“Sendirian aja, bu?” sapa seorang pria. Pria ini memakai celana pendek dengan kaos ketat bertuliskan SABHARA di punggungnya. Di dada kirinya ada sebuah lambang kesatuan POLRI. Siapapun yang melihatnya akan kenal dengan profesi pria ini.
Sontak Olivia terjekut, “Eh, Komandan Lukman! Pagi Ndan!”
Lukman juga baru berjogging. Rumahnya masih satu komplek dengan Olivia. Wajah pria yang berpangkat kompol ini sangat ramah. Badannya tegap dan tidak terlihat usianya sudah mencapai kepala empat. Tampak dari otot bisepnya peluh yang bercucuran seperti baru saja mandi. Pria ini kemudian menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang dia kalungkan di lehernya. Butiran-butiran keringat pun menghilang meresap ke dalam handuk kecil.
“Itu anakmu?” tanya pria itu sambil menatap ke seorang anak kecil yang sedang bermain.
“Iya ndan, anak saya,” jawab Olivia.
“Cantik sekali,” ujar Lukman.
“Terus terang, bagi saya wajahnya lebih mirip ayahnya,” terang Olivia sambil berjalan santai menuju ke taman yang ditumbuhi rerumputan segar. Tampak dari kejauhan putrinya sedang bermain bersama anak-anak yang lain.
“Aku turut berduka cita atas kepergian suamimu yang mendadak. Ah, tapi sudah terlambat. Aku terlalu sibuk sehingga tidak datang melayat,” kata Lukman. Dia agak canggung pagi ini. Sebenarnya hanya basa-basi biasa, mungkin karena Olivia adalah sahabatnya dan ia sangat bersalah tidak datang saat pemakaman suaminya.
“Saya bisa memahami, tak perlu seperti itu Ndan. Apalagi saat itu Anda masih di luar pulau. Saya bisa fahami,” tukas Olivia.
“Tapi, setelah itu aku seperti tak pernah peduli kepadamu. Sahabat sepeti apa aku ini,” Lukman kemudian menghentikan langkahnya sambil menoleh ke arah lain.
“Jangan melankolis, ndan. Saya malah nggak suka,” kata Olivia. Sebenarnya Olivia dan Lukman hanya terpaut sedikit, tapi ketika di SPN mereka adalah teman baik,
“Jangan panggil saya komandan ketika tidak di kantor. Panggil saja Lukman. Kita masih sahabat bukan?” tanya Lukman. “Sebenarnya, ada yang ingin aku sampaikan. Mungkin kamu tertarik.”
“Apa itu?” tanya Olivia balik. Dia tidak begitu penasaran.
“Kamu tahu, Polda Metro Jaya sekarang membentuk tim khusus. Namanya Omega. Kalau kamu tertarik kamu bisa ikut denganku,” jelas Lukman.
“Bagian reserse?”
“Iya, reserse.”
“Nggak ndan, eh.... Lukman. Aku masih nyaman dengan bagian Satlantas.”
Lukman menggeleng. “Aku yakin kamu nyaman dengan Satlantas. Tapi mungkin kamu tertarik kalau aku yang mengajak. Di sana ada Dira, Teguh dan Aryo.”
“Wah, polisi muda semua. Bagaimana aku bisa mengimbangi mereka?”
“Sebenarnya kamu masih punya bakat. Aku masih ingat ketika dulu kamu di SPN nilai kuliah intel lebih baik daripada yang lainnya. Bahkan aku pernah menjulukimu sebagai Miss Marple. Aku yakin di Omega kamu akan menjadi orang yang yah... berhasil menyalurkan bakatmu.”
Olivia terdiam. Pikirannya kemana-mana. Memory-nya kembali flashback ke masa lalu. Dia memang sangat menyukai tantangan seperti bagian reserse. Bahkan ia paling banyak membaca kasus-kasus dan buku-buku kriminal. Kemampuannya sebagai seorang reserse seandainya ia masuk ke bagian reserse pun sudah pasti tidak akan bisa dianggap remeh. Hanya saja atas bisikan teman-temannya ia pun bilang bahwa reserse ini adalah satuan tugas yang ditujukan untuk laki-laki. Wanita rasanya tidak terlalu pantas dan memang banyak polwan yang kurang menyukai bagian reserse.
“Liv, ada satu hal sebenarnya kenapa aku mengajakmu ikut ke Omega,” jelas Lukman.
“Apa itu?” tanya Olivia.
“Kami tahu apa penyebab kematian suamimu,” jawab Lukman.
Hal itu sontak membuat Olivia terkejut. Lukman mengangguk. Olivia segera mencengkram bahu Lukman. “Katakan kepadaku! Siapa? Siapa pelakunya?”
“Sabar, kita akan mengetahuinya nanti. Tapi ingat, ini masih rahasia di dalam kesatuan. Kami butuh satu tim lagi, siapa tahu kamu tertarik. Dan aku sangat ingin kamu ikut di tim kami,” ujar Lukman. Cengkraman tangan Olivia pun terlepas. Lukman mengangguk, “Aku tunggu di kantor besok. Kamu tahu di mana ruang Omega berada.”
Lukman kemudian melanjutkan joggingnya dan meninggalkan Olivia termenung seorang diri dengan penuh tanda tanya. Anak semata wayangnya bernama Zalianty. Bocah itu kini sudah mulai masuk ke taman kanak-kanak. Ia melambai kepada anaknya, bocah kecil itu segera berlari menuju ke ibunya diikuti oleh seorang babysitternya.
“Mamaaa!” Zalianty pun langsung memeluknya.
Rumah adalah sebuah surga. Begitu kata pepatah, ada benarnya juga. Ketika ada di rumah perasaan Olivia begitu damai. Di rumah ini ia ditemani oleh ibunya. Setelah ia menjanda sang ibu pun menemaninya sekarang.
“Eh, Anty! Udah selesai mainnya?” tanya neneknya.
“Udah nek, mama juga sudah selesai olahraganya,” jawab Zalianty.
“Aku ingin mandi dulu ma,” kata Olivia dengan nada lesu.
Olivia segera masuk ke kamarnya. Ia kemudian menanggalkan semua bajunya setelah itu mengambil handuknya untuk pergi ke kamar mandi. Dia langsung mengguyur tubuhnya di bawah shower. Tubuhnya masih bagus, bahkan mungkin butiran-butiran air yang membasuhnya serasa malu-malu untuk terus melekat di kulitnya yang masih mulus. Olivia kembali teringat dengan suaminya. Bagaimana suaminya memperlakukannya, juga bagaimana dia bisa menjadi seorang wanita yang benar-benar wanita. Dia merindukan saat-saat itu.
Di shower ini misalnya. Dia ingat bagaimana Ikram sang suami menyentuhnya. Ketika mereka berada di dalam kamar mandi, pasti dan selalu terjadi adegan erotis. Awalnya sang suami hanya ikut membasuh tubuhnya dengan sabun. Namun yang terjadi setelah itu adalah usapan-usapan lain. Usapan itu bukan usapan kasar sekalipun telapak tangan suaminya kasar, khas sebagai seorang lelaki. Namun usapan itu lebih halus dari kain sutra. Olivia menjadi sangat terangsang karena sentuhan itu. Bulu kuduknya merinding, putingnya mengeras. Kalau sudah begitu maka dia pun menjadi agresif.
Dalam kenangannya sang suami meremas payudaranya dari belakang. Menggelitik puting susunya yang sekarang sedang menonjol dan mengeras karena terangsang. Lehernya dihisap, diciumi, dijilat, hingga kedua bibir mereka bertemu. Kalau sudah seperti ini yang dilakukan Olivia kemudian ada berbalik menaikkan kaki kanannya, lelakinya pun sudah siap memasukkan batangnya ke dalam liang senggamanya yang sudah becek. Begitu senjata itu masuk, maka mereka pun bergerak liar, pinggul mereka benar-benar ingin mengaduk-aduk apa yang membuat mereka menempel. Jadilah acara mandi itu adalah acara mandi erotis. Olivia benci karena ia akan sangat lama mandinya, tapi ia juga merindukannya saat suaminya sudah tidak ada lagi. Tak terasa ia pun memasukkan jari telunjuknya ke dalam liang senggamanya sambil merangsang klitorisnya.
* * *
Gedung Polda Metro Jaya berdiri kokoh. Gedung yang menjadi tempat berkumpulnya para aparat yang berwajib ini ada sebuah divisi khusus yang baru saja berdiri. Namanya The Omega. Divisi ini menangani berbagai macam kasus-kasus rumit yang tidak bisa dipecahkan oleh satuan reserse biasa. Biasanya kejahatan-kejahatan tingkat tinggi dengan para kriminal yang belum tertangkap. Tidak hanya itu kasus-kasus lama yang ditangani kepolisian tapi tidak terungkap banyak terselesaikan oleh divisi Omega. Pemimpinnya adalah Kompol Lukman Tirtadaya. Dia juga adalah sahabat dari Bripka Avvy Olivia dan Ikram ArRasyid.
Bripka Olivia datang ke kantor Omega. Kantor itu letaknya berada di lantai atas gedung. Ruangannya sangat khusus, bahkan papan namanya pun dibuat dengan huruf yang unik. Mungkin lebih ke Serrif entah apa nama fontnya. Begitu masuk ruangan itu tampak ada tiga meja, dua meja terisi tapi satu meja kosong. Dan di ujung ruangan ada sebuah ruangan berkaca. Di dalamnya ada Kompol Lukman. Kedatangan Olivia di dalam ruangan itu membuat hati Lukman berbunga-bunga. Dia segera keluar dari ruangan kacanya.
“Kukira kamu tidak datang,” kata Lukman.
“Yah, aku penasaran dan aku setuju. Aku akan bergabung, ceritakan kepadaku apa yang engkau punya!” ujar Olivia.
“Teguh, Dira! Kalian bisa tunjukkan file tentang kasus Mat Codet?” tanya Lukman.
Dua orang anggota divisi khusus ini mengangguk. Teguh seorang polisi muda dan juga Dira, dia seorang polwan. Teguh merupakan seorang polisi yang lulus dari akademi kepolisian dua tahun lalu, kemudian ditarik ke reserse. Dira juga demikian, hanya saja Dira baru lulus tahun kemarin. Wajahnya cukup cantik untuk seorang polwan reserse.
Teguh kemudian menghubungkan komputer dengan monitor yang ada di tengah ruangan. Mereka semua bisa melihat sebuah display dari presentasi yang dibuat oleh polisi ini. Olivia bersedekap sambil mengamati Teguh yang sibuk memainkan remote untuk menggeser-geser presentasi.
“Jadi, kasus Mat Codet ini … dia adalah seorang perampok, pencuri dan juga seorang begal. Daftar kejahatannya sudah terlalu panjang. Bahkan pihak kepolisian menetapkan untuk tembak di tempat bagi bajingan nomor satu ini. Permasalahannya tidak sesederhana itu. Mat Codet ini adalah mantan anggota TNI. Boleh dibilang sasaran kita kali ini seorang yang cukup mengerti tentang hal-hal yang berbau dengan militer,” jelas Teguh. Dia menunjukkan foto-foto tentang Mat Codet. Dia adalah seorang pria berbadan tegap, ada tatto bunga mawar di punggungnya. Dari postur tubuhnya sudah jelas ia lebih mirip seorang tentara. Lebih menyukai pakaian-pakaian militer. Dari yang dijelaskan oleh Teguh kemana-mana Mat Codet selalu membawa senjata api.
“Lalu apa hubungannya dengan Mas Rasyid?” tanya Olivia kepada Lukman.
“Kami menemukan kaliber peluru yang itu adalah senjata milik bajingan ini,” jawab Lukman. “Kasus ini memang tidak diberitahukan kepada siapapun, karena bisa menimbulkan konflik antara TNI dan Polri.”
“Bukankah dia bersalah? Dia harus dihukum!” kata Olivia.
“Permasalahannya tidak sesederhana itu. Senjata yang dia miliki adalah berasal dari gudang amunisi depo TNI Angkatan Darat. Kalau sampai tersebar keluar bahwa peluru yang menembus suamimu adalah peluru dari gudang TNI yang terjadi akan menghebohkan negeri ini. Maka dari itulah kasus ini dilimpahkan kepada kami. Karena kami bisa bekerja tanpa campur tangan yang lainnya,” jelas Lukman.
Tampak wajah kekecewaan terpancar dari Olivia. “Kenapa kamu tidak beritahu aku?”
“Mungkin inilah saat yang tepat, agar kamu bisa melihat sendiri wajah bajingan ini. Dia jadi buronan Polisi Militer dan juga kita. Kuharap kamu bersedia menjadi salah satu tenaga di tempat ini, Bripka Avvy Olivia,” kata Lukman.
Olivia menghela nafas. Ia kemudian mengambil tumpukan file di meja Dira.
“Ini adalah data tentang kematian para korban,” jelas Dira.
Olivia tak menghiraukan kata-kata Dira. Dia memeriksa berkas itu dengan teliti dan seksama. Karena terlalu lama berdiri akhirnya ia duduk di meja yang kosong sambil memperhatikan file-file yang ada di tangannya. Teguh kemudian mematikan monitornya kembali ke tempat ia duduk. Lukman mendekat ke Olivia setelah itu Olivia gemetar ketika melihat sebuah foto korban. Itu foto suaminya. Bibirnya gemetar, matanya berkaca-kaca, setelah itu ia membanting berkas itu di meja.
“Bullshit! Everything is bullshit!” Olivia memegangi kepalanya. Ia kemudian menarik-narik rambutnya sendiri. Dadanya naik turun seperti orang yang baru saja melakukan jongging. “Aku ingin ketemu dengan dokter forensiknya.”
“Kamu bisa menemuinya di rumah sakit, namanya Dr. James Scott,” jawab Lukman.
“Orang bule?” tanya Olivia.
“Bukan, memang ada keturunan bule. Blesteran,” jawab Lukman.
“Aku bersedia masuk Omega. Aku bisa bekerja hari ini?” tanya Olivia.
“Tentu saja,” Lukman mengangguk senang.
“Baiklah, aku akan menemui dokter itu,” jawab Olivia sambil berlalu meninggalkan ruangan Omega. Lukman tampak senang sekali. Dia akhirnya bisa bekerja sama dengan sahabatnya.
* * *
Bripka Avvy Olivia sampai di rumah sakit setelah bersabar berada di tengah kemacetan. Saat sampai di rumah sakit, ia segera bertanya tentang keberadaan Dr. James Scott. Dia kemudian diantar oleh seorang perawat di ruang Mortuary. Di ruang ini ada laci-laci tempat mayat-mayat disimpan sampai keluarganya mengambilnya. Hampir semua korban yang tewas entah karena kecelakan, dibunuh ataupun bunuh diri ada di ruangan ini.
Sang perawat tidak mengantarkannya sampai ke ruangan Mortuary, tapi hanya di sebuah persimpangan dan polwan cantik ini pun berjalan mendekat ke ruangan kamar mayat itu. Tapi sebelum ia melongok ke dalam, tampak seorang lelaki kira-kira berusia sekitar 40 tahunan dari perkiraan polwan ini sedang duduk sambil merokok di sebuah bangku yang menghadap ke halaman rumah sakit yang di tumbuhi oleh rumput dengan di tengah halamannya ada sebuah pohon yang besar.
“Dr. James Scott ada di sini kalau engkau ingin mencariku,” jawab lelaki yang merokok tersebut.
Bripka Avvy Olivia langsung mengambil putung rokok dari tangan lelaki yang mengaku sebagai Dr. James Scott itu kemudian membuangnya. Sang dokter agaknya sedikit terkejut. Ia menoleh dan mendapati Bripka Avvy Olivia tidak suka dengan sikap Dr. James.
“Maaf dok, tapi di sini tidak boleh merokok,” kata Olivia.
“Aku tahu, tapi aku ada di halaman. Asapnya akan dihisap oleh tanaman dan pohon-pohon. Kamu tak perlu khawatir. Tapi kalau aku merokok di ruang atau kamar pasien marahilah aku, karena jelas itu adalah perbuatan yang bodoh. Ah... maaf, aku sampai terbawa. Maafkan sikapku,” kata Dr. James. Pipi Dokter ini tirus dengan matanya yang terlihat sedikit basah. Rambutnya tersisir rapi. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Perkenalkan, saya Bripka Avvy Olivia. Dari Polda Metro Jaya,” kata Olivia memperkenalkan diri dia menjabat tangan Dr. James.
“Namaku Franciscuss James Scott. Biasa dipanggil Frans, James atau Scott. Kadang mereka cuma memanggilku Dok,” balas Dr. James.
“Baiklah, langsung saja kalau begitu. Saya ingin tahu semua yang engkau ketahui tentang kematian suami saya. Namanya.....”
“Komisaris Polisi Ikram Ar Rasyid. Saya tahu. Saya orang yang mengotopsi tubuh beliau,” sela Dr. James.
“Iya, itu yang saya inginkan,” kata Olivia.
“Ikut saya, mungkin Anda tak keberatan kalau masuk ke ruang kerja saya. Di sana baunya tidak seperti di sini,” ujar Dr. James. Dia berjalan mendahului Olivia menuju ruangan bertuliskan “Mortage”. “Perlu masker?”
Olivia menggeleng.
Mereka masuk ke kamar mayat. Di dekat pintu, ada sebuah meja. Dan sepertinya meja itu adalah tempat di mana Dr. James bekerja. Dia duduk di kursi kemudian mengotak-atik komputernya. Olivia mengikutinya dari belakang dan melihat monitor. Dr. James kemudian memperlihatkan daftar hasil otopsinya. Hingga kemudian sebuah nama tertera di sana. Dia memilih nama Ikram Ar-Rasyid. Segera saja muncul foto dan beberapa keterangannya.
“Apa yang tertulis di laporan polisi?” tanya Dr. James.
“Suamiku tertembak di dada dan punggungnya. Saat itu sedang mengejar Mat Codet. Aku ingin tahu dari pendapatmu apakah memang benar demikian? Ketika aku melihat tubuh suamiku aku melihat dua lubang, di punggung dan dadanya. Apa benar itu dari projectil yang sama?” tanya Olivia.
“Mungkin, karena pelurunya sama dan menurut pakar senjata itu adalah dari projectil senjata yang sering digunakan oleh pihak TNI. Melihat profil Mat Codet yang memang mantan anggota TNI bisa saja itu miliknya. Hanya saja....,” Dr. James tidak melanjutkan.
“Hanya saja kenapa dok?” tanya Olivia.
“Seorang Mat Codet tak akan menembak seseorang di punggung. Dan aku ragu dia melakukannya,” jawab Dr. James sambil tersenyum.
“Apa yang mendasarimu berpendapat seperti itu?”
“Kamu tahu sendiri bagaimana seorang Mat Codet, seorang mantan anggota pasukan khusus yang dipecat secara tidak hormat. Seorang mantan anggota pasukan khusus membunuh orang dari belakang, membunuh seorang komisaris polisi dari belakang bukan sikap seorang anggota pasukan khusus, apalagi dengan senjata api? Kamu tahu kalau aku seorang anggota pasukan khusus membunuh dari belakang tidak akan memakai senjata api, tapi...seperti ini!” Dr. James tiba-tiba bergerak cepat ke belakang Bripka Olivia mengunci lehernya kemudian meletakkan jari telunjuknya ke leher polwan cantik ini. Olivia yang tidak sigap tentu saja terkejut dan kaget. “Bayangkan jari telunjukku adalah pisau, tentu lehermu sudah robek. Seperti inilah pasukan khusus membunuh orang.” Dr. James kemudian melepaskan Olivia.
Bripka Olivia mengusap-usap lehernya sendiri. Ia berdebar-debar, hampir saja jantungnya copot karena ulah Dr. James tadi. “Maksudmu, Mat Codet tidak membunuhnya? Lalu siapa?”
“Kenapa engkau tidak melihat lagi filenya, Mat Codet dipecat dari kesatuan apa, lalu engkau bisa melacak siapa saja yang ikut bersama suamimu dalam penyerbuan dengan Mat Codet. Aku yakin kamu akan mendapatkan petunjuk dari sana,” jelas Dr. James.
Bripka Olivia mengangguk-angguk. Ia sepertinya penasaran dengan apa yang dijelaskan oleh Dr. James. Ia ingin segera keluar dari ruangan sang dokter, tujuannya tentu saja kembali ke markas. Sebelum ia keluar Dr. James memberikan kartu namanya, “Kalau kamu butuh sesuatu, hubungi aku. Rumahku tidak begitu besar, but very comfortable for me.”
Bripka Olivia menerimanya, “Terima kasih Dokter.”
“Just name please!” kata Dr. James.
“James?”
Dr. James mengangguk. Bripka Olivia pun segera pergi meninggalkan Dr. James.
* * *
Bripka Olivia mengobrak-abrik file-file yang ada di ruang arsip. Dia kemudian melihat komputernya, dia pilah-pilah dan dicari semua laporan tentang hari-hari terakhir suaminya bekerja. Akhirnya dia mendapatkan laporan itu. Laporan itu ditulis oleh Briptu Ade Husini. Di dalamnya tertulis dalam penyerbuan terhadap Mat Codet. Penyerbuan itu sudah direncanakan dengan rapi, bahkan Mat Codet saat itu sudah terpojok, namun ia berhasil kabur dan menembak Kompol Ikram. Ada tiga petugas yang terlibat, yaitu Briptu Ade Husini, Kompol Lukman, dan Bripda Burhanudin. Melihat ada nama Lukman Bripka Olivia terkejut. Dia segera menuju ke ruang The Omega.
Begitu ia membuka pintu, dia langsung mendapati Lukman tampak berada di ruangannya. Olivia segera masuk di ruangan kaca itu. Wajahnya tampak tidak mengenakkan.
“Aku ingin tahu apa yang terjadi, menurut laporan Briptu Ade Husini, engkau berada di TKP. Ceritakan kepadaku!” pinta Bripka Olivia.
Lukman menarik nafas dalam-dalam. “Apa yang kamu dapatkan?”
“Apa yang engkau ketahui pada saat itu?” tanya Olivia. “Kenapa kamu tidak cerita bahwa kamu ada di TKP?”
“Baiklah,” Lukman bersandar ke kursinya sambil menatap Olivia dengan tenang. “Awalnya kita bisa mengetahui tempat persembunyian Mat Codet, kemudian kami pun mengumpulkan anggota dan berunding. Saat itu Ikram ikut serta dalam penyerbuan. Aku saat itu sebagai tim backup. Burhanudin dan Ade sudah maju ke depan bersama Ikram. Mereka masuk ke sebuah rumah, terdengar keributan di dalam rumah waktu itu serta baku tembak. Dari sana aku mendengar teriakan 'Mat Codet kabur! Mat Codet kabur!' segera aku berusaha mencegat dia di gang. Namun terdengar suara tembakan aku pun berlindung. Aku mengintip di gang terdengar suara tembakan lagi, aku segera masuk ke gang. Saat itulah aku melihat Ikram tergeletak di depan halaman rumah. Di sana ada dua orang, Ade dan Burhan. Mereka menggoyang-goyangkan tubuh Ikram sambil memanggil-manggil namanya. 'Dia tertembak, Mat Codet ke arah sana! Kejar!' Akhirnya aku pun mengejar ke arah yang di tunjukkan. Saat itulah aku mengejarnya tapi sayang sekali dia sudah dijemput oleh seseorang. Sekalipun aku memberikan tembakan peringatan tapi dia tak berhenti. Sayangnya aku tak sempat mencatat nomor kendaraan yang membawa Mat Codet pergi. Itulah yang terjadi.”
“Aku tak percaya ini, kenapa kamu tak bilang ini kepadaku?” tanya Olivia.
Lukman tidak menjawab.
“Kukira kamu adalah sahabatku,” kata Olivia.
“Kamu tahu, aku tidak enak mengatakan hal ini. Sebagai seorang sahabat aku gagal. Gagal melindungi suami sahabatku sendiri. Maafkan aku. Karena itulah aku tidak mengatakannya kepadaku. Maafkan aku,” kata Lukman.
Bripka Olivia kemudian duduk di kursi. Ia memejamkan matanya sambil memijat-mijat keningnya. “Katakan sebenarnya, kenapa Mat Codet sampai dikeluarkan dari TNI?”
“Dia dikeluarkan dari TNI karena suatu hal. Dia memergoki istrinya selingkuh dengan atasannya. Hal itu membuat dia sangat murka. Disaat dia sibuk menjadi pasukan elit untuk membela negaranya, istrinya malah tidur dengan atasannya. Hal itulah yang membuat dia akhirnya menghajar atasannya sendiri. Dia akhirnya dikeluarkan dengan tidak hormat. Setelah itu ia malah terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi seorang kriminal,” jelas Lukman.
“Jadi begitu, tapi sungguh kenapa kamu tidak bercerita, hal ini benar-benar membuatku kecewa Lukman,” kata Olivia.
“Maafkan aku,” kata Lukman. “Apakah kamu menemukan sesuatu?”
“Tidak, belum,” jawab Olivia berbohong. Ia tahu bahwa ia telah menemukan petunjuk tentang kematian suaminya. Tapi dengan mengatakan bahwa ada pihak kepolisian yang terlibat ia tidak bisa gegabah. Dan yang ada di otaknya sekarang adalah ia ingin menyelidiki ini sendirian. Terlebih ketika Lukman tidak berkata jujur kepadanya, ia sekarang tak percaya kepada siapapun. Satu-satunya yang ia percayai adalah Dr. James.
* * *
Senja mengubah warna langit menjadi bentuk sephia. Guratan-guratan awan berwarna kuning kemerahan dan lalu lintas padat merayap dipenuhi orang-orang yang pulang dari mencari nafkah. Para pedagang kaki lima yang mencari nafkah pada malam hari pun mulai menggelar dagangannya. Bripka Olivia sampai di rumah tepat ketika adzan maghrib bersahutan. Begitu melihat ibunya datang Zalianty langsung menyambutnya. Seketika itu penat yang dialami oleh Olivia hilang begitu saja.
Malam hari adalah waktunya bersama si buah hati. Sebagai seorang single parent hal itu harus dia lakukan agar si kecil mendapatkan perhatian. Zalianty sangat senang hari itu, dia belajar dan bermain bersama bundanya. Olivia bahkan mengantarnya tidur di kamar. Setelah pekerjaan rumahnya selesai, ia mengambil ponselnya dan menghubungi Dr. James. Dipandanginya kartu nama yang diberikan oleh dokter ahli forensik itu.
“Ya?” sapa Dr. James.
“Dokter, saya Olivia,” jawab Olivia.
“James please?”
“Eh, maaf. James. Aku ingin bicara, bisa bertemu besok?” tanya Olivia.
“Engkau sudah tahu?”
“Bisa jadi. Aku ingin bertemu. Cuma Anda yang sepertinya faham persoalan ini. Ada yang ingin aku diskusikan.”
“Fine, sayangnya.... saya hanya punya waktu malam hari. Tahu sendiri pekerjaan saya membuat sangat sibuk. Bagaimana kalau malam hari? Saya kebetulan ada undangan makan malam di sebuah restoran, itu kalau Anda tidak keberatan,” ajak Dr. James.
“Makan malam?” Olivia sedikit heran. Apa dia mau mengajaknya kencan?
“Jangan salah faham, saya tidak punya istri dan saya ada undangan makan malam bersama para petinggi rumah sakit. Saya tak punya rekan kerja di rumah sakit. Tak kenal dengan para suster yang sering begonta-ganti tiap bulannya, satu-satunya rekan kerja saya hanyalah mayat-mayat yang tiap hari dikirim oleh aparat yang berwajib. Karena kemarin Anda telah saya beri kartu nama saya, jadi saya anda menghubungi saya untuk ini dan bersedia,” kata Dr. James.
Olivia tertawa, “Right move! Alasan anda sempurna sekali untuk mengajak saya keluar.”
“Hahahaha, well... because I'm a doctor I guess,” canda Dr. James.
“Baiklah James, kamu aku jemput atau aku yang kamu jemput?”
“Biar aku yang menjemputmu,” jawab Dr. James. Dan pembicaraan mereka pun berakhir.
Rabu, 02 Desember 2015
Cerita Dewasa Artis
0 Response to Cerita Dewasa Bripka Avvy Olivia
Posting Komentar