lantai lift ini di bawah tindihan Urip. Kedua pergelangan tanganku langsung dicengkeramnya dengan erat dan direntangkannya lebar lebar di sisi tubuhku hingga aku menggigit bibir menahan sakit. Urip mulai menyusu pada puting payudara kiriku dengan sangat bernafsu, sementara aku mendesah desah tak mampu menahan gejolak gairah tubuhku. Selagi Urip menyusu dengan bersemangat pada puting payudara kiriku ini, sebuah kuluman pada puting payudara kananku ini mengingatkanku akan keberadaan si impotent Jusuf. Kini mereka berdua kembali mengeroyokku dan aku semakin melayang ke awang awang. Tubuhku mengejang tak karuan dicumbui oleh mereka berdua, dan ketika gairahku semakin memuncak, handphone di dalam tasku berbunyi.

“Oooh… Rip… lepaskan tanganku… aku ada telepon…”, aku merintih lemah.
Urip membebaskan cengkeraman tangannya pada kedua pergelangan tanganku. Dalam keadaan terbaring aku segera menggapai tasku dan mencari handphoneku. Setelah kudapatkan aku segera membaca layar handphone itu, ternyata Siu Sien yang meneleponku. Oh, ia pasti mencariku karena aku tidak segera menyusul ke kafe. Celaka, kenapa ia meneleponku pada saat saat seperti ini? Dengan panik aku menggunakan tangan kiriku untuk menekan kepala Jusuf untuk menghentikan aksi sibuk menyusu pada puting payudara kananku. Aku tak berani membayangkan bagaimana kalau sampai aku mendesah dan merintih saat menerima telepon dari Siu Sien ini.
“Halo Sien…”, aku menyapa Siu Sien.
“Fanny… kamu ngapain aja kok nggak ke sini, aku udah lapar nih”, Siu Sien langsung mengomel.
Ketika aku akan menjawab, aku menggigit bibir menahan suara desahanku karena si Jusuf sialan ini dengan tak tahu dirinya kembali berusaha menyusu pada puting payudara kananku. Aku kembali mencoba mengusir Jusuf dengan cara yang sama, yaitu menekankan tangan kiriku ke kepalanya, tapi tiba tiba Urip mencengkeram dan menahan pergelangan tangan kiriku kembali di lantai lift ini. Dan berikutnya ia juga kembali menyusu pada puting payudara kiriku. Lengkap sudah penderitaanku, kini aku harus mati matian berjuang agar aku tidak mendesah dalam kenikmatan. Selain itu aku harus berusaha agar suaraku terdengar wajar oleh Siu Sien.
“Fan… haloo?”, panggil Siu Sien dari seberang sana.
“Oh… i… iya Sien… ini liftnya macet Sien, masih nunggu dibenerin…”, kataku dengan lemah.
“Hah? Liftnya macet? Kamu udah hubungin petugasnya Fan?”, tanya Siu Sien cepat.
“Sudah kok Sien… ini petugasnya… lagi benerin…”, jawabku sambil menggigil.
Mereka berdua benar benar tak mau memberiku kesempatan untuk berbicara di handphoneku dengan benar. Kini puting payudara kiriku yang digigit gigit oleh Jusuf memberikan sensasi tersendiri bagiku, sementara Urip yang menambah siksaan kenikmatan pada payudara kananku ini dengan meremas bukit payudara kananku kuat kuat. Aku sama sekali tak berani merintih ataupun mendesah, sekuat tenaga aku berusaha bertahan. Tak ada yang bisa kulakukan selain menggigil dan menggeliat, karena tangan kananku harus menahan handphoneku pada telinga kananku, sedangkan pergelangan tangan kiriku tertahan erat di lantai lift oleh cengkeraman tangan Urip. 
“Fan… kamu nggak apa apa?”, tanya Siu Sien ragu.
“Aku… nggak apa apa…”, jawabku dengan lemah, karena aku takut suaraku terdengar bergetar.
“Serius nggak apa apa Fan? Kamu kok seperti lagi diperkosa sih? Sama siapa nih dalam lift? Hati hati lho Fan, kamu itu cantik lho. Aku aja kalau terkunci di dalam lift sama kamu berdua, bisa bisa kamu kuperkosa tau… hihihi”, goda Siu Sien sambil tertawa geli.
“Sieen… kamu jahat… aku lagi sakit perut…”, aku merengek malu dan mencoba mencari alasan untuk menyelamatkan mukaku, tapi kata kataku kembali terhenti karena aku harus menggigit bibir menahan nikmat ketika Jusuf dengan kejam mencucup puting payudara kananku kuat kuat.

Tampaknya sebentar lagi aku harus menyerah di tangan mereka, karena kini aku merasakan sentuhan dua jari tangan dari mereka berdua ini pada selangkanganku. Entah bagaimana kalau Siu Sien tahu…Dan ketika bibir vaginaku tersentuh jari jari yang nakal itu, tubuhku langsung mengejang hebat dan aku sudah hampir tak bisa menahan diriku untuk melenguh melepaskan gejolak yang melanda tubuhku ini. Aku menatap Urip dan Jusuf dengan memelas sambil menggeleng gelengkan kepalaku tanpa berkata apapun. Seharusnya mereka tahu kalau aku memohon mereka menghentikan semua ini, paling tidak sampai aku selesai menjawab telepon Siu Sien. Tapi mereka dengan kurang ajar malah mengangguk padaku sambil tersenyum mesum. Dan berikutnya, tanpa belas kasihan sama sekali mereka berdua berebut mencelupkan jari telunjuk mereka itu ke dalam liang vaginaku, membuaku menggeliat tak karuan dan pinggangku melengkung sexy.
 “Ngghh… aduuuh…”, akhirnya aku melenguh dan merintih.
“Fan… kamu sampai segitu sakitnya?”, tanya Siu Sien, kali ini suaranya terdengar iba.
“Engghh… iya Sien… udah aku tutup dulu ya Sien…”, kataku di antara lenguhanku, dan tanpa menunggu Siu Sien mengiyakan atau masih ingin mengajakku bicara, aku memencet tombol end call secepatnya.
“Ennghhh… angghhhk…”, aku melenguh sejadi jadinya meneriakkan nikmatnya orgasme yang melandaku.
“Wah mbak amoy, becek amat nih”, kata Jusuf sok heran, tapi ia masih saja mengaduk aduk liang vaginaku.
“Amoy sih dimana mana becek Mas Jusuf”, Urip menimpali sambil terus membantu Jusuf memperkosa liang vaginaku dengan jari tangannya itu hingga cairan cintaku terus membanjir, bahkan sampai menyemprot berulang kali seperti membawa semua tenagaku pergi.
“Aduuuh… ngghh… sudahh… angghhkk… ampuuun…”, aku melenguh lenguh tak karuan dan memohon mohon sambil terus menggelinjang merasakan dua jari itu terus bekerja sama mengorek seluruh bagian dinding liang vaginaku hingga orgasme ini terus menyiksaku.
Perutku sudah kram karena otot perutku terus berkontraksi sejak aku orgasme tadi, dan orgasme yang menderaku ini malah makin menjadi jadi. Liang vaginaku ini serasa hampir lepas dari tempatnya, rasanya ngilu sekali. Pinggangku seperti mau patah, dan kedua betisku terus melejang tak karuan tak kuasa menerima siksaan kenikmatan ini. Akhirnya aku terlalu lemas untuk merintih lagi. Tangan kananku yang masih memegang handphoneku tak bisa kugerakkan karena handphoneku itu jadi terasa begitu berat, bahkan aku sudah nyaris tak punya tenaga untuk menggeliat ataupun mengejang. Kini aku hanya bisa terbaring lemas, menatap sayu dan memohon belas kasihan pada mereka berdua yang masih asyik menjarah tubuhku, menyusu pada kedua payudaraku sambil terus memperkosa liang vaginaku dengan jari jari tangan mereka itu. Nafasku sudah tinggal satu satu dan keringatku membanjir membasahi sekujur tubuhku ini. Entah sampai kapan mereka tega menyiksa diriku dalam kenikmatan ini, dan pandangan mataku mulai berkunang kunang.

-x-
VII. Setelah Lift Diperbaiki

“Wah… pegal juga nih jariku dari tadi begini terus”, tiba tiba Urip mengeluh sambil menarik jarinya yang tercelup di dalam liang vaginaku.
Jusuf masih meneruskan aksinya mengaduk aduk liang vaginaku ketika Urip melepaskan cengkeraman tangan kanannya pada pergelangan tangan kiriku. Kini Urip duduk selonjor di sampingku. Sempat aku melihat ke arah penisnya Urip, yang ternyata masih belum pulih.
“Mbak, sudah kangen ya sama ini?”, tiba tiba aku mendengar suara Urip dan kulihat jari telunjuk Urip menunjuk ke arah penisnya itu.
Aku memalingkan wajahku ke kanan dengan rasa malu yang amat sangat, tapi akibatnya Jusuf makin merajalela menjarah habis tubuhku. Jusuf segera melepaskan kulumannya pada puting payudara kananku lalu ia langsung melumat bibirku yang berada dalam pandangannya. Dan tentu saja payudara kananku ini tak dibiarkannya menganggur. Jusuf langsung meraih dan meremas remas bukit payudara kananku ini dengan kuat. Sementara itu jari tangan kanan Jusuf itu belum puas juga memperkosa liang vaginaku, dan terus bergerak keluar masuk menyiksa liang vaginaku. Bau jengkol yang mungkin adalah menu makan siang dari dari mulut Jusuf yang menyeruak ke hidungku ini menyadarkanku dari segala kenikmatan ini. Aku teringat lift ini adalah satu satunya lift yang menghubungkan lantai dasar dengan lantai 9 dan 10 di atas sana. Kalau Jusuf ini, dan juga Urip, sampai lupa diri dan memperkosaku seharian di sini, kami akan menyusahkan beberapa orang yang ingin ke atas. Maka aku berusaha melepaskan bibirku dari pagutan Jusuf sialan ini dengan sedikit meronta. Karena Jusuf tak mau melepaskan pagutanya, aku berusaha menolehkan wajahku ke kiri hingga pagutannya terlepas.
“Pak… udah… ngghh… kapan mau… benerin lift…”, aku berusaha mengingatkan Jusuf di tengah keadaanku yang hancur hancuran ini.
“Oh iya ya hahaha”, kunyuk ini malah tertawa ngakak, dan tepat di depan telinga kananku lagi sampai rasanya pekak hingga aku memejamkan mataku dengan sebal.
Tapi kini aku bisa bernafas lega karena Jusuf melepaskan diriku, termasuk menarik keluar jarinya yang kurang ajar itu dari jepitan liang vaginaku. Aku terus memejamkan mataku dan mengistirahatkan tubuhku yang tulang tulangnya ini serasa lepas semua dari persendiannya. Pinggangku capai sekali seperti akan patah, belum lagi otot perutku, otot betisku, semuanya kejang dan kaku. Aku terus berusaha mengatur nafasku yang tak beraturan ini. Sekitar lima menit akhirnya kondisiku sudah mulai membaik, walaupun keringatku rasanya masih terus bercucuran. Selain tubuhku yang baru saja dipaksa ‘berolahraga’ sampai aku merasa akan mati karena orgasme, hawa di dalam lift ini juga pengap dan panas sekali.
“Nah selesai. Kalau tombol start ini saya tekan, lift ini sudah bisa berfungsi lagi…”, kata kata Jusuf itu membuatku terkejut dan panik.
“Eh… sebentar… jangan gila kamu ya! Aku kan harus pakai baju dulu!”, aku membentak Jusuf yang cuma cengengesan, untungnya ia tidak meneruskan niatnya dan memandangi tubuhku seperti menikmati saat saat terakhir dapat menonton tubuhku yang telanjang bulat ini,
Aku segera mati matian berusaha berdiri walaupun kakiku gemetar tak karuan. Tanpa memperdulikan tatapan mata dari dua pejantan di dalam lift ini, aku meraih tasku, dan mengambil tissue lagi untuk menyeka selangkanganku yang basah kuyup oleh cairan cintaku.

Setelah aku merasa selangkanganku cukup kering, aku memungut celana dalamku dan memakainya. Ketika aku mengambil braku dan melihat tali tali braku yang putus, aku mendengus kesal dan menatap Urip yang cengengesan. Aku memasukkan bra itu ke dalam tasku, dan aku menghabiskan sisa dari satu pak tissue di dalam tasku untuk menyeka keringat di sekujur tubuhku. Semua tissue kotor itu kukumpulkan dalam tas kresek hitam yang tadi sudah berisi tissue yang penuh dengan sperma dan cairan cintaku itu. Lalu aku langsung memakai gaun putihku dan akhirnya aku mengenakan rok merahku mengakhiri ketelanjanganku. Kini aku tertegun melihat bagian dadaku. Aku menggigit bibir ketika melihat bayangan puting payudaraku yang tercetak jelas pada gaun putihku yang sedikit basah oleh keringatku ini. Untung aku membawa tas yang bisa kudekap di depan dadaku untuk menutupi pemandangan sensual pada dadaku ini di luar nanti. Setelah aku merapikan rambutku sekedarnya supaya tidak terlalu awut awutan, aku kembali menatap Urip yang malah cengar cengir. Ia terus menatap ke arah bukit dadaku.
“Sudah? Puas kan sekarang kamu? Seenaknya saja merusak beha orang”, aku membentak Urip dengan sangat kesal.
“Kalau puas sih masih belum mbak”, jawab Urip yang menatapku dengan kurang ajar.
“Eh… Rip… mau apa kamu?”, tanyaku dengan suara bergetar melihat Urip yang kini mendekatiku.
“Kan tadi saya sudah jawab pertanyaan mbak, saya belum puas. Jadi saya mau main sama mbak satu kali lagi”, kata Urip yang kini sikapnya seperti ingin menelanku bulat bulat dan kedua tangannya terulur hendak menangkapku.
Aku terus mundur dari sergapan Urip dengan ngeri, aku tak ingin dipaksa ngeseks lagi setelah susah payah merapikan diriku seperti ini.
“Saya juga belum puas lho mbak”, tiba tiba suara Jusuf terdengar jelas dan dekat sekali dari telinga kananku, dan kini tubuhku sudah tertahan dari belakang oleh Jusuf, sementara Urip sudah benar benar berada di depanku sampai tubuh kami sudah hampir menempel.
“Jangan… aku nggak mmpphh…”, semua yang ingin kukatakan tak bisa keluar karena bibirku sudah dipagut oleh Urip dengan sangat bernafsu.
Aku berusaha mendorong Urip dengan kedua tanganku, tapi entah Urip yang pastinya sedang terbakar nafsu ini memang terlalu kuat bagiku, atau tenagaku yang sudah hampir habis setelah tubuhku didera orgasme sampai berkali kali seperti tadi, dorongan kedua tanganku ini sama sekali tak ada artinya. Dan keadaanku makin parah ketika Jusuf yang menahan tubuhku dari belakang ini mulai menciumi rambutku. Perlawananku terhadap Urip jadi melemah, bahkan akhirnya aku memejamkan mataku dan kedua tanganku ini tergantung lemas ketika kurasakan rambutku disibak dari belakang dan leher belakangku ini dicumbui oleh Jusuf. Aku sudah pasrah ditenggelamkan dalam lautan birahi di tengah himpitan mereka berdua yang masih telanjang bulat ini.

-x-
VIII. Puncak Penderitaanku

Urip melepaskan pagutannya pada bibirku, lalu tiba tiba ia merenggut celana dalamku dengan kasar hingga terdengar suara robekan kain.
“Aaahhh…”, aku menjerit antara kesal, marah dan takut.
Sekarang aku sudah tak bisa mengenakan semua pakaian dalamku lagi, mungkin hari ini hanya aku satu satunya mahasiswi di kampus ini yang tidak memakai underwear gara gara ulah kurang ajar dari Urip yang merobek semua pakaian dalamku ini. Rasanya aku ingin meluapkan amarahku dengan menampar Urip. Namun aku sadar, dengan dirobeknya celana dalamku ini, berarti ketakutanku tadi tentang aku akan dipaksa ngeseks lagi oleh Urip akan menjadi kenyataan. Dan memang aku melihat Urip sudah bersiap menggagahiku lagi, bahkan saat aku masih berdiri seperti ini. Ia memegang dan mengarahkan penisnya yang sudah mengacung kembali itu hingga menempel pada bibir vaginaku.
“Mbak… tadi sudah kangen kan sama kontolku?”, tanya Urip dengan nafas memburu sambil membuang celana dalamku itu ke pojok ruang lift ini.
Kata kata Urip ini membuatku teringat kalau tadi itu aku sempat terpergok olehnya saat aku sedang memandangi penisnya, padahal aku cuma ingin tahu apakah penisnya Urip itu sudah ‘bangun’ lagi. Aku memalingkan wajahku dengan rasa malu yang amat sangat, ketika Urip mendekapku hingga kepala penisnya itu makin terasa menekan bibir vaginaku. Aku tak bisa mundur selangkahpun dan akhirnya kepala penis Urip mulai membelah liang vaginaku.
“Eh Rip… Tunggu… aku ngghh…”, lagi lagi kata kataku terputus lenguhanku, karena kini Urip sudah melesakkan semua penisnya ke dalam vaginaku dengan sekali hentak.
“Ooohh… nggak… jangan Suf… aku nggak mau kalau di sana…”, aku ketakutan dan memohon pada Jusuf yang tanpa berkata apa apa, tiba tiba sudah menempelkan kepala penisnya pada lubang anusku.
Tapi aku tak berani meronta karena penis Urip sudah memaku liang vaginaku erat erat dan rasanya penuh sekali, apalagi Urip dengan kejam memeluk erat punggungku hingga aku tak bisa ke mana mana lagi.
“Hahahaha… nikmati saja mbak”, Urip tertawa terbahak bahak melihatku begitu panik, bahkan Urip sedikit mengangkat tubuhku ke arahnya hingga pantatku lebih terbuka, memudahkan Jusuf untuk menyerang dan memperkosa liang anusku.
“Aangghkkk…”, aku mengerang panjang ketika penis Jusuf itu terus melesak dan mengisi liang anusku.
Kepalaku sampai terdongak ketika aku mengejang kesakitan. Kini aku disandwich oleh mereka dalam keadaan berdiri seperti ini, dan mereka bekerja sama menyiksa diriku dengan memaju mundurkan tubuh mereka bergantian, hingga kedua liang di selangkanganku ini teraduk aduk tanpa ampun. Meskipun penis Jusuf itu kecil, tapi cukup keras untuk membuatku merasa kesakitan pada liang anusku yang dibobolnya. Kedua tanganku kudorongkan pada dada Urip ketika aku bermaksud meronta dan melepaskan diri, tapi kedua liang di selangkanganku yang terisi penis ini membuat tenagaku ini lenyap entah ke mana. Aku makin menderita ketika Jusuf menyusupkan kedua tangannya dari bawah ketiakku, meraih dan meremasi kedua payudaraku. Apalagi kemudian Jusuf mempercepat genjotannya pada liang anusku hingga aku merasa perutku mulas sekali dan aku jadi sangat ingin mengejan, sedangkan Urip juga menggenjot liang vaginaku dengan sepenuh tenaganya hingga liang vaginaku terasa begitu ngilu.

Tubuhku terhentak ke belakang dan ke depan bergantian seperti daun yang tertiup angin, mengikuti sodokan kedua pemerkosaku ini.
“Hngghhh…”, aku melenguh tanpa daya ketika kurasakan Jusuf menghunjamkan penisnya kuat kuat ke dalam liang anusku, membuatku kembali terdongak kesakitan dan mati matian menahan rasa ingin mengejan ini.
Entah mengapa, tersiksa seperti ini justru membakar gairahku. Liang vaginaku mulai terasa ngilu, demikian juga dengan liang anusku. Tubuhku sudah bergetar hebat, tinggal menunggu siksaan orgasme yang kelihatannya pasti akan segera datang.
“Ngghh… adduuuhh…”, lagi lagi aku harus melenguh ketika Urip melakukan hal yang sama seperti Jusuf dengan menghunjamkan penisnya ke dalam liang vaginaku dengan sepenuh tenaganya.
Remasan kuat dari kedua tangan Jusuf pada kedua payudaraku, dan dua penis yang menancap begitu dalam pada kedua liang di selangkanganku ini memaksaku takluk dan orgasme dengan hebat. Tubuhku mengejang tak karuan, sementara perutku terasa mulas dan kejang, bahkan sampai kram. Cairan cintaku serasa membanjir, bahkan akhirnya aku tak mampu menahan diri untuk mengejan. Untung perutku masih kosong karena tadi pagi aku belum sarapan dan sekarang ini aku belum makan siang, tapi tetap saja, entah sekotor apa penis dari Jusuf sekarang ini. Gilanya, Jusuf sepertinya tidak terganggu, padahal aku sendiri agak mual dengan bau yang mulai menyeruak dalam lift ini. Jusuf bahkan sudah mulai menghentakkan tubuhnya untuk menyiksa liang anusku lagi dan memaksaku terus mengejan. Untung saja baru beberapa detik Jusuf menghunjam hunjamkan penisnya, tiba tiba Jusuf berkelojotan dan melolong lolong.
“Huunnghhh… eeeerrghh…”, Jusuf terus melolong keenakan, dan kurasakan liang anusku tersemprot lahar panas, yang sedikit banyak lumayan meredakan rasa nyeri pada dinding liang anusku.
Tubuhku masih terus tersentak sentak, orgasmeku yang tadi itu belum juga mereda dan Urip masih terus memompa liang vaginaku. Kurasakan penis Jusuf ditarik keluar oleh pemiliknya dari jepitan liang anusku dan selangkanganku jadi sedikit basah karena cairan sperma Jusuf yang tadi memenuhi liang anusku mulai meleleh keluar. Jusuf langsung melorot lemas dan remasan dari kedua tangannya pada kedua payudaraku ini juga terlpeas.

Aku sendiri juga dalam kondisi yang hancur hancuran, dan aku terpaksa mengalungkan tanganku pada leher Urip. Bukan karena mau bermesraan dengannya, tapi karena aku sudah terlalu lemas untuk berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Entah apa yang ada di kepala Urip saat seorang mahasiswi high class seperti aku ini memeluk lehernya, yang jelas Urip langsung dengan percaya diri memeluk pinggangku dan memagut bibirku dengan gaya yang dimesra mesrakan, tanpa mengurangi kecepatan genjotan penisnya pada liang vaginaku. Aku tak ingin Urip berpikir yang tidak tidak, maka aku sama sekali tidak membalas lumatan bibirnya pada bibirku. Aku hanya bisa pasrah membiarkan liang vaginaku teraduk aduk oleh penis Urip, entah sampai kapan Urip akan berejakulasi. Tenagaku memang sudah habis bahkan hanya untuk sekedar merintih.
“Oooghhh… mbaaak…”, Urip melepaskan pagutannya pada bibirku dan ia mengerang ngerang ketika akhirnya penisnya itu berejakulasi.
Semprotan demi semprotan sperma Urip membasahi liang vaginaku yang sudah amat becek oleh cairan cintaku ini. Rasanya hangat dan nyaman, membuat rasa ngilu yang mendera liang vaginaku ini terasa begitu enak. Tubuhku sampai tersentak dan menggeliat beberapa kali merasakan kenikmatan ini. Tapi aku tahu Urip akan segera lemas dan menjatuhkanku, dan aku tahu betapa kotornya selangkanganku sekarang ini, terutama pada bagian anusku. Maka aku melepaskan pelukanku pada leher Urip, dan cepat cepat aku memegang kedua ujung samping dari rok yang kukenakan ini dan mengangkat tinggi tinggi. Tepat seperti dugaanku, begitu Urip menarik lepas penisnya dari jepitan liang vaginaku, ia juga melepaskan pelukannya pada tubuhku hingga aku terhuyung ke belakang, untungnya aku masih bisa bersandar di dinding lift. Kurasakan sperma Urip yang bercampur dengan cairan cintaku keluar dengan deras dari liang vaginaku dan membasahi kedua pahaku. Aku bahkan merasakan cairan cairan itu sampai menyemprot beberapa kali. Untungnya rok ini sudah kuangkat ke atas hingga tidak akan terkotori oleh semua cairan itu. Aku ingat kalau di dalam tasku masih ada tissue sebanyak satu pak kecil, dan juga dua sachet tissue basah. Nanti aku akan membersihkan selangkanganku yang amat kotor ini dengan tissue itu. Kini kami semua terdiam, dan di ruangan lift ini hanya terdengar desahan ataupun dengusan nafas dari kami bertiga yang kelelahan setelah ngeseks sampai dua kali. Terutama aku yang harus pasrah dikeroyok oleh dua pejantan ini, bahkan akhirnya aku harus rela disandwich oleh mereka.

-x-
IX. Merapikan Diri

Beberapa menit kemudian aku merasa tenagaku sudah cukup pulih, dan aku menyelipkan ujung ujung rok yang kukenakan ini dalam lilitan sabuk di pinggangku. Aku tak perduli kalau sekarang ini aku memberi tontonan gratis pada Urip dan Jusuf yang memang terus memperhatikan selangkanganku dengan mata mereka yang melotot seperti hampir keluar. Aku mengambil satu pak tissue biasa dan satu sachet tissue basah dari dalam tasku, lalu aku membuka satu pak tissue itu, dan semua cairan sperma dan cairan cintaku yang mengalir keluar dari liang vaginaku ini kuseka sampai  kering. Kini aku mulai membersihkan liang anusku dengan sedikit merasa ragu karena jijik, tapi aku harus membersihkannya kalau aku tidak mau rok yang kukenakan nanti menjadi kotor dan bau.
“Mbak, mari saya bantu”, kata Urip yang mendekatiku.
“Kamu… mau apa lagi…”, tanyaku dengan panik, walaupun aku sadar kalau sementara ini Urip tak mungkin mampu menggagahiku, penisnya itu pasti masih lemas.
“Saya mau bantu bersihkan mbak”, kata Urip sambil memegang kedua lenganku dan membalikkan tubuhku hingga kini aku menghadap dinding, lalu ia melebarkan rentangan kedua pahaku.
“Ooh…”, aku mengeluh ketika kurasakan cairan dingin menyemprot anusku dan aku menoleh ke arah selangkanganku.
Ternyata Urip menyemprot anusku dengan obat pembersih kaca miliknya itu. Aku tak tahu harus berbuat apa melihat cairan biru itu membasahi anusku dan juga kedua pahaku. Tiba tiba Urip mengambil celana dalam milik Jusuf dan menyeka semua cairan yang membasahi selangkanganku dan juga kedua pahaku.
“Woi mas, kok pakai kancutku?”, protes Jusuf.
“Mas, mesti tanggung jawab dong. Siapa suruh main belakang tadi”, kata Urip tegas.
Diam diam aku tersenyum geli, dan membiarkan Urip membersihkan selangkanganku dan juga kedua pahaku. Setelah Urip selesai, aku memberikan satu sachet tissue basah ini padanya.
“Rip, tolong bersihkan pakai ini sekalian”, kataku pelan.
“Beres mbak”, kata Urip yang kembali mengusap selangkanganku dengan memakai tissue basah itu.
Rasanya nyaman sekali, dan aku merasa kalau kini aku sudah aman menurunkan rok merahku ini. Tapi kurasakan liang vaginaku masih becek, dan ketika kuperhatikan ternyata memang masih ada cairan yang meleleh keluar dari bibir liang vaginaku ini. Duh, mana aku tak bisa memakai celana dalam lagi. Maka aku mengeluarkan satu selongsong tampon yang memang selalu kusediakan dalam tas, untuk berjaga jaga apabila tiba tiba aku mens. Kini aku akan memakai tampon itu untuk menyumbat lelehan cairan cairan dari dalam liang vaginaku.
“Wah, mbak ternyata ke mana mana bawa dildo dalam tas mbak ya? Suka main sendiri toh mbak?”, tanya Urip norak.
“Nggak ya! Ini sama dengan pembalut wanita tau!”, kataku kesal.
Duh, ngapain juga aku menjelaskan ke orang macam Urip ini?

“Rip, tolong tahan kakiku ya”, aku meminta bantuan Urip.
“Tahan bagaimana mbak?”, tanya Urip.
“Aku harus menaikkan kakiku seperti ini nih”, kataku sambil mengangkat dan menekuk kaki kiriku.
“Oooh, itu sih gampang mbak. Tumpangkan saja di sini”, kata Urip yang duduk di depanku sambil menunjuk pundaknya.
Aku diam tak bergerak dan menatap Urip ragu.
“Lho ayo mbak, nggak apa apa kok”, kata Urip dengan serius.
“Tapi…”, aku masih ragu, selain ini rasanya tidak sopan, juga kalau caranya begini Urip akan melihat langsung proses aku memasang tampon ke dalam liang vaginaku.
“Udah ayo mbak, nggak apa apa”, kata Urip lagi sambil meraih pergelangan kaki kiriku dan menumpangkan kakiku yang masih memakai sepatu ini ke pundaknya.
Aku menggigit bibir, dan mulai memasang tamponku. Selongsong tampon ini kujepit erat dengan telunjuk dan ibu jari tangan kananku seperti aku memegang pensil. Lalu telunjuk dan ibu jari tangan kiriku kugunakan untuk membuka bibir vaginaku, dan Urip tidak pernah melepaskan pandangannya dari liang kenikmatanku yang terbuka di depan matanya itu. Dengan sedikit buru buru, aku melesakkan selongsong tampon yang sudah siap dimasukkan ke dalam liang vaginaku ini. Kutekan sampai cukup dalam, lalu bagian tengahnya kutekan hingga tampon yang asli itu masuk seluruhnya dalam liang vaginaku. Selongsong tampon itu sendiri kutarik perlahan hingga lepas dari liang vaginaku, meninggalkan tampon itu tertanam dalam liang vaginaku. Seutas tali benang yang terulur keluar dari dalam liang vaginaku itu kujadikan simpul supaya tak terjuntai sampai terlihat dari luar rok yang kini kuturunkan dari jepitan sabukku. Urip terlihat masih melongo memandang selangkanganku yang sudah tidak telanjang ini.
“Ih… kamu liat apa sih?”, tanyaku menggoda sambil menurunkan kakiku yang tertumpang di pundaknya.
“Liat memek mbak… tadi waktu dimasukin apa itu, cakep kayak orangnya”, puji Urip norak, membuatku tersipu malu.
“Gombal”, kataku pelan.
“Terus yang tadi itu nongkrong di dalam memek mbak sampai kapan?”, tanya Urip sok perhatian.
“Mau tau aja”, kataku sambil meleletkan lidahku.

Urip berdiri dan memandangiku, membuat jantungku berdegup kencang karena kurasakan tatapannya itu begitu aneh.
“Mbak ini cakep sekali. Kalau saja mbak ini pacarku…”, kata Urip seperti menerawang.
Ya, hal itu tidak mungkin. Status kami jauh berbeda, dan aku bisa diusir orang tuaku kalau aku sampai pulang membawa pacar seperti Urip. Apalagi kalau orang tuaku tahu aku sudah pernah ngeseks dengan orang seperti Urip, bisa bisa aku dibunuh oleh orang tuaku.
“Mbak, ciuman dong sebelum kita keluar dari lift”, Urip meminta dengan penuh harap.
Aku mengangguk dan kini malah aku yang memajukan badanku, memeluk dan memagut bibirnya dengan ganas hingga Urip kelabakan. Seperti yang pernah ‘diajarkan’ Eliza padaku, aku melesakkan lidahku masuk ke dalam mulut Urip, dan ternyata Urip cukup pandai untuk menyambut lidahku, menghisap dan memberi gigitan kecil hingga aku larut sepenuhnya dalam ciuman ini. Aku tahu, kelak Urip pasti akan memintaku melayaninya lagi kalau situasi memungkinkan. Tapi aku tak begitu kuatir, toh sebentar lagi aku lulus dari universitas ini.
“Wah wah mesra amat, aku juga mau mbak amoy”, rengek Jusuf yang iri melihat ciuman kami yang amat panas ini.
Kami pun melepas pagutan ini, dan ketika aku melihat Jusuf, ia sudah berpakaian lengkap, tapi celana dalamnya itu ditaruh di kantung celananya. Dalam hati aku berkata, rasain, siapa suruh menyodomi aku di tempat seperti ini.
“Rip, kamu pakai celanamu cepat. Bentar lagi kita kan keluar dari lift”, aku mengingatkan Urip, yang lalu seperti baru ingat untuk memakai celananya.
Dan aku meladeni permintaan Jusuf yang ingin menciumku. Beda sekali dengan Urip dimana aku masih bisa menikmati ciuman kami. Tapi waktu berciuman dengan Jusuf, aku cukup tersiksa. Bau jengkol yang mungkin adalah menu makan siangnya, kembali menyeruak dalam hidungku. Akhirnya pergumulan kami bertiga di dalam lift yang tadinya macet ini sudah selesai. Urip membersihkan lantai dengan pembersih kaca dan kain lap yang dibawanya, menghilangkan semua sisa cairan sperma mereka berdua dan juga cairan cintaku yang tercecer di lantai. Yah, bagus juga sih. Setidaknya bau apek yang memenuhi ruangan lift ini terganti dengan bau harum dari cairan pembersih kaca itu, menghilangkan semua jejak aktivitas seksual dalam lift ini. Tak lupa aku memasukkan celana dalam dan braku ke dalam tasku. Aku sempat melihat jam, sudah hampir satu jam sejak aku terpisah dari Siu Sien. Entah Siu Sien sekarang sedang apa, tapi yang lebih mengkuatirkanku adalah bagaimana situasi saat aku keluar dari lift ini. Jusuf menekan tombol start pada lift ini, dan lift ini langsung bergerak menuju lantai dasar, menuju kebebasanku.

-x-
X. Keluar dari Lift

‘ting’, bunyi dari lift ini mendahului terbukanya pintu lift ini.
Dan aku keluar tanpa berani membalas tatapan dari beberapa orang yang menunggu di depan lift sejak tadi. Entah apa yang ada di pikiran mereka, melihat seorang mahasiswi high class yang cantik seperti diriku terkunci sampai nyaris satu jam di dalam lift bersama seorang cleaning servis. Entah apa mereka juga membayangkan kalau aku bahkan diperkosa oleh petugas lift yang memperbaiki lift itu.
“Fanny, gimana perut kamu? Masih sakit?”, tanya Siu Sien yang tiba tiba sudah ada di hadapanku.
“Eh… iya Sien”, jawabku dengan sedikit gelagapan.
Siu Sien memandangiku seperti heran, entah apa yang dipikirkannya. Aku segera berusaha mengalihkan perhatian Siu Sien sebelum ia curiga akan sesuatu.
“Sien, kamu udah makan?”, tanyaku cepat.
“Belum, aku kan nungguin kamu yang janji mau mentraktir aku?”, jawab Siu Sien.
“Ya ampun… sorry ya Fan… ayo kita ke kafe sekarang”, aku langsung memegang pergelangan tangan Siu Sien dan menariknya ke kafe.
Sampai di sana, kami duduk berhadapan dan segera pesan makanan dan minuman. Lalu Siu Sien yang ternyata sejak tadi memang curiga padaku mulai menanyaiku, dengan suara yang pelan tapi cukup untuk terdengar olehku.
“Fan, tadi kamu terkunci sampai berapa lama di dalam lift?”, tanya Siu Sien.
Aku melihat jam tanganku sekilas, lalu menjawab, “Mmm… nggak tau ya… mungkin sekitar hampir satu jam ya Sien?”.
“Terus, tadi di dalam lift, kamu diapain aja sama mereka?”, tanya Siu Sien lagi.
“Diapan? Apa sih maksudmu Sien? Aku nggak diapa apain kok”, jawabku dengan gugup.
“Masa sih Fan? Kalau kamu nggak diapa apakan, kok kamu sampai lecek seperti ini?”, sekali ini Siu Sien menatapku dengan tajam.
“Nggak kok Sien, sungguh tadi itu tidak ada apa apa di dalam lift”, aku masih mencoba mengelak, tapi aku tak berani menatap wajah Siu Sien dan aku terus menunduk.
“Fanny, rambutmu itu terlalu awut awutan kalau dibandingkan dengan tadi sebelum aku ninggalin kamu di lantai atas. Terus kamu itu keringatan sampai bajumu sebasah itu , dan warna mukamu itu terlalu merah kalau cuma karena kepanasan”, kata Siu Sien menunjuk beberapa ketidak wajaran pada diriku saat ini.
Kata kata Siu Sien membuatku lemas dan bersandar pada kursi di kafe ini sambil mendongakkan kepalaku pasrah, tampaknya aku memang harus mengaku pada temanku ini.
“Dan jangan bilang ini air keringat Fan!”, kata Siu Sien yang tiba tiba berdiri menjangkau rambutku dengan jarinya, dan ia seperti mencolek sesuatu dari bagian kiri rambutku yang terurai kusut di depan dadaku.

Aku melihat jari Siu Sien, dan jantungku serasa berhenti. Ya, itu memang bukan keringat, tapi itu adalah sperma yang sudah hampir mengering! Itu sperma Urip yang pasti terjatuh di rambutku tanpa aku sadari ketika aku tadi harus meneguk sampai empat kali untuk menelan semua sperma Urip yang tersemprot dalam mulutku sampai begitu penuh. Aku menunduk malu, dan dengan lemas aku mengangguk.
“Iya Sien… aku tadi…”, kataku ragu ragu.
Apa aku harus mengaku kalau tadi itu bahkan aku yang mulai menggoda Urip? Memang bagiku tadi itu aku diperkosa oleh Jusuf. Tapi Urip?
“Fan… kamu udah nggak percaya ya sama aku? Aku ini kamu anggap apa? Kok sekarang kamu jadi main rahasia rahasiaan gini sih?”, Siu Sien mengomel dan menatapku dengan kesal.
“Bukan gitu Sien… ini… nanti aku ceritain semuanya sama kamu di dalam mobil aja ya”, kataku pelan sambil menunduk.
Tiba tiba kurasakan kedua tanganku yang kukatupkan di atas meja ini dipegang oleh Siu Sien yang menatapku sambil tersenyum.
“Sorry ya Fan, aku kok jadi lupa kalau ini masih di kafe… abisnya aku kesal sih sama kamu”, kata Siu Sien pelan.
“Aku yang salah Sien… sampai bikin kamu telat makan siang gini”, kataku sambil tersenyum pahit.
“Fan, itu bukan masalah sama sekali buatku. Yang aku masalahkan tadi…”, Siu Sien menghentikan kata katanya dan beranjak mendekatiku.
“Kamu tega bohong padaku. Aku tahu betul kalau kamu jelas baru aja orgasme, tapi kamu masih nggak mau mengaku…”, bisik Siu Sien di telingaku, lalu ia ke wastafel untuk mencuci tangan.
Aku tertunduk malu, tapi juga heran. Siu Sien kok bisa tahu kalau aku baru saja mengalami orgasme?
“Kamu sekarang pasti bingung kan Fan kok aku sampai tahu? Soalnya aku sendiri udah berkali kali ngerasakan gitu Fan”, tiba tiba kudengar bisikan Siu Sien di telingaku lagi, yang ternyata sudah berdiri di sampingku setelah selesai mencuci tangannya.
Aku kini menatap Siu Sien tak percaya. Bagaimana mungkin Siu Sien yang selama ini selalu terlihat alim itu mengaku sudah berkali kali merasakan orgasme?
“Sekarang kita makan aja, nanti aja aku ceritakan semua di mobil. Tapi kamu juga harus cerita soal tadi ya Fan”, kata Siu Sien sambil tersenyum dan duduk di depanku seperti tadi.
Aku mengangguk sambil tersenyum lega karena Siu Sien tidak marah padaku. Makanan dan minuman yang kami pesan akhirnya datang, dan kami dengan cepat menyelesaikan makan siang ini, karena kami berdua memang sudah lapar sekali. Setelah aku membayar bill sesuai janjiku tadi, aku mengikuti Siu Sien ke mobilnya dengan jantung berdegup kencang, karena aku sebentar lagi harus menceritakan semua yang terjadi padaku di dalam lift tadi pada Siu Sien. Dan itu berarti aku pasti juga harus menceritakan pada Siu Sien tentang keperawananku yang sudah hilang oleh Melvin, dan juga kenakalan Eliza, murid lesku yang secantik boneka Barbie itu. Tapi aku sendiri juga sudah tak bisa menunggu untuk mengetahui semua hal tentang Siu Sien yang belum kuketahui…

-x-
XI. Pengakuan

“Jadi memang kalau cleaning service itu, aku yang godain dia. Tapi aku nggak nyangka si petugas reparasi lift itu muncul dan ikut ngeroyok aku tadi Sien”, kataku menutup ceritaku tentang apa yang terjadi di dalam lift tadi.
Siu Sien juga berhasil mengorek lebih dalam sehingga aku akhirnya menceritakan kegilaan di rumah Eliza yang merupakan pelampiasan setelah aku diperawani lalu dicampakkan Melvin. Ia mangut-mangut mendengar ceritaku sambil konsentrasi menyetir.
“Eeemmm Sien, tadi kamu bilang udah berkali-kali merasakan begitu, maksudnya apa Sien?” tanyaku.
“Ehm...itu ya” dia tersenyum, “oke deh, dulu gua kira lu anak baik-baik jadi gua juga ga mau lu ikutan rusak, sekarang gua jujur aja deh!”
Siu Sien pun bercerita bahwa dia adalah mahasiswi panggilan yang biasa menjadi langganan para bos dan eksekutif muda dengan tarif tinggi. Aku terhenyak mendengar pengakuannya, pantas ia bisa membayar untuk kost di tempat yang berkelas dan memiliki mobil ini, ternyata uangnya hasil dari pekerjaan sampingan sebagai mahasiswi plus.
“I did it for money Fan, gua muak hidup susah seperti di kota gua dulu” demikian akunya, “dengan begini gua udah bisa bantuin keluarga gua juga, adik gua yang masih SD bisa masuk sekolah yang mutunya lebih baik dari gua dulu”
“By the way, gua ga pernah kepikir untuk main sama orang-orang kelas bawah kaya mereka hihihi...jijik bayanginnya...tapi setelah denger cerita lu...hhhmmm....sekali-sekali boleh juga tuh Fan”
“Yang bener Sien...masa lu mau?” aku agak kaget mendengarnya.
Kami ngobrol seru sampai kami tiba di rumahku dan aku turun dari mobil. Aku mengira Siu Sien hanya bercanda ketika bilang mau coba untuk itu. Sampai seminggu kemudian ketika aku ke kostnya sambil menunggu jam kuliah berikutnya. Saat itu di sana sedang sepi, tidak jauh di depan kost ada sebuah truk pengangkut gas elpiji. Gerbang kost terbuka seperti biasa dan aku pun masuk ke dalam. Baru saja dari ruang tamu di depan mau menuju dapur kost aku mendengar suara-suara aneh, suara itu seperti lenguhan pria dan desahan wanita yang tertahan. Rasa penasaran menuntunku mengintip melalui jendela dapur dari pekarangan samping. Aku tercekat melihat adegan yang tengah terjadi di dapur kost. Dengan jelas aku melihat Siu Sien bersandar ke meja dapur dan diapit oleh dua pria berseragam tukang gas. Kaos putih tanpa lengan yang dipakai temanku itu sudah tersingkap ke atas sehingga bra-nya yang berwarna biru muda terlihat dan tangan si pria yang satu sedang mengelus-elus buah dadanya dari luar bra. Sementara yang satunya tengah memagut ganas bibirnya sambil merabai tubuh indahnya. Siu Sien memakai celana pendek yang memperlihatkan sepasanga pahanya yang jenjang dan mulus, si pria gemuk yang merabai payudaranya juga mengelus paha indah itu. Sementara tangan Siu Sien juga mengelus-elus selangkangan si pria yang memaguti bibirnya. Menyaksikan adegan seks langsung itu membuat nafsuku perlahan-lahan naik, tanganku tanpa sadar meremas payudaraku sendiri.
 “Aaaahhh…mas…jangan di sini....ke kamar saya aja yuk!” erang Siu Sien.
“Yuk...biar lebih enak!” kata yang memakai topi.
Mereka pun menggiring temanku itu ke kamarnya yang berada dekat dapur dan pintu ditutup. Jantungku berdebar-debar, ada rasa ingin ikut bergabung dengan mereka, tapi gengsi juga karena kesannya murahan banget, lagipula aku saat itu sedang ada tamu bulanan. Maka aku pun keluar dari kost itu pelan-pelan, sampai di luar kost aku mengirim BBM pada Siu Sien menggodanya, “enjoy ya...threesome pagi-pagi nih yeee!!”

TAMAT

0 Response to Stefanny: Gairah Dalam Lift Kampus

Posting Komentar