The Odd Triangle 3 | kisahbb2

The Odd Triangle 3


Hari telah terang benderang saat Sabrina membuka mata. Ia mendapati dirinya tengah tergolek lemas di atas jok mobilnya sendiri yang sandarannya diturunkan secara maksimal. Kaca depan mobilnya tertutup sunscreen yang menyembunyikan kondisinya dari pengelihatan orang dari luar. Pakaiannya yang kusut telah membungkus tubuhnya dengan rapi. Pintu mobilnya terkunci dari dalam, jendela-jendelanya sedikit terbuka, memberinya oksigen cukup untuk bernafas, meski suhu yang agak panas membuat tubuhnya bermandikan keringat. Kemeja kerja tipisnya basah kuyup tak mampu menyembunyikan warna dan tekstur puting susu di baliknya, namun selembar selimut tipis berwarna biru tua menutupi pemandangan indah itu dari siapapun yang mencoba mengintip ke dalam.
Jayne Lee

----------------------------------------

“Are you sure you’re gonna put them in?” Tanya Professor Jayne Lee pada koleganya saat mereka sedang bertemu sambil sarapan untuk membahas proyek.
“Yes.” Jawab si kolega bertubuh raksasa berkepala licin itu. “We have to protect your butt.”
“I appreciate your concern, Deetou...” Jawab Jayne tegas, “...so we’re gonna have real people and pseudo-real people in our project...then how about the financial matters?” Wanita itu melingkari sesuatu dalam kertas kerja yang sedang dibahasnya dengan sebuah pulpen merah, “Are you sure that these morons won’t ask for money?”
“We’ll give them some bonus at the end of the project.” Jawab Deetou yang telah memperhitungkan segalanya dengan begitu rinci. “This research will give them what they want; credits and the feeling of being important.”
Senyum tulus Jayne yang mahal terbersit di bibir tipisnya. “I admire your way of thinking, Doctor Preehad.” Jawabnya sambil menjabat erat tangan Deetou, “You are brilliant! Now let’s get things done as soon as possible... so we’ll have time for our own projects afterwards.”
Deetou tahu bahwa Jayne berniat untuk menyelesaikan proyek dalam waktu beberapa minggu, sementara anggaran waktu yang dituliskan adalah dua tahun. Dengan begitu ia akan memiliki sisa waktu yang cukup untuk mengerjakan proyek-proyek lain dari luar universitas. Selain itu, anggaran juga akan sangat minim hingga seluruh team akan memiliki petty cash yang cukup untuk menghadiri konferensi-konferensi besar di mancanegara. “I’ll call these names to make sure they agreed with this.” Jawabnya sambil menghabiskan segelas besar susu dan dua butir tablet suplemen protein.
“Where is Brina?” Tanya Jayne sambil melirik ke arlojinya yang menunjukkan pukul sebelas siang.
“Maybe she’s exhausted by what have you done last night.” Deetou tersenyum dan berdiri dari kursi kafetaria, bersiap untuk pergi. Namun ia mengerdipkan mata, membiarkan Jayne sadar bahwa pria itu tahu apa yang dilakukannya bersama Brina.
“Damn!” Jayne ikut berdiri sambil tersipu. “How do you know?”
“She’s too irresistible... her beauty, her brightness, and her achievement are a complete package for you to grab.” Ujar Deetou sambil tertawa. Jayne bukan tertarik pada Sabrina semata-mata karena keindahannya, melainkan karena prestasinya.
Kedua manusia dengan fisik mengagumkan itu melangkah meninggalkan kafetaria, diikuti pandangan-pandangan mata orang-orang yang kagum sekaligus iri.
“Well...” Jayne mempercepat langkah agar bisa menyamai kecepatan Deetou dalam berjalan, “...she’s too good to be true... I even felt that she’s too good for me.”
Terapi hampir berhasil. Pikir Deetou. Membuat seorang Professor Jayne Lee mengatakan hal seperti itu jauh lebih sulit daripada menjual jas hujan di gurun Sahara.
“...but I think she just couldn’t appreciate my being with her.” Ujar Jayne lagi. Dialah yang seharusnya bersyukur bisa tidur bersama aku! Pikirnya, memberikan kompensasi pada egonya.
Deetou menghela nafas dan menganggap bahwa terapi masih perlu waktu yang lama untuk benar-benar disebut berhasil.

########################
“Dude! You put these names in the project?” Bisik seorang pemuda berkulit hitam saat melihat pesan dalam Blackberry Torch miliknya.
Pemuda jangkung itu sedang berdiri di sebuah antrian panjang KFC saat jam makan siang. Di antrian yang sama, di belakang pemuda itu berdiri tubuh besar Deetou yang mencoretkan beberapa hal dalam Blackberry Playbooknya. Ia baru saja mengirimkan sebuah pesan pada rekan kerjanya. “Three of those four are under your surveillance, am I right?” Jangan anggap aku tidak tahu kalau organisasi kita mengawasi secara ketat gerak-gerik orang-orang ini.
“You bet they are...” Jawab si pemuda jangkung cepat“...and having them inside your project might blow your cover if you are careless.” Bisiknya memperingatkan
“Do you think I’m a careless person, dude?” Bisik Deetou, “By putting them in the project, I gave them some baits.” Jelasnya.
“Elaborate.” Jawab si pemuda jangkung itu meminta penjelasan lebih jauh.
“Lee will set quite a tight schedule for meetings along the project, I know her.” Jawab Deetou, “...and I’ll be her contact to communicate with those clowns.”
Si pemuda jangkung tampak tersenyum gembira, “And by doing that, you’ll get an access to their personal contacts soon! Whatta brilliant idea!” Cerocosnya dalam aksen Nigeria yang cepat, “Just be careful, those clowns might have dangerous friends out there... check this out.” Pemuda itu memencet-mencet keypad gadgetnya, mengirimkan pesan pada rekan kerja di belakangnya.
Deetou mengamati pesan yang muncul di layar Playbook-nya dan mengangguk-angguk. Dua lalat dalam sekali tepuk! Pikirnya. Pesan itu berisi daftar nama sejumlah orang Pakistan dan Saudi yang diduga terlibat terorisme, berikut sejumlah pembicaraan telepon mereka dengan orang-orang lokal tertentu. Tiga dari nama-nama lokal itu termasuk dalam nama-nama yang dilibatkan ke dalam proyek.
“Cool... I’m off.” Jawab Deetou sambil beranjak meninggalkan antrian, “I’m not into fastfood, enjoy your lunch.”
Deetou sempat berpapasan dengan dua orang mahasiswi asing saat meninggalkan KFC di dekat universitas itu. Keduanya menatap tubuh raksasanya tanpa berkedip sebelum saling berbisik.
“Gestur mereka tampak lain.” pikir Deetou sambil terus melangkah menjauh.
Kedua gadis tadi tampak seperti membicarakan orang yang sama-sama dikenal, padahal Deetou tak pernah sekalipun bertemu dengan mereka. Ia langsung mengirimkan pesan pada si pemuda jangkung yang masih berada di antrian KFC. Sebuah BBM singkat bertuliskan, “Please watch the two new pussycats for me, they just entered the rendezvous.”
Sejenak kemudian Deetou menerima jawaban, “Gotta visual, will call ya later.”

Deetou tidak langsung kembali ke kampus. Ia berjalan menuju ke sebuah warung sederhana yang terletak di belakang gedung tempat KFC tadi berada. Pada jam makan siang, tempat agak jorok yang dikelola oleh sejumlah mantan TKI asal Indonesia itu dipenuhi pengunjung-pengunjung berkopiah dan berbaju kurung. Deetou tak habis pikir, kenapa orang-orang melayu kolot yang sebenarnya berduit itu lebih memilih tempat itu daripada resto-resto berAC yang lebih pantas untuk kedudukan mereka. Seringkali ia jengkel mendengar alasan-alasan seperti ’Kami tidak akan makan di resto A karena kokinya bukan orang melayu, berarti tidak seagama, berarti sudah pasti haram!’ atau ’resto B itu kan milik ras non-melayu, berarti pasti yahudi!’ . Deetou tersenyum saat melihat para TKI yang mengelola warung itu berbicara dalam bahasa melayu demi meraih konsumen-konsumen rasis kolot itu.
Manfaatkan kebodohan orang lain demi dompet sendiri, kawan! Pikirnya.
“Salam, Doctor Preehad!” Sapa seorang pria gemuk berjanggut dan mengenakan kopiah. Ia mencoba berdiri dari kursinya, namun perutnya menghalangi niatnya. “Come on, makan makan!”
“Kopi panas ae, Cak! Gak nggae gulo!” Kata Deetou pada seorang TKI bertubuh kecil yang agak terkejut karena raksasa bertampang Afro itu mengucapkan bahasa Surabaya yang fasih. “Salam, Prof. Zain.” Deetou melanjutkan menyapa si pria gemuk berkopiah. Lalu duduk bergabung di meja yang sama.
“I makan first, OK?” Ujar Zain, professor setengah baya itu melanjutkan makannya di depan Deetou, “I know you don wan malay food, ya? Too oily for your muscle.” Sambungnya, masih dengan bahasa Inggris melayu Malaysia yang tak mempedulikan grammar.
“Have you got my email, Prof?” Tanya Deetou sambil menatap ke mata Zain. Bukan karena ingin mengintimidasi, namun karena ia sangat jijik melihat cara pria melayu itu makan dengan tangan. Cara kebanyakan orang melayu Malaysia makan memang agak menjijikkan untuk orang Indonesia, karena mereka menggunakan tangan untuk makan makanan yang dibanjiri kari, hingga jemari mereka jadi berlumuran warna coklat dan butir-butir nasi. Yeeeek! Hoeek! (Maaf, yang ini komentar pribadi dari penulis )

“Yes, yes!” Jawab Zain sambil mengunyah nasinya dengan mulut tidak tertutup. Satu lagi kebiasaan orang lokal yang tidak disukai Deetou. “I signed the form you sent. I’ll be happy to help you in the project. Thank you for involving me.”
“It wasn’t me, Prof.” Deetou menjawab sambil menghirup kopi pahit dari gelasnya, “Prof. Lee asked me to contact all of you to be in her project.”
“That Chinese woman ah?” Zain tampak agak terkejut. “I thought she don wan to take Malays for her project.”
“Oh?” Deetou berpura-pura kaget, “I thought she didn’t choose her members by race. She wants only the best people to be in her team.”
Prof. Zain tertawa bangga. “You say that because you also in! Hahaha... But what do you think ah? Is she really good what?”
Deetou agak pusing juga menginterpretasikan arti dari bahasa Inggris yang tidak tertata itu, namun berada cukup lama di negara brengsek itu membuatnya cukup terlatih untuk memahaminya. “She’s cool... I mean, she’s good...and the project will be a good one for me... and for you too, hahahaha.” Bagian terakhir dari kalimatnya terdengar seperti bercanda, hingga lawan bicaranya makin terbahak-bahak membayangkan uang dan nama baik yang bakal diperoleh.
“May I have my own assistant to help with the project?” Tanya Prof Zain usai mencuci tangannya dengan air dari sebuah cerek plastic dan membiarkan air plus sisa makanan jatuh ke piring bekas makannya Satu lagi kebiasaan menjijikkan yang membuat Deetou membuang muka sesaat. “You know, ah... I got one student from Pakistan, a scholarship holder... he’s not good in English, la... but he can help with statistic, you know?”
“I see...” Deetou terlihat agak serius, “I don’t think there will be more slots in the project, but you can have his help, and we’ll pay him with outsourcing budget.”
“No need, la... he don wan money, you know?” Prof. Zain tampak serius, “He want to work only, and he’s good... He will do my work in the project, I’m busy la, you know?”
“Sure.” Deetou mengangguk. Dalam hati ia sangat jengkel dengan kepribadian orang di depannya; ingin dianggap terlibat, mendapatkan nama dan uang, namun jelas-jelas meminta orang lain untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. “What about the other names I wrote, Prof? You know Dr Hazik and Dr Aziza?” Ujarnya menyebutkan nama-nama orang melayu yang dipenuhi huruf ‘z’.

“Yes, they talk to me before. They also surprise when Prof. Lee ask them to be involved, you know?” Zain menjelaskan sambil menyalakan sebatang rokok murah, “I say, it’s OK la... maybe Prof. Lee know that if want success, Chinese have to ask help from Malays.”
“They do?” Deetou mencoba mengkonfirmasi. Sebenarnya ia kurang suka pembicaraan rasis ini, namun ia mencoba mengikuti aturan main di negara yang peradabannya memang agak tertinggal dari dunia internasional ini, meski infrastrukturnya cukup maju karena ditolong oleh Inggris.
“Yes... Government don't listen to Chinese in this country, you know? They need Malay, because this is our country.” Sahut Zain dengan mantap, menjelaskan bahwa ia memiliki ideologi khas melayu Malaysia, yang merasa bahwa mereka adalah ‘tuan tanah’ yang bisa hidup dengan hanya ‘memungut uang sewa’ dari warga negara berketurunan non-melayu. “But I see another Indon name in the list, ah?”
“Pardon?” Deetou menatap mata Prof Zain. Kali ini dengan tatapan mengerikan yang memang jelas-jelas membuat siapapun akan berkeringat dingin.
“Ah... sorry-sorry... Indonesia!” Zain buru-buru mengoreksi. Ia tahu bahwa menyebutkan kata ‘Indon’ di depan Deetou bisa membawanya ke rumah sakit jika ia tidak segera meminta maaf. “I mean, I see another Indonesia name in the project. Who is he, ah?”
“It’s a female.” Jawab Deetou mengembalikan matanya ke mode friendly. “One of our PhD students, Sabrina Yuzuki.”
“Ooo... the very tall and sexy one, ah?” Prof. Zain mengkonfirmasi, “She’s good, she’s good! She’s the dean’s golden girl now... the best student we have in the faculty. Very good.”
“The best-looking, you mean?” Deetou memancing untuk bercanda. “I believe you won’t miss any project meeting if she’s around, hahaha.”
“Hahaha... yes, yes... even my Arab students want to touch her, hahaha.” Jawab Zain, membuat kening Deetou sedikit berkerut. Arab students? Which one?

##############################
Jam makan siang telah lewat waktu Sabrina tiba di depan pintu kondo tempat tinggalnya. Dengan agak susah payah ia mencari kunci yang tersembunyi dalam tasnya sebelum akhirnya membuka kunci pintu. Sebuah sandal pria berukuran besar tampak terparkir di depan pintu kondonya. Siapa? Pikirnya langsung meraih sebuah stun-gun dari dalam tasnya, sekedar bersiap-siap. Tidak ada orang di ruang tamu. Sabrina buru-buru menutup dan mengunci pintu lalu berjingkat melangkah ke depan pintu kamar Saori. Hanya Saori yang mungkin membawa pulang seorang pria, karena Damiana benar-benar hanya berkencan dengan wanita. Dugaannya benar, dari balik pintu ia mendengar samar-samar Saori melenguh-lenguh di antara suara deritan ranjang besi yang berisik.
“That little bitch”. pikir Sabrina.
Karena merasa kebutuhan seksualnya sudah terlalu terpenuhi tadi malam, ia langsung menuju ke kamarnya dan membersihkan badan.
“Hi Brina!” Sapa Saori saat Sabrina keluar dari kamar tidurnya. Gadis Jepang bertubuh mungil namun langsing semampai itu tampak berseri-seri.
Kali ini Sabrina tidak berpakaian sembarangan karena menyadari ada tamu di rumahnya. Ia mengenakan celana selutut dan kaos lengan pendek berwarna serba hitam, dan tak lupa mengenakan bra. Namun demikian, ia tetap saja terlihat begitu mempesona dan anggun serta sensual dengan tubuh semampainya itu, apalagi rambut coklatnya masih setengah kering, terurai hingga ke bahu.
“Hi, Saori... you got a guest with you?”
“Yeah, lemme introduce him.” Jawab Saori ceria, “Obinna! Come out, you will love to see another angel in the house!”
Seorang pemuda bertubuh amat jangkung berkulit hitam bertampang mirip Michael Jordan keluar dari kamar Saori. Pemuda itu mengenakan kemeja lusuh berwarna coklat dan celana jeans hitam yang agak terlalu pendek untuk kakinya yang sangat panjang.
Tipikal mahasiswa miskin asal negara-negara Afrika Barat”, pikir Sabrina mencoba membuat kesimpulan. “Apa yang membuat Saori tertarik?”
“Hi nice to meet you.” Sabrina mengulurkan tangan pada pria yang agak lebih tinggi darinya itu.
“My pleasure.” Jawab si pemuda dengan aksen Black-British yang sopan sambil menjabat tangan Sabrina dengan gesture formal. “My name is Obinna Garba.” Matanya tampak teduh dan tidak berusaha jelalatan melihat ke garis pinggang dan kaki Sabrina, seperti umumnya pria.

“I’m Brina.” Jawab Sabrina sambil mengkoreksi penilaian awalnya. Cukup intelek, pernah tinggal di Inggris, dan sopan... mungkin dari keluarga baik-baik. Pikir Sabrina. “Please make yourself comfortable.”
“He already did! Hahaha...” Cerocos Saori. “We’ve met at KFC few moments ago, then...” Dengan ceroboh Saori menjelaskan bagaimana ia bertemu Obinna dengan berapi-api, membuat pemuda itu menunduk malu.
“I’m sorry for my friend, Obinna.” Sabrina berseloroh, “She’s always taking advantage from any cool guy she found in the street...” Lanjutnya, “But I think she’s lucky today.” Ia mencoba membesarkan hati si pemuda.
“I am lucky.” Obinna duduk di sofa sambil menerima sekaleng Calsberg dingin dari tangan Saori. “She’s really amazing... and I... I fell in love at the first sight.” Lanjutnya serius.
“I see...” Sabrina mengangguk sambil melirik ke arah Saori yang membusungkan dada menyombongkan daya tariknya. Lalu matanya tertarik ke arah tangan-tangan legam Obinna yang kini memainkan keypad pada Blackberry Torch-nya. “Oh, a Berry fans?” Ujarnya sambil menunjukkan Blackberry Onyx miliknya.
“Yeah... May I have your PIN?” Ujar Obinna dengan senyum mengembang.
“Nooo! He’s mine!” Saori tiba-tiba duduk dan menggelendot ke lengan Obinna. Ketiganya tertawa-tawa.

################################
Di tempat lain, Blackberry Playbook milik Deetou menerima sebuah BBM singkat berbunyi, “D pussycats r ur babe's roomies.”
Deetou tersenyum dan menjawab BBM itu dengan, “Take good care of ‘em! Any fingerprints on my gal’s hair, and y’re a deadmeat! :-D “
Deetou mengantongi lagi gadgetnya dan melanjutkan kegiatannya. Di depan wajahnya, terpampang sebentuk benda indah berwarna kemerahan yang lembab dan berdenyut-denyut. Benda indah kecil itu berada di antara dua buah paha putih kekuningan yang halus mulus tanpa noda.
“Sorry for the interruption.” Deetou melanjutkan membenamkan mukanya ke selangkangan Jayne Lee.
“Nevamind... Nghhh...” Jayne kembali mengerang dan merintih sambil meremas-remas kecil puting susunya dari balik kemeja dengan jari tangan kiri.
Matanya tampak serius menatap monitor PC nya, membaca sebuah artikel ilmiah. Wanita itu sedang duduk dengan pakaian lengkap di kantornya, namun kedua tungkainya mengangkang, memberi jalan bagi mulut Deetou yang sedang duduk di lantai memberinya kenikmatan. Tadinya ia berharap Sabrina yang akan menjilati vaginanya saat ini, namun Sabrina tidak masuk kerja hari ini. “So... the malays are OK now?”
“Yes, they are fine.” Deetou menjawab di sela kesibukannya menngisap-isap kecil klitoris Jayne, “I told them that you think they are good.”
“Me? Thinkin’ they’re good?” Jayne tersenyum sambil sedikit menyipit menahan geli pada klitorisnya, sekaligus mengagumi langkah Deetou untuk membuat orang-orang tak berguna dalam proyeknya merasa penting, “That tongue of yours are really smart... like now. Uffhhh...”
Saat lidah besar Deetou menerobos masuk ke liang kewanitaannya, Jayne mencengkeram pegangan kursinya dan mendongak ke atas dengan mata terpejam serta mulut ternganga, “Ahhh... D-Deetou... j-just f*ck me again, will ya?”
“Twice in a week? Are you sure?” Jawab Deetou sambil menjilat-jilat klitoris Jayne, membuat lelehan cairan dari dalam sana makin membanjir.
“I dunno...” Jayne menghela nafas dan meremas-remas sendiri kedua payudaranya dari balik baju. “Having the real Sabrina in my life give me this kinda passion... I always wanna be fucked, and I can’t be focused on my work.”
“That’s bad for your work.” Deetou berlutut dan kini merengkuh pinggang ramping Jayne, menatap wajahnya yang jelita itu. “Do you think that an orgasm will return your focus?”
“Yes.” Jawab Jayne singkat sambil menyibakkan poni yang jatuh di dahinya dengan gerakan amat seksi. “Tapi saya jangan buat saya jadi... pingsan.” Lanjutnya mencoba berbahasa Indonesia dengan aksen aneh.
“OK, take off your clothes.” Deetou beranjak berdiri dan mengunci pintu.
Dalam hati, ia setengah berharap klien-nya akan ‘sembuh’ dari penyakitnya, meski penyakit itu berubah menjadi nymphomania, kecenderungan untuk haus akan seks hampir setiap waktu.

Jayne berdiri dari kursinya dan melepaskan pakaian. Dilipatnya kemeja dan celana panjangnya dengan rapi dan diletakkannya di atas meja, bersama bra dan celana dalam yang sudah sejak tadi tergeletak di situ.
“I want an orgasm, Deetou... but I’m afraid I can’t return the deeds with my pussy... you might knock me out if you really fuck me that hard.”
“No worries.” Ujar Deetou sambil mengeluarkan kejantanannya dari resleting celana.
Jayne langsung berlutut di depan pria itu dan menciumi penis legam berukuran raksasa itu. “Sejak bertemu Sabrina, aku merasa diriku begitu penuh birahi... tapi pemuasannya tidak harus dengan Sabrina!” Pikirnya. “Bercinta dengan Sabrina hanya membuatku merasa inferior, karena dia sesama wanita!”
Jayne membiarkan Deetou merengkuh tubuh telanjangnya dari belakang, meremas-remas pinggangnya, menciumi tengkuknya, dan memilin-milin kedua puting susunya. Matanya terpejam menikmati sambil mengangakan mulut mendesahkan kenikmatan.
“Now, Deetou... please?”
Deetou mendorong tubuh Jayne hingga wanita itu berpegangan pada tepi meja kerja dengan pinggul menungging, dan di situlah ia menikamkan kejantanannya yang sebenarnya belum terlalu keras. Namun cukup keras untuk menembus vagina Jayne yang telah merekah dan licin.
“Ahh... Ngghhh... Feels greattt...” Erang Jayne dengan tubuh terguncang. Ia melepaskan pegangannya dari meja dan membiarkan tubuhnya tersangga oleh tangan-tangan Deetou yang meremas-remas payudaranya. Remasan-remasan itu terasa begitu nikmat, namun tidak ‘sebuas’ Deetou biasanya. Begitu lembut dan romantis. Di sisi lain, hunjaman-hunjaman penis Deetou pun terasa agak lambat, namun dalam hingga menyentuh dasar rahimnya. Ia mengerang-ngerang keenakan diperlakukan seperti itu.
“Indah sekali”, pikirnya...”terlalu indah untuk datang dari seorang kawan biasa.”
Sejenak kemudian, dengan wajah mengerenyit didera kenikmatan, Jayne menggelosoh tertelungkup ke lantai dengan tubuh lemas dan vagina berdenyut-denyut menyemburkan cairan orgasme. Kali ini ejakulasinya terasa begitu nikmat meski tidak memancar sekuat biasanya, pertanda bahwa ia sama sekali tidak mencoba menahan datangnya orgasme.
“Lembut... namun sangat menghanyutkan..very intense.” pikirnya.

“Do you want me to suck that?” Ujarnya lirih dengan tatapan sayu, menatap ke arah kejantanan Deetou yang masih tampak gagah.
“No thanks.” Jawab Deetou, “...but let me fuck you slowly and cum, if it’s OK with you.”
“Sure... just don’t push too hard.” Jawab Jayne. Pembicaraan kedua orang itu terdengar casual dan sedikit ‘terlalu sopan’ untuk dua orang yang biasa saling mengumbar nafsu.
Jayne membalikkan tubuhnya hingga tertelentang dan membuka pahanya, mempersilakan Deetou menusukkan barangnya. Keduanya melenguh saat kelamin-kelamin mereka menyatu. Jayne merasa birahinya kembali muncul. Namun ia membiarkan Deetou melakukannya secara ritmik dan lembut. Ia hanya meraba-raba otot-otot dada Deetou sambil memejamkan mata dan merintih pelan. Deetou menggerakkan pinggulnya dengan cepat namun ringan. Ia tidak membenamkan seluruh kejantanannya ke dalam tubuh indah yang kini tergolek pasrah itu... ia hanya ‘mencelupkan’ ujung penisnya sambil bergerak-gerak ringan namun cepat. Kedua lengannya merengkuh punggung Jayne dan mengangkatnya sedikit, membebaskan mulutnya untuk mengulum-ngulum puting susu Jayne yang makin mengencang.
“Ia tidak ingin menatap wajahku.” Pikir Jayne. Tapi ia ingin memuaskan dirinya hari ini... “tidak apalah, toh ia sudah sering memuaskanku”. Pikir wanita itu sambil menikmati Aduhhh... nikmat sekali jika ia begitu romantis...
“Nghhh...” Bibir Jayne tak mampu untuk bertahan tidak mengerang. Matanya menyipit dan bola matanya terputar ke atas keenakan.
Beberapa menit kemudian Jayne mendapatkan lagi sebuah orgasme lembut namun amat intens... Terasa Deetou melepaskan kejantanannya, lalu dada Jayne tiba-tiba terasa seperti disiram air hangat. Deetou menumpahkannya di situ.
“Deetou...” Bisik Jayne yang masih lemas oleh orgasme keduanya. “Please hug me...”
Deetou menurut, ia memeluk tubuh lemas Jayne dan menggendongnya hingga duduk di meja kerja. Pria itu mendekap erat tubuh Jayne dan menopang dagunya dengan bahu wanita itu.
“Thanks, Jayne...” Bisiknya tulus.
“Anytime, Deetou... anytime.” Jayne mendekap pria itu erat-erat dan memejamkan mata. Sesuatu... atau seseorang sedang mengisi hatinya... Siapa?Pikir Jayne penuh analisis, sekaligus berharap.
----------------------------------
Sebuah mobil sedan lama berwarna pudar tampak terparkir di pelataran parkir staff. Mobil itu tidak biasanya berada di situ. Di dalamnya, tampak dua orang pria berjenggot lebat mengawasi gedung fakultas, seolah menanti sesuatu. Dari audio dalam mobil itu, terdengar sebuah siaran ceramah dalam bahasa mereka, yang mendefinisikan seperti apa yang disebut musuh, dan bagaimana cara menghadapinya... Menurut mereka, membunuh musuh dengan cara keji adalah salah satu bentuk kesetiaan terhadap kelompok, dan merupakan kegiatan yang amat disukai oleh sembahan mereka. Kedua pria itu mengangguk-angguk dengan senyum mantap, seolah termotivasi oleh suara dari loudspeaker itu. Tanpa sepengetahuan mereka, beberapa meter dari situ, sebuah van Hyundai Trajet besar berwarna hitam sedang terparkir, dan pengemudinya sedang mengawasi.

--------------------------------------

“OK, I’ll drop by to your place... maybe in twenty minutes.” Ujar Jayne lewat pada iPhone yang tergenggam di tangan kirinya. “That’s OK, I’ll buy your roommates dinner too if they want.”
Tubuhnya masih telanjang bulat, meski Deetou sudah beberapa lama meninggalkan ruang kerjanya. Ia tengah menelepon Sabrina sekedar untuk menanyakan kenapa ia tidak masuk kerja, dan juga untuk sekedar mengenalnya lebih jauh lagi. Ia berencana mengajak Sabrina dan kedua roommates nya untuk makan malam sebentar lagi.
“OK, Sweety, See you soon.” Bisiknya sambil memutuskan sambungan telepon.
Ia menghembuskan asap Marlboro Light-nya lewat celah di jendela yang sedikit dbukanya. Dari balik tirai, ia melihat ke arah tempat parkir dan mendapati tinggal tiga buah mobil terparkir di situ... Toyota Avanza miliknya, sebuah mobil Proton butut, khas milik mahasiswa asing miskin, dan sebuah van besar berwarna hitam yang terletak agak jauh. Menyadari bahwa hari menjelang malam, Jayne mengenakan kembali pakaiannya, merapikan rambut, dan meninggalkan ruang kerjanya.
“Hey, woman!” Jayne mendengar suara sapaan kurang ramah seorang pria saat ia meninggalkan gedung fakultas menuju mobilnya. Di kejauhan tampak dua orang pria berwajah Timur Tengah bertubuh kurus berjenggot lebat mendatanginya.
Apa lagi ini?” Pikirnya.
“Can I help you?” Balas Jayne sambil berjalan ke arah mobilnya dengan langkah dipercepat.
“You have to die!” Teriak salah satu dari kedua orang pria kurus berjenggot itu sambil mengacungkan sebuah tongkat kayu, “You woman love woman! You die and go to hell!” Cerocosnya tanpa intro yang jelas. Khas cara bicara orang Timur Tengah yang tidak menguasai bahasa Inggris dengan baik.
Jayne merasa tegang. Langkahnya terhenti karena ketakutan. Ia sendirian di lapangan parkir itu, dan pos satpam terdekat berjarak cukup jauh... berteriak takkan memberinya jaminan keselamatan. Lagipula, dari mana kedua pria fanatik ini tahu bahwa ia seorang pencinta sesama?
“I don’t know what you’re talking about!” Ujarnya sambil berusaha meraih iPhone dalam tasnya, berusaha untuk menelepon siapa saja yang dapat dihubungi.

Kedua pria kurus berjenggot makin mendekat sambil mengacung-acungkan tongkat kayu dan nyerocos dalam bahasa yang sulit dipahami. Tiba-tiba terdengar suara sebuah pintu mobil ditutup. Jayne dan kedua pria kurus itu sama-sama menengok ke arah suara tadi.
“Hi honey, sorry I’m late!” Tampak Deetou melambai ke arah Jayne yang langsung berlari ke arahnya.
“These two men are bothering me!” Jayne menunjuk ke arah dua pria brewok kurus.
Deetou langsung melangkah mendekati kedua pria itu dengan langkahnya yang lebar-lebar dan cepat, “Do you have any problem with my girlfriend?” Tanyanya setengah membentak.
“Ah, she’s your girlfriend, brother?” Salah satu pria brewok tampak ketakutan melihat tubuh Deetou yang dua kali lebih besar darinya, dan buru-buru melempar tongkat kayu yang dibawanya ke tanah.
“This is mistake, mistake...” Pria brewok yang satu lagi berusaha menjelaskan.
“What mistake?” Deetou kini berdiri di hadapan kedua orang itu dengan senyum lebar namun mengintimidasi. Kedua lengannya yang memiliki lingkar sama dengan pinggang Jayne kini tampak terbuka karena ia menggulung lengan bajunya hingga hampir ke bahu. “Explain to me.”
“We think she love woman, brother.” Jawab salah satu pria brewok. “Woman love woman, wrong! Have to kill!” Lanjut rekannya, juga dengan bahasa Inggris belepotan yang menjengkelkan.
“She’s my girlfriend, do I look like a woman?” Bentak Deetou sambil mencondongkan badan ke depan, menunjukkan kepalanya yang tercukur licin mengkilat tanpa rambut, berikut otot-otot lengannya yang berukuran sebesar paha orang normal.
“No, no, no, brother... it’s mistake...” Jawab kedua brewok kurus itu nyaris bersamaan dengan bahasa Inggris amat buruk beraksen Timur Tengah.
Di saat yang sama, sebuah mobil Pajero berwarna hitam mengkilap terlihat memasuki pelataran parkir. Kedua pria brewok itu tampak makin ketakutan saat mobil itu berhenti di belakang mereka. Jayne yang kini berlindung dalam van milik Deetou memperhatikan semuanya dengan seksama dan merekamnya dengan iPhone. Empat orang pria turun dari Pajero hitam. Semuanya tampak berbeda. Satu orang berwajah Asia bertubuh pendek berkulit kuning, satu orang pemuda berkulit legam bertubuh jangkung, satu orang pria berkulit putih berambut pirang, dan satu lagi berwajah Timur Tengah namun mengenakan kemeja kerja rapi berdasi. Si pria Asia merampas kunci mobil dari tangan kedua brewok kurus, sementara tiga pria lainnya meringkus kedua brewok dan memasukannya ke Pajero hitam tadi.

Si pria Asia sempat berbicara beberapa patah kata dengan Deetou sebelum masuk ke mobil butut milik pasangan brewok tadi dan membawanya pergi. Kini tinggal Deetou satu-satunya pria yang tersisa di lapangan parkir sambil membaca sebuah pesan pendek di blackberry Playbook-nya bertuliskan, “Make sure the prof STFU, we cant take any further risk.”
“Who are they?” Tanya Jayne saat Deetou masuk ke dalam van-nya.
“Just a couple of troublemakers, maybe from Pakistan or Afghanistan...” Jawab Deetou sambil menyalakan mesin mobilnya, “...Your country are too nice to them... Just because they claim that they have that particular religion, that doesn’t mean that they’re not troublemakers!”
“I know that.” Sahut Jayne, “Who were the men from the big black car?”
“Interpol people.” Deetou mengarang. “They are friends of mine. I’ve called them before coming out from the car to save you.”
“Thanks for that...” Bisik Jayne saat ketegangannya mulai reda, “They freaked me out...”
“No worries...” Jawab Deetou sambil mengusap rambut Jayne yang kini menyandarkan kepala di pahanya, “You are safe now... you can go home.”
“I can’t... I’m totally freaked out... Scared.” Bisik Jayne dengan suara agak bergetar. “They wanted to kill me...I-I dunno what would’ve happened without you around...” Suaranya makin bergetar dan tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu sambil membenamkan wajah pada celana Deetou. Sikap tegar dan kerasnya tampak tak tersisa.
“Jayne, chill out...” Bisik Deetou sambil mengusap rambut panjang wanita itu. “I’ll stay with you tonight, OK?” Ia memegang tengkuk Jayne dan merasakan bahwa wanita itu kini sedang amat tegang dan denyutan jantungnya amat cepat.
“I promised to take Brina out for dinner.” Bisik Jayne lirih saat ia kembali duduk di jok sebelah pengemudi. “We’ll gonna have a dinner with her roommates.”
“Cancel that. If you want.” Jawab Deetou singkat. “Say that you have to run an errand tonight, and tomorrow should be great!”
Jayne sempat tertegun mendengar kalimat Deetou terdengar seperti perintah. Namun egonya telah hancur oleh rasa takut yang amat sangat. Seseorang baru saja mengancam akan membunuhnya. Ia menurut dan mengirimkan SMS pada Sabrina untuk membatalkan janji makan malam. Di saat yang sama, Blackberry Playbook milik Deetou menunjukkan sebuah BBM lagi, kali ini cukup panjang. “The two crooks are students, and they often call Prof Zain and Dr Hazik. Ring a bell?” Deetou melirik ke wajah Jayne saat membaca pesan itu.
Sesuatu berhubungan dengan wanita ini.” Ia langsung membalas pesan itu singkat, “take 'em to our safehouse, I wanna hear 'em sing.”
“Are you still afraid, Jayne?” Deetou menatap ke arah wajah Jayne yang kini tampak seputih kertas dan matanya tampak sembab. Ia tampak seperti hantu di film horror Jepang dalam kondisi seperti itu.

Jayne mengangguk. “Please don’t leave me.” Bisik Jayne sambil kembali membaringkan tubuh di console box, dengan kepala berbantalkan paha Deetou yang duduk di kursi judi. “Take me anywhere, but don’t leave me... I don’t wanna die.”
Deetou mengelus rambut Jayne dan menjalankan mobilnya meninggalkan tempat parkir.
"Are they students?" Tanya Jayne setelah mobil berjalan agak lama. "I mean the two bad guys."
"Probably." Deetou menjawab, "If that's the case, the interpol will call their supervisors too."
"I don't like to be around malays and arabs." Jayne berbisik pelan, "They're evil." Mereka selalu mengganngguku! Mereka membunuh teman-temanku di New York saat 911! Pikiran Jayne berkecamuk.
"No worries, Jayne..." Deetou menenangkan, "...they won't bother you anymore." Dalam hati, pria itu merasa perlu menggali lebih jauh. "Where do you wanna go now?"
"Anywhere... Just don't leave me." Jawab Jayne masih sesekali terisak.
Deetou harus menginterogasi kedua penyerang tadi, dan keberadaan Jayne tidak memungkinkan hal itu terjadi. "I have to run an errand now... I'll drop you at Sabrina's, and I'll pock you up later, cool with that?"
"What if they come to Brina's?" Jayne terdengar amat ketakutan.
"Her condo is guarded." Jawab Deetou menenangkan, "...and I'll be picking you up in 2 hours, and I'll take you to my place, 'kay?."
Jayne akhirnya setuju untuk 'dititipkan' ke rumah Sabrina yang juga tidak keberatan saat Deetou menelepon dan menceritakan segalanya.

#############################
"Would you like anything to drink, Prof?" Tanya Saori pada tamunya. Saori ternyata pernah menghadiri satu mata kuliah Jayne semester sebelumnya. "Water, Coffee, Calsberg, Asahi, Tiger?"
"I'll try Asahi." Jawab Jayne lirih, "Neva tried that before... Thanks."
Saori segera beranjak ke dapur.
"She looks depressed..." Bisik Saori pada Damiana yang sedang mencuci piring.
"She's damn hot!" Sahut Damiana, "I think I could f*ck her all nite long!"
"Hey! She's into Brina." Jawab Saori menjulurkan lidahnya.
"I don't think she's a lezbo, though...". Ujar Damiana sambil mengamati Jayne yang sedang duduk di sofa ruang tamunya. "Even though she wanks at Brina's pictures... She's probably a Bi."
Keduanya kembali ke ruang tamu untuk bergabung dengan Jayne dan Sabrina di sofa. Jayne menceritakan semua yang baru dialaminya di pelataran parkir.
"Silly fanatics!" Celetuk Saori usai mendengar cerita Jayne.
"I wonder how they heard such things." Ujar Sabrina, "I saw many of openly gay men here in your country, Jayne...and I've never heard about them being attacked by fanatics."
Sebagai mahasiswi S2 di bidang kriminologi, Damiana sedikit merasa tertantang, "I believe that the lezbo issue is just a cover up." Ujarnya menganalisa. "Prof, do you have any enemies? I mean anyone who dislikes you?"
"I know that some people are jealous of my professorship.” Jayne menghela nafas. “But I don't think they will go that far... killing me will put them in a deep shit."
"But if the issue was about being a lez, Sabrina could be in danger too..." Sahut Damiana.
Jayne tertegun dan menatap ke arah Sabrina.
"Damiana and Saori knew about us." Jawab Sabrina tegas, "They are my best friends here."
"Who else know about you two?" Tanya Damiana penuh selidik.
"Deetou." Sabrina dan Jayne menjawab hampir bersamaan.
"And he was accidentally there when they attack Prof. Lee?" Damiana terdengar agak mendesak Sabrina untuk melihat kemungkinan bahwa Deetou terlibat serangan itu.
Keempat wanita itu terdiam memikirkan berbagai kemungkinan.
“He’ll come to pick her up.” Sabrina memecah keheningan. “I’ll have some words with him later.”
“Are you sure it is safe to let him come?” Damiana kembali ‘menyerang’. “He might bring his pals and hurt us here.”
“No he won’t... trust me.” Sabrina meyakinkan, “If he wanted to hurt Jayne, he could have done it long time ago.”

##########################################

Deetou

Tak jauh dari situ, Deetou memarkir mobil besarnya di depan sebuah rumah. Di depan mobil Hyundai Trajet itu tampak sebuah Pajero berwarna hitam mengkilap. Sekedar kebiasaan, Deetou menyentuh kap mesinnya untuk memastikan berapa lama mobil itu terparkir di situ sebelum melangkah masuk ke halaman dan mengetuk pintu depan.
“How’s the prof-girl?” Sapa Obinna Garba yang membukakan pintu.
“I dropped her at the pussycat’s” Jawab Deetou singkat sambil melangkah masuk, “How’s she interview?”
“They had sang the complete song.” Sahut Obinna sambil membuka sebuah file video pada Blackberry Torch nya, “Here, check it out.”
Deetou mengamati rekaman video berisi interogasi itu. Tampak kedua penyerang Jayne yang matanya ditutup handuk basah sedang duduk terikat di kursi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan bahasa Inggris buruk, namun lengkap. Nada suara mereka terdengar ketakutan. Dari video itu Deetou menyimpulkan bahwa mereka mengikuti pertemuan rutin berkedok acara religius di rumah salah seorang professor. Di rumah itulah mereka sering mendengar kotbah-kotbah bernada provokatif. Saat mereka ditanya kenapa mereka menghubungi sejumlah nama, termasuk Prof. Zain dan Dr. Hazik, mereka hanya menjawab untuk mencari tahu di mana alamat pertemuan berikutnya. Mereka juga mengaku bahwa serangan atas Jayne dilakukan atas inisiatif sendiri saat mereka mendengar isu bahwa Jayne adalah seorang lesbian. Di situlah video itu selesai.
“Are they still here?” Tanya Deetou sambil mengembalikan gadget itu pada Obinna.
“Upstairs.” Jawab Obinna sambil meminta Deetou mengikutinya ke lantai dua.
“Please stay, I can handle them alone.” Ujar Deetou.
Sendirian, pria bertubuh raksasa itu mendatangi kedua penyerang Jayne yang matanya masih tertutup. Dengan tangannya yang kekar ia membuka kain-kain penutup mata kedua orang itu, membiarkan mereka melihatnya.
“Salam... sorry for this.” Ujar Deetou sambil menggoyangkan handuk basah itu di depan mata kedua pria brewok.
“Why you do this to us, brother?” Salah satu pria berjenggot itu tidak terima, “It’s a mistake, we said sorry, we don’t know she your girlfriend.” Lanjutnya dengan bahasa Inggris terlalu buruk untuk telinga Deetou yang membenci ketidak sempurnaan.
“I want to know.” Deetou memperlambat kalimatnya agar mudah dimengerti, “Who told you that she’s a lesbian?”
“She’s what?” Tanya salah satu pria berjenggot dengan nada ngotot namun amat bodoh.
“Who told you that she loves women?” Deetou menyederhanakan pertanyaannya.

Salah satu dari tawanan itu menjawab. “Professor Zain say, woman have to serve man... Also have to die because love woman!”
“Tidak terlalu menjawab pertanyaan.” Pikir Deetou, ia makin sebal mendengar bahasa Inggris yang kacau balau itu, namun akhirnya ia mengikuti cara bicara tawanannya, “Did Prof. Zain tell you that she loves woman? I want to know!”
“No...” Kedua tawanan menjawab hampir bersamaan.
“But, she become professor.. become leader.” Jawab salah satu tawanan lagi, “Only man can become leader, woman cannot... Some more, woman love woman... have to die!”
Dalam hati, Deetou sebal karena universitas tempatnya bekerja tidak memberlakukan ujian IELTS atau TOEFL untuk mahasiswa asing. Kini ia bersusah payah mencoba menginterpretasikan jawaban sepotong-sepotong itu.
“Zain cemburu pada kesuksesan Jayne? Masuk akal” Pikirnya.”Menggosipkan Jayne sebagai lesbian? Tampak tidak mungkin... baru siang tadi Zain tampak gembira ditunjuk untuk bergabung dalam proyek Jayne... “
“OK, talk to Prof. Zain... say you kill the woman!” Ujar Deetou sambil meraih sebuah Nokia tua di lantai, milik salah satu tawanan. Menu dalam bahasa Arab tidak menyulitkannya untuk menemukan nama Prof. Zain dan mengontaknya.
“Tell him you’ve killed her!” Deetou menekankan kalimatnya.
“But... I don’t kill her?” She’s not dead!” Si tawanan melawan.
“Just say it or I kill you!” Bentak Deetou sambil memasang mode speakerphone.
“Salam, Majeed?” Terdengar suara parau di ujung lain sambungan telepon, “How are you?”
Deetou mencengkeram leher kurus si jenggot dengan tangan kirinya yang kekar itu hingga tawanannya itu nyaris tercekik. “Tell him you kill her!”
“Prof Zain...” Jawab si jenggot lagi, “I kill your friend!”
“WHAT?” Suara Zain terdengar amat terkejut, “Who?”
Deetou makin kuat mencengkeram, “Answer him!” Bisiknya.
“The woman love woman... I kill her...”
“WHAT? WHO? You are crazy, Majeed!” Zain terdengar panik.
Deetou memutuskan sambungan telepon. Dari nada suara Zain, ia bisa menyimpulkan bahwa si professor tidak terlibat dalam serangan itu. Ia mungkin saja cemburu pada sukses Jayne, namun bukan dia dalang dari serangan itu. Ia mencoba lagi menghubungi orang melayu lain yang terlibat dalam proyeknya, Dr Hazik, dengan cara yang sama, dan mendapat reaksi yang sama. Bukan mereka provokatornya... . Mereka mungkin saja berpidato tentang ‘keburukan’ pemimpin wanita atau homoseksual, tapi mereka tidak secara spesifik menunjuk seseorang. Pria bertubuh besar itu kembali ke lantai bawah.
“The Malays are not behind this.” Ujarnya pada Obinna di lantai satu. “We gotta find the brain before it gets really wrong.”
“Dude, the HQ told me to dispose the two morons up there... They've seen us. Do you still have any question for them?” Jawab Obinna, “I mean... before we dispose them.”
Deetou agak merinding mendengar bahwa kedua orang kurus berjenggot itu akan dihabisi oleh ‘kantor’ nya. Namun, begitu ia mengingat akan sejumlah teman yang menjadi korban beberapa pengeboman di Indonesia, juga ‘penetrasi budaya’ yang belakangan ini makin marak di tanah airnya, seluruh keraguannya lenyap. “Just dispose them now.” Ujarnya pada Obinna sambil melangkah meninggalkan rumah itu.
Dari halaman rumah, ia bisa mendengar suara dari jendela lantai dua yang tak tertutup; suara sesuatu patah dan suara orang seperti mendengkur, keras dan menjijikkan, untuk kemudian kembali sunyi dan Obinna tampak melambaikan tangan dari jendela.

#################################
“Your hunk called the Interpol, that’s weird!” Damiana masih melanjutkan diskusinya dengan Sabrina dan Saori di ruang tamu kondo mereka, sementara Jayne telah terlelap di kamar tidur Sabrina.
“Oh, by the way, I think we met him this afternoon at KFC.” Saori memotong pembicaraan serius Damiana, “He looks damn scary with that size and his shiny head! I wonder how you could be... interested in him.”
“He’s cool, and he’s nice.” Sabrina menjelaskan singkat, “...and he’s Jayne’s personal psychologist.”
“...and now he’s playing hero by calling Interpol for such a little harassment!” Damiana mengembalikan pada pokok permasalahan. “...and don’t forget one thing; Jayne said, the Interpol guys came and suddenly busted the attackers, without even questioning Jayne!”
“Well... I guess one of the Interpol guys is his expat buddy.” Sabrina mencoba mencari kemungkinan paling netral. “...and the way he tried to secure Jayne’s position in the faculty showed that he’s REALLY into Jayne, you know what I mean.”
“But you said he made love to you emotionally.” Saori mengingatkan Sabrina akan percintaannya dengan Deetou dalam mobil vannya. “I think he wants to protect Jayne just for the sake of the project.”
Sebuah ketukan di pintu membuyarkan diskusi panjang itu. Sabrina bangkit berdiri dan membukakan pintu untuk si tamu tengah malam, yang ternyata adalah Deetou.
“Hi, is everything allrite?” Sapa Deetou saat Sabrina mempersilakannya masuk.
“She’s snoring like a pig.” Jawab Sabrina, “Meet my roommates, Saori and Damiana.”
“Yeah, saw them this morning at KFC.” Jawab Deetou sambil melambaikan tangan ke arah dua gadis itu, “Well... Do you think I should take her home or let her stay here tonite?”
“I’ll come with you.” Tiba-tiba terdengar suara Jayne yang muncul dari balik pintu kamar tidur Sabrina. Ia tampak mirip hantu dengan wajah pucat dan rambut panjangnya berantakan hampir menutupi seluruh wajahnya. Apalagi ia meminjam kaos oversized milik Sabrina yang berwarna putih, menjadikannya mirip tokoh Sadako dalam film “The Ring”.
“Damn, you look creepy!” Deetou mencoba berseloroh, “OK, get ready and we’ll take off.”
“I’m ready.” Jawab Jayne, masih dengan suara dan postur mirip hantu.
“I’m coming with you guys.” Sabrina menimpali sambil bergegas meraih dompet dan ponselnya, “Let’s go.”
Ketiganya segera mohon diri dan meninggalkan kondo itu, membiarkan kedua penghuni yang tersisa melanjutkan diskusi.
“He dropped her at the security guard’s post before, rite? And, Brina was waiting there...” Damiana tampak seperti menganalisa sesuatu. “I wonder if Brina ever told him about the number of this house.” Damiana bergumam... Deetou langsung datang dan mengetuk pintu rumah ini. Bagaimana ia tahu alamat persisnya? Pikirnya.
“Damn! her boyfriend is mysterious and her girlfriend is creepy!” Saori menimpali...
“...and that creepy girlfriend left her iPhone on the sofa.” Damiana meraih ponsel milik Jayne yang tertinggal dan buru-buru berlari ke pintu.
“Just keep it for awhile.” Saori menghentikan langkah Damiana, “She needs some rest, I believe.”

#############################

Sabrina

Unit kondominium tempat tinggal Dr Deetou Preehad terasa sangat mewah meski berukuran tidak terlalu besar. Unit itu terletak di lantai 33 dengan pemandangan laut yang tampak kelam di malam hari. Sabrina menemani Jayne di kamar tidur tamu hingga professor itu tertidur, lalu kembali ke ruang tamu.
“Lo latihan tiap malam?” Tanya Sabrina yang mendapati Deetou sedang melatih otot punggungnya menggunakan sebuah barbell yang tampak begitu besar dan berat.
Deetou baru menjawab setelah menyelesaikan sejumlah repetisi, “Iya... biar cape sebelum tidur.” Ia masih mengenakan celana kerja, namun bertelanjang dada, membiarkan otot-otot tubuhnya terpampang jelas di depan mata Sabrina yang menelan ludah.
“Badan lo terbentuk banget ya?” Ujar Sabrina, “Kemarin pas di mobil ga keliatan... lo pake steroid?”
“Nggak.” Jawab Deetou singkat, “Suplemen protein iya, kalo steroid enggak... ntar impoten.”
“Jangan pake steroid deh kalo gitu.” Goda Sabrina sambil melangkah mendekat, “Ntar percuma dong gua kenal sama elo, hihihihi.”
Deetou tersenyum sambil melepaskan enam piringan beban seberat dua puluh kilogram dari tongkat barbell dan mengembalikannya ke tempatnya. Unit kondo berwarna serba putih itu memang tampak mirip gym pribadi, dengan rak dumbbell dan barbell berjajar menghiasi salah satu sudut ruang tamu.
“Duduk sini, Brin.” Deetou melemparkan tubuh besarnya ke sofa yang menghadap ke sebuah dinding kosong, tanpa televisi ataupun sound system. Dinding kosong itu berfungsi untuk memproyeksikan gambar dari laptop lewat sebuah proyektor yang tersembunyi rapi dalam sebuah lemari putih di seberang ruangan.
“Hidupnya terkesan monoton, meski disiplin.” Pikir Sabrina saat melihat berkeliling ke rumah Deetou, “Rumah lo lumayan besar ya? Berapa kamar nih, Ditt?” Tanyanya sambil mencoba mencari pintu kamar.
Pintu kamar tidur tamu yang dipakai oleh Jayne tadi memang tampak mirip salah satu panel kayu berwarna putih, yang terjajar berselang-seling dengan panel berwarna hitam di dinding. Secara keseluruhan, living room kondo itu terkesan tidak berpintu karena pintunya tersamarkan seperti jajaran panel dinding hitam putih. Sofa, meja kopi, meja makan, kursi makan, sampai minibar dalam ruangan itu berwarna putih dan tidak ada yang membentuk lengkungan. Bahkan kusen jendela dan pintu kaca ke balkonnya pun berwarna putih bersih. Hanya lantai, beberapa panel dinding, barbell dan dumbbell tadi yang berwarna hitam. Memberi ruangan itu nuansa black and white yang terkesan rapih namun somehow ‘tertutup’ dan kaku.
“Tiga.” Ujar Deetou sambil menelentangkan tubuh di sofa, mengamati tubuh indah Sabrina yang tengah mengagumi rumahnya, “Satu kamar utama, dua kamar tamu... tapi kamar tamu yang satu lagi gua jadiin wardrobe, buat nyimpen pakaian.”

Tiba-tiba Sabrina menjatuhkan dirinya di atas tubuh Deetou yang sedang terlentang. Matanya menatap mata pria berkepala licin itu dari dekat sambil menyunggingkan senyum. “Kalo gua ga ikut, Jayne udah lo apain hayooo?” Goda Sabrina sambil memainkan telunjuk lentiknya di wajah Deetou.
“Udah gua geletakin di kamar tamu, terus gua tinggal latihan.” Jawab Deetou, “Gua ga ada jadwal ML malam ini kalo misalkan lo ga kesini.”
“Eh?” Sabrina mengangkat alis kirinya, pura-pura jengkel, “Sekarang jadi ada dong jadwalnya? Gara-gara gua ke sini.”
“Iya.” Jawab Deetou singkat sambil melingkarkan lengan-lengan raksasanya ke pinggang ramping Sabrina. “Di balkon mau?” Lanjutnya.
“Nggg...” Sabrina mengerang manja sambil meraba otot-otot di bahu Deetou. “...kok sukanya di tempat-tempat aneh sih? Mobil, balkon? Di ranjang aja kenapa?” Mengakhiri kalimatnya ia mendekatkan wajahnya, membiarkan pria itu mengagumi keindahan wajahnya.
“Apa di sini aja?” Bisik Deetou sambil mengamati indahnya alis, mata, hidung, dan bibir Sabrina yang saat itu tampak begitu sempurna. Tangannya meremas-remas pinggang ramping Sabrina, dan perlahan bergerak ke atas menuju ke dadanya.
“Ngg... ngga lah...” Sabrina mengecup singkat bibir tebal Deetou, “...ada temen barusan dapet musibah kok malah mo ML...” Godanya. “...ntar kalo Jayne bangun trus keluar gimana?”
“Bukannya elo yang manjat gua?” Deetou meremas kedua payudara Sabrina dengan lembut sambil menciumi rahangnya hingga wanita itu sedikit menyipit. “Gua mandi dulu ya? Ga enak nih, keringetan.”
“Mandi bareng aja, yuk?” Bisik Sabrina makin menggoda, “Kamar mandi lo cukup gede ngga?”
Pria besar itu tidak menjawab. Ia merengkuh erat pinggang Sabrina dan mengangkatnya dengan ringan hingga keduanya kini berdiri berhadapan. “Ke sini...” Ia menarik lengan Sabrina menuju ke salah satu sisi dinding.
Deetou mendorong panel yang ternyata adalah pintu menuju ke kamar tidur utama. Sabrina sempat terkagum melihat apa yang dijumpainya di situ. Kamar tidur itu beralaskan karpet tebal berwarna putih, sewarna dengan ranjang berukuran single yang terletak di tengah ruangan. Sisi lain dari kamar itu dipenuhi oleh kaca yang menghadap ke gemerlapnya lampu malam hari di kota tua tempat mereka tinggal. Seperti di ruangan lainnya, dinding kamar itu putih dan kosong. Hal lain yang menarik adalah bahwa lampu yang menerangi kamar itu tidak menempel di langit-langit, melainkan dari bagian bawah dinding-dindingnya. Hingga siapapun yang masuk dalam kamar itu terlihat berbeda dari biasanya, di mana matahari dan lampu menyinari dari arah atas.
“Woow, bagus banget kamarnya!” Sabrina memuji tulus sambil melangkah berputar-putar di kamar yang sebenarnya tidak terlalu luas itu.
“Kamar mandinya di sini.” Ujar Deetou melangkah ke sebuah panel kaca buram dan menggesernya.

Kamar mandi itu berukuran amat kecil, namun interiornya terkesan mewah. Di dalamnya hanya terdapat sebuah showerbox, sebuah toilet duduk dilengkapi berbagai tombol, dan sebuah washtafel yang kering dan berbentuk kotak. Deetou menekan sebuah tombol dinding dan langit-langit showerbox itu memancarkan air hangat.
“Gua mo mandi dulu.” Ujarnya sambil melepaskan celana, membiarkan tubuhnya telanjang di hadapan Sabrina, “Lo mo ikut?”
Sabrina berlari kecil ke arah kamar mandi yang masih terbuka itu sambil melepaskan pakaiannya. Ia tiba dalam kamar mandi dalam kondisi telanjang, sama seperti Deetou. “Ikuuut!” Katanya kekanakan.
“Eh, bajunya ntar diberesin ya!” Deetou melirik keluar kamar mandi, “Masa berantakan di lantai gitu?” Dasar impulsif! Pikirnya.
“Iya, oom.” Canda Sabrina sambil nyelonong masuk ke showerbox, membiarkan air hangat mengguyur tubuh telanjangnya. Dasar Obsesif-Kompulsif! Pikirnya.
Deetou menyusul masuk ke showerbox, menutup pintu, dan langsung mendekap tubuh Sabrina. Di bawah guyuran shower hangat itu keduanya berciuman erat. Warna kulit mereka tampak kontras, yang satu begitu legam sementara yang satu lagi begitu putih dan cerah. Wajah Sabrina tampak begitu segar saat guyuran shower membasahi dan menjatuhkan rambut coklatnya ke belakang tengkuknya.
“Cantik banget...” Bisik Deetou sambil melepaskan ciumannya dari bibir Sabrina.
Mulut itu langsung menciumi tengkuk dan rahang indah milik wanita itu, sejenak melupakan perbedaan kepribadian antar mereka. Sabrina memejamkan mata. Kepalanya tidak menengadah karena tidak ingin matanya kemasukan air yang menghujaninya dari atas. Tubuh langsingnya bersandar ke dinding, membiarkan Deetou menjelajahi bahu dan pangkal lengannya.
“Aduhhhh...” Sabrina mengerang saat mulut Deetou tiba di payudaranya. Seperti sebelumnya, bibir-bibir tebal itu melahap seluruh bulatan payudara kanannya, membuatnya merasa seperti diselimuti oleh kehangatan yang melemaskan. “Uhkkk...” Ia mengerang tertahan saat puting susunya tersambar oleh lidah hangat yang berputar-putar di atasnya.
Deetou bergantian menghisap seluruh payudara Sabrina hingga bongkahan-bongkahan daging itu kini bersemu merah. Puting-puting susu yang ikut terisap itu tampak mengencang. Puting Sabrina memang begitu indah, berwarna merah jambu dan berukuran begitu besar, memudahkan siapapun untuk mengulumnya. Saat tegang seperti ini, benda itu tampak begitu tinggi dan makin merah. Seperti tak kunjung bosan, Deetou terus merangsang kedua payudara itu dengan gerakan-gerakan tak terduga.
“Nghh... Aduhhh... Dittt... Enak bangettt... Shhhh...” Bibir tipis Sabrina tak henti-hentinya mendesah dan merintih meski tidak terlalu terdengar karena tertutup bunyi berisik jatuhnya air shower ke lantai.
Wanita itu pasrah menyandarkan diri di dinding sambil menikmati rangsangan itu membuai dirinya. Deetou melepaskan payudara Sabrina dan merengkuh wanita itu sambil menempelkan tubuhnya erat-erat. Payudara-payudara Sabrina yang kian sensitif itu menekan dan bergesekan dengan otot-otot perut Deetou, membuat wanita itu terpejam-pejam. Ia mengangkat paha kiri Sabrina dan melingkarkan benda jenjang itu ke tubuhnya yang legam hingga kini kejantanannya mulai menyentuh-nyentuh perut Sabrina yang amat langsing dihiasi enam tonjolan samar.

Sabrina mengerang saat bibir-bibir Deetou kembali menjelajahi lehernya. Ia merasa sangat terangsang saat itu, namun rangsangan itu terasa begitu indah, tidak hanya dipenuhi birahi... ia juga merasa gemas, damai, tenteram, sekaligus nikmat...
“Deetou...” Bisiknya di telinga pria itu.
“Ya?” Jawab Deetou sambil terus merengkuh tubuh Sabrina.
“Masukin, dong?” Bisik Sabrina lirih, hampir tertelan suara gemericik shower. Ia berjinjit di atas tumitnya hingga ujung kejantanan Deetou kini bersentuhan dengan bibir vaginanya yang telah sejak tadi melelehkan cairan pelumas.
“Bentar lagi ya...” Bisik Deetou sambil menggeser pintu showerbox terbuka dan menekan sebuah tombol di dinding. “...di ranjang aja...” Pria itu lalu kembali melahap payudara Sabrina, membuat pemiliknya tersentak dan mengaduh-aduh keenakan lagi.
Pancaran air shower perlahan mereda. Berganti dengan hembusan angin hangat dari dua sisi dinding showerbox, mengeringkan tubuh-tubuh basah di dalamnya. Meski kagum atas fasilitas itu, Sabrina hanya mampu mengangkat alis karena mulutnya masih mengerang-ngerang merasakan puting-putingnya mendapat rangsangan bertubi-tubi. Deetou mengangkat tubuh Sabrina sambil terus menjilati puting susunya. Sambil menggelinjang-gelinjang, Sabrina berpegangan pada leher Deetou agar tidak terjatuh saat ia dibopong keluar dari kamar mandi. Tubuh-tubuh mereka telah hampir kering, meski vaginanya tetap basah karena ia begitu terangsang.
“Nghh...” Sabrina mengerang saat Deetou menjatuhkannya di atas ranjang berukuran single itu. Mulut-mulut Deetou seperti tak mau lepas dari kedua susunya. Wanita itu kini mulai merasakan rangsangan yang sebenarnya. Ia menggeliat-geliat sambil mendekap erat tubuh Deetou dengan wajah cantiknya mengerutkan kening dan menggeretakkan gigi, mendesah-desah mengekspresikan kenikmatan. Tiba-tiba vaginanya mulai berdenyut-denyut. “Dittt... g-gua hampirrr... Aduhhhh...”
“Let it go...” Bisik Deetou sambil terus melumat-lumat puting-puting susu yang kini telah membengkak itu. Jemari raksasanya tiba-tiba menjentik-jentik klitoris milik Sabrina.
“Aduh, aduhhh... Deetouuuu...” Erangan Sabrina terdengar panik saat vaginanya mulai dijamah. Ia seperti tak mampu lagi mengendalikan diri untuk tidak segera mencapai klimaks. Tangannya berusaha mencari pegangan di ranjang, namun kain sprei yang digunakan Deetou berbahan licin dan anti-kusut karena ia tidak menyukai kekusutan... Tubuh semampai Sabrina makin liar menggeliat-geliat, tangannya mencengkeram tengkuknya sendiri, wajahnya tampak mengekspresikan rasa terangsang yang hampir meledak. Sambil melumat-lumat puting susu dan merangsang klitoris Sabrina, Deetou melirik ke atas, menatap wajah Sabrina yang kini tampak begitu ‘menderita’ didera rangsangan.
“Ekspresi Sabrina Yuzuki saat berusaha mengendalikan birahi”, pikirnya menilai ekspresi di hadapannya.
Ia meningkatkan intensitas rangsangannya; lidahnya berputar-putar menjentik dan mengait-ngait puting susu Sabrina bergantian, sementara dua jarinya yang besar itu kini menyelip masuk ke dalam liang vagina yang telah licin dan berdenyut-denyut.

Sabrina makin kelojotan dan meronta-ronta, seolah berusaha menghentikan rangsangan yang mendera tubuhnya. Di sisi lain, jiwanya tak menginginkan rangsangan itu berhenti.
“Aduh, aduhhhh... Deetouuu... aduhhhhh... s-stop, Dittt... g-gua... Aduhhhhh enak bangettt... Ahkkk...”
Erangannya terdengar tak menentu, nafasnya terasa tertahan-tahan. Kenikmatan dari puting susu dan vaginanya makin terasa tak terkendali... bagian dalam vaginanya terasa amat kegelian dijentik-jentik oleh jemari Deetou, rasa geli itu seperti menyambar-nyambar tubuhnya...
Aku akan mengalami ejakulasi,” pikir Sabrina merasa tak mampu menahan gejolak dalam tubuhnya itu.
Jemari Deetou berganti dengan penisnya. Benda besar itu menyelip masuk ke dalam tubuh Sabrina dengan tiba-tiba, membuat wanita itu tersentak dan mendongakkan wajahnya ke atas dengan mata terputar. Orgasme datang menyambar... cairan bening menyembur dari vaginanya dan membasahi perut Deetou... berulang-ulang semburan itu memancar sebelum akhirnya reda... namun Deetou justru malah memulai percintaan. Ia merengkuh tubuh lemas Sabrina dan menghentak-hentaknya dengan pinggul, membuat tusukan-tusukan kejantanannya menembus begitu dalam, bertubi-tubi. Setengah pingsan didera orgasme yang amat intens, Sabrina masih mampu merasakan percintaan dahsyat itu. Vaginanya yang masih amat sensitif akibat orgasme itu kini merasakan nikmat yang keterlaluan dari gesekan-gesekan tekstur penis Deetou. Puting-puting susu di dadanya kini bergantian menerima jilatan-jilatan singkat dari lidah Deetou bergantian. Wanita itu kewalahan menahan rasa nikmat yang memang datang secara berlebihan itu. Ia terlalu lemah untuk mengerang atau mendesah, namun kenikmatan terus menerus menghajarnya. Bahkan otot-otot wajahnya seperti tak lagi mampu untuk mengerutkan kening atau menggeretakkan gigi... Matanya setengah terbuka dengan bola mata terputar ke atas, menampakkan hanya bagian putihnya saja... mulutnya ternganga tak mampu lagi bersuara... Namun ia tetap sadar, meski tak merasakan apa-apa selain kenikmatan dan kenikmatan. Dengan pasrah, Sabrina membiarkan badannya dinikmati sehabis-habisnya oleh Deetou yang dengan ringan membolak-balikkan tubuh semampai itu. Sesekali ia menelentang beralaskan tubuh Deetou yang menyodok-nyodok dari belakang, sesekali tubuh lemas itu menungging dengan kaki menjuntai ke lantai sementara Deetou terus menghunjam-hunjam. Sesaat kemudian, keduanya berguling-guling di atas karpet hingga akhirnya kini tubuh Sabrina tertelentang, dengan pinggang menyamping. Tubuh semampai itu tampak begitu sensual saat terpelintir dengan kaki-kaki panjangnya terlempar ke samping, namun dadanya menghadap ke atas dengan tangan-tangan Deetou terus meremas-remas gemas. Wajah Sabrina kini makin tampak redup. Matanya kini nyaris terpejam, menampakkan hanya bagian putihnya saja, bibirnya setengah ternganga, menunjukkan ekspresi yang sangat pasrah, penuh penyerahan diri, dan terbuai kenikmatan tiada tara. Tak mampu lagi menahan ‘siksaan’, akhirnya Sabrina jatuh tak sadarkan diri.

Kegelapan dan kenikmatan menyelimuti tubuhnya, merenggut segenap tenaga dan memorinya. Ia tak ingat saat Deetou mencabut kejantanan dan menyemburkan isinya ke leher dan payudaranya. Ia tak ingat saat Deetou mengecup keningnya. Ia bahkan tak ingat saat tubuhnya dibopong naik ke ranjang dan dibiarkan beristirahat di situ. Deetou memungut satu per satu pakaian Sabrina yang terserak di atas karpet kamarnya. Dengan tisu basah, ia mengelap cairan vagina yang berleleran di dinding dan karpet. Ia bahkan meletakkan handuk kecil untuk mengalasi rambut Sabrina yang masih basah oleh air mandi tadi. Setelah memastikan semuanya bersih, baru pria itu merasa puas dan menatap keindahan tubuh semampai yang kini tergolek tak berdaya di atas ranjangnya. Dalam hati, pria itu masih merasa harus menyembuhkan gejala obsessive-compulsive dalam jiwanya, yang membuatnya senantiasa perlu melihat segala sesuatunya teratur, bersih, dan terorganisir sebelum bisa merasa puas... Baginya, kenikmatan dalam seks hanya berbentuk visual; memandangi keindahan dan kecantikan lawannya. Bahkan sebuah orgasme tak mampu membuat jiwanya tenang atau merasa damai. Meskipun orgasme itu didapatnya bersama seseorang yang secara diam-diam sangat dikagumi, disayangi, dan dicintainya. Cukup lama Deetou berdiri termenung menatap tubuh Sabrina. Suasana begitu hening dan syahdu dalam kamar bersuhu amat dingin itu. Sudut matanya menangkap sebuah gerakan amat kecil dari pintu kamar tidurnya. Saat itu juga ia menyadari bahwa seseorang telah mengintip apa yang terjadi, dan tidak ada orang lain di rumah itu selain Professor Jayne Lee.
“Jayne.” Ujar Deetou tanpa melihat ke pintu. “I know you’re there.”
Pintu yang terbuka sedikit itu kini melebar. Tubuh indah Jayne yang telanjang bulat muncul dari baliknya, masih tampak pucat meski ekspresinya sudah tak lagi sekaku sebelumnya. Pancaran cahaya yang datang dari bawah membuat wanita itu tampak berbeda dari biasanya... terkesan begitu anggun, cantik... dan sedikit menatkutkan karena rambutnya terurai serta matanya tampak cekung memantulkan bayangan dari tulang pipinya yang tinggi.
“You... you made love to her.” Ujar Jayne lirih. Nada bicaranya terdengar datar tanpa ekspresi. Ia melangkah pelan tanpa melihat berkeliling, seperti umumnya orang yang masuk ke ruangan itu.
Pencahayaan dan penataan ruangan yang tidak wajar seolah tidak menarik perhatiannya yang hanya tertuju ke satu hal, tubuh Sabrina Yuzuki yang tergeletak tanpa sadar di atas ranjang.
“You did it to her too... and to me.” Jawab Deetou menatap kedua tubuh telanjang itu kini berdekatan satu sama lain dengan indahnya. Memandang keduanya membuat setiap pria merasa sulit menjatuhkan pilihan. “I thought...”
“I don’t mind that.” Jayne memotong. “It’s your rights... but...” Wanita itu lalu mengecup kening Sabrina yang masih tampak tak sadarkan diri. Ciuman itu terlihat begitu romantis, begitu penuh kasih sayang. “I haven’t made love to you... nor to her....” Lanjut Jayne lirih. “I had sex with both of you... but you made love to her... You know how to make love to a woman you love.”
“Do I love her?” Tanya Deetou menghampiri ranjang, menatap kedua tubuh indah itu bergantian. Nada bicaranya terdengar tidak yakin.
“I dunno how to express my love with sex...” Ujar Jayne sambil membelai kening Sabrina. “...but you do... and you’ve done it well to her.” Lanjutnya. “But... do you still wanna have sex with me afterwards?”

Pertanyaan Jayne terdengar memohon, sekaligus menghakimi, membuat siapapun bingung menjawabnya. Apalagi Deetou berada di posisi yang ganjil saat ini. Ketiga orang di ruangan itu sudah pernah menghangatkan tubuh satu sama lain, namun selama ini perasaan yang lebih dari sekedar persahabatan atau kekaguman tak pernah terekspresikan satu sama lain.
“I do, Jayne...” Jawab Deetou setengah berbisik. Pria itu lalu memeluk tubuh Jayne dari belakang.
Jayne memejamkan mata dan menyandarkan kepala ke dada Deetou di belakangnya. Tangannya memegangi lengan Deetou yang melingkari dadanya. “I can’t live without you, Deetou... you know that.” Bisiknya memelas. Wajahnya tampak kosong, namun air mata terlihat mengalir di pipinya.
“Neither can I....” Deetou mengusap pipi Jayne dengan ibujarinya. “We are meant for each other... until she came.” Bisik Deetou, kali ini sambil membelai kening Sabrina.
“I love her too.” Bisik Jayne lirih sambil menggenggam erat lengan Deetou, “But I’m happy to be with you...”
“Three of us are together now anyway.” Tiba-tiba suara Sabrina memecah keheningan. Membuat Jayne dan Deetou sama-sama terkejut.
Keduanya lebih terkejut lagi melihat Sabrina begitu energik dan setengah melompat bangkit dari ranjang, tanpa menunjukkan tanda-tanda dirinya baru saja pingsan didera orgasme berlebihan. Wanita jangkung itu lalu memeluk Deetou dan Jayne dengan kedua lengannya yang panjang-panjang. Ketiganya tampak begitu syahdu menghayati sentuhan satu sama lain saat itu. Namun tak ada birahi yang terasa. Hanya ada sebuah perasaan ‘terisi’ dalam ruang-ruang di hati yang selama ini kosong.
“No one can beat this team.” Bisik Jayne dengan nada suara seperti sehari-harinya. Penuh kepercayaan diri dan keyakinan. “I found my place with two of you in my life.” Ia bangkit berdiri dan memeluk kedua orang itu. Ketiganya kini berpelukan sambil berdiri. Tubuh-tubuh telanjang mereka saling memberikan kehangatan dan perasaan damai.
Untuk sesaat Deetou terlena dalam kehangatan itu. Sebelum tiba-tiba sebuah deringan keras terdengar dari luar ruangan. Blackberry Playbook milik Deetou mendapatkan sebuah pesan.
“Awww... whatta spoiler!” Ujar Sabrina bercanda. Ketiganya tertawa-tawa dan saling mengecup pipi sebelum sama-sama melangkah meninggalkan kamar, masih dalam keadaan telanjang.
Dengan gaya mirip dua orang turis telanjang yang penuh canda, Sabrina dan Jayne menjelajahi rumah Deetou. Si pemilik rumah tampak serius menatap layar gadgetnya. Jemarinya bergesekan dengan layar monitor, saling bertukar pesan dengan seseorang di tempat lain.

#################################
Jauh dari tempat itu, seorang pria berdiri di sebuah dermaga dan menatap ke arah laut yang kelam sambil menggenggam sebuah Blackberry Gemini yang baru saja mengirimkan pesan singkat berbunyi, “Segerombolan garong baru saja masuk via pelabuhan. Kayanya ada hubungan dengan laporan tewasnya dua garong. Anda terlibat?”
Pria berwajah Indonesia berambut cepak bertubuh tegap itu melihat pesan jawaban pada layar gadgetnya yang berbunyi singkat, “Ya. Eyes Only. Ada yg salah?”

#################################
Deetou tertawa saat kedua wanita telanjang di rumahnya mengomentari suasana dengan komentar-komentar aneh bernada ilmiah namun lucu. Matanya kembali menatap gadgetnya yang bergetar menerima sebuah pesan berbunyi, “Bakalan ramai, siap-siap aja Pak!”
####################################
Saori Simada tidak menyadari bahwa dirinya sedang diikuti. Ia melangkahkan kaki dengan santai meninggalkan sebuah 711 tempat ia baru saja membeli beberapa kaleng Calsberg dan Asahi kesukaannya. Dengan senyum lebar ia menyapa teman kencannya yang sedang menunggu beberapa meter di depannya di lorong gelap tempatnya berlari-lari kecil dengan gembira. Gadis itu tampak terperanjat ketika Obinna Garba tiba-tiba berlari ke arahnya sambil meneriakkan sesuatu yang tak didengarnya karena telinganya tersumbat earphone. Pemuda berkulit legam itu melompat seolah akan menerkamnya dengan tangan menggenggam sebuah pulpen. Earphone di telinganya terlepas saat ia mendengar suara sebuah benda tajam menusuk sesuatu. Ia baru menjerit setelah melihat pundaknya terciprati noda-noda merah... darah segar.


###################################

“Kedua orang Pakistan itu cuman fanatik tolol aja.” Ujar Deetou sambil mengenakan kemeja kerjanya.
Pagi itu ia bangun dari tidurnya dan mendapati kedua wanita yang tinggal bersamanya semalam sudah tampak manis duduk di sofa ruang tamu dan mengobrol tentang peristiwa yang menimpa Jayne hari sebelumnya. Jayne sudah tak lagi menunjukkan muka muram atau ekspresi khawatir, karena mungkin semalam sebelum tidur Sabrina telah ‘menghiburnya’ dengan cara yang tepat.
“Your friend took care of them for good, rite?” Jayne mencoba mengkonfirmasi.
“I think so.” Jawab Deetou singkat. “We won’t see them in the university for good.”
“Great!” Ujar Sabrina sambil bangkit berdiri dan meraih ponselnya yang bergetar-getar. “Hello handsome!” Sapanya di telepon sambil berjalan dan mencolek dagu Deetou, seolah menggoda dengan gemas.
“Some woman she is.” Jayne mengomentari sambil berdiri dan membetulkan kerah baju Deetou dengan romantis.
“WHAT?” Teriakan Sabrina membuat semuanya tertegun. “Where are you now?” Tanyanya lagi pada telepon sambil menatap pada Deetou dan Jayne. “OK, I’ll get there ASAP.” Ia lalu memutuskan sambungan telepon.
"I gotta go.” Ujar Sabrina sambil meraih tasnya dan beranjak pergi, “I’ll take a cab, and I might not come to the office today."
“Is anything wrong?” Jayne bertanya dengan wajah kuatir karena Sabrina tampak tegang.
“Nothing.” Sabrina menjawab cepat, “Just enjoy your time. See you!” Lalu tubuh jangkungnya menghilang dari balik pintu rumah Deetou
Pada saat yang sama, Deetou menerima sebuah pesan di Playbook-nya, sebuah pesan BBM singkat berbunyi, “Another assault. Looks like the same group.” Spontan, Deetou teringat atas pesan yang diterimanya semalam. Bakalan ramai... siap-siap aja, Pak!

####################################
Sabrina Yuzuki berdiri di tepi jalan di depan gedung kondominium Deetou. Beberapa turis mancanegara yang kebetulan lewat hampir selalu menyempatkan diri untuk melirik ke arah tubuh jangkungnya sambil setidaknya menelan ludah. Sayang mereka tak mampu melihat keseluruhan wajah cantiknya karena tertutup kacamata hitam berukuran lebar. Beberapa buah taxi sempat lewat dan menawarkan tumpangan, namun Sabrina menolaknya. Ia tidak sedang menunggu taxi. Setelah beberapa menit, sebuah motor besar berwarna pink tampak berderum mendekat dan berhenti di hadapannya. Si pengendara motor mengenakan jaket kulit berwarna merah dan celana jeans berwarna hitam. Ia melemparkan sebuah helm full-face pada Sabrina yang langsung menangkap dan mengenakannya sebelum melompat ke atas jok motor. Keduanya berpacu dengan kecepatan cukup tinggi ke arah kota.
“This is getting messier.” Ujar Damiana dari balik kaca helmnya yang hitam pekat. Ia harus sedikit berteriak agar Sabrina mendengarnya di tengah deru angin.
“I don’t wanna assume anything.” Jawab Sabrina sambil mendekap erat pinggang Damiana agar tidak terjatuh dari motor yang dipacu jauh melebihi batas kecepatan itu.
Beberapa kali polisi mengejar dan menyuruh mereka berhenti, namun Damiana hanya melambat dan melepaskan helm. Begitu polisi-polisi melayu itu melihat bahwa pengendara motor adalah wanita berambut pirang, berhidung mancung, bermata biru, mereka tak berbuat apa-apa.
Mental orang terjajah!” Pikir Sabrina berdasarkan berbagai teori psikologi.
Mereka hanya takut untuk bicara berbahasa Inggris dengan orang bule!” Pikir Damiana, yang memanfaatkan situasi itu.
Setelah melanggar beberapa lampu merah dan meliuk-liuk di antara beberapa buah truk dan mobil, motor besar itu melambat dan berhenti di depan sebuah gedung. Gedung tua itu tampak cukup terawat dan memiliki halaman luas ditumbuhi rumput pendek. Salah satu bagian halaman berumput itu dihiasi ayunan, jungkat-jungkit, dan berbagai permainan anak-anak lainnya.
“Do you read Japanese?” Tanya Damiana sambil menuntun motornya saat ia melihat papan nama besar dengan huruf kanji dan hiragana.
“My mom didn’t teachme... albeit being Japanese.” Jawab Sabrina sambil menenteng helmnya dan menelepon seseorang lewat ponselnya.
Pintu di gedung itu terbuka, dan seorang wanita setengah baya berdandanan rapi muncul dari baliknya, menyapa kedua tamunya, “Konichi-wa, Sabrina-chan.”
“Ohayo Gozaemasu, Sumiyo-san.” Sahut Sabrina sambil membungkuk hormat. “...and that’s the most advance Japanese I can say, sumimazen.”
“No problem.” Sahut wanita itu, “Your friends are waiting for you, please come in.”
Sabrina dan Damiana melepas alas kaki dan masuk ke gedung tua yang disewa oleh komunitas masyarakat Jepang di Malaysia sebagai tempat berkumpul dan ‘konsulat tidak resmi’ di pulau tempat mereka tinggal itu. Beberapa pengunjung yang semuanya orang Jepang tampak tersenyum ramah melihat kedua tamu berwajah ‘asing’ itu. Di ruang lobby gedung itu, tampak sejumlah rak buku berisi buku-buku berbahasa Jepang, dan sejumlah anak kecil berseragam sekolah tampak membaca dan mengerjakan PR di ruangan itu, menunggu datangnya bus sekolah yang akan menjemput mereka ke sekolah internasional tempat mereka belajar.
“Lotsa Japs here...” Damiana berbisik, “...I can hardly find any Spanyard in the beach!”
“The cost of international education here is very cheap...” Sumiyo, wanita yang tadi membukakan pintu, menjelaskan, “...that’s why many Japanese parents send their children to study here.... ah, here’s your friends.”

Ketiganya tiba di sebuah ruang makan, di mana mereka mendapati Saori dan Obinna sedang duduk dengan wajah tegang. Sumiyo mohon diri untuk meninggalkan ruangan, memberi mereka waktu pribadi.
“OK, dude... you better start your explanation by telling us who you are.” Damiana terdengar ketus sambil menunjuk ke arah wajah Obina.
“Hey, hey... Chill out! What’s up?” Sabrina tampak tidak senang dengan gaya Damiana. “OK, Saori... tell us what happened.” Lanjutnya sambil menepuk bahu Saori yang masih tampak pucat. Mirip dengan Jayne semalam.
“S-someone tried to kill me.” Jawab Saori singkat. Keceriaan dan tawa renyahnya tak lagi tampak di wajah manisnya. Gadis mungil itu kini terduduk diam sambil menunduk. Tangannya menggenggam erat pergelangan tangan Obinna di atas meja makan.
Obina mengelus punggung tangan Saori dan mencoba mewakilinya dalam menceritakan apa yang terjadi, “She was on earphone, so she didn’t...”
“Ow, shut the fuck up, will ya?” Damiana tampak tidak sabar, “Before you go further, check this out!” Bentaknya sambil meraih sebuah iPhone dari saku jaketnya dan meletakkannya dengan kasar di atas meja.
Saori, Sabrina, dan Obinna mengamati monitor iPhone itu, yang menayangkan sebuah video tanpa suara. Video itu menunjukkan sesosok tubuh besar membelakangi kamera, mendatangi dua orang pria kurus berjenggot yang membawa tongkat kayu. Kedua pria kurus tampak ketakutan dan melemparkan tongkat ke tanah. Mereka tampak berargumen, lalu sebuah mobil van hitam datang dengan kecepatan tinggi dan berhenti di belakang dua orang kurus. Beberapa pria bertubuh atletis keluar dari mobil itu dan meringkus dua orang brewok. Salah satu dari pria yang keluar dari mobil itu jelas-jelas Obinna Garba, dan si pria bertubuh besar yang membelakangi kamera jelas-jelas Deetou Preehad.
“OK, enough!” Damiana meraih ponsel itu dari atas meja. “There were two murder attempts, and you were there... please explain who you are.” Ujarnya sambil menatap Obinna. “Your friend said that you guys are Interpol, but I know that Interpol wouldn’t come with such a fancy van.”

Sabrina tertegun. Obinna dan Deetou tampak saling mengenal dalam video itu. Keduanya seolah bekerja sama dalam meringkus para penyerang Jayne.
“Saori, could you please explain the details of what happened to you last night.”
“It wasn’t last night.” Saori memulai penjelasannya, “It was 3AM this morning...”
Sabrina dan Damiana menarik kursi dan duduk mengitari meja makan bundar itu, bersama Saori dan Obinna yang kali ini membisu.
“Obinna called me, and we went out... Damiana was asleep, so I didn’t say goodbye...” Saori melanjutkan ceritanya, “We stopped by at 7-11 to buy some drinks, somebody tried to attack me from behind, and Obinna... Obinna... killed them.”
“Killed?” Sabrina terperanjat.
“THEM?” Damiana lebih terperanjat, “It was more than one person?”
“Yes...” Saori menjawab, “Two men tried to attack me with daggers... and Obinna killed them with a pen.”
“A pen?” Damiana makin terperanjat. “Facing two people with daggers and killed them with a PEN?”
“I think I gotta explain everything.” Obinna akhirnya angkat bicara. Tubuh jangkungnya yang legam itu berdiri dan berjalan beberapa langkah, seolah mencari ide untuk menemukan kata-kata yang tepat.
“I was waiting for her at the end of the alley...” Lanjutnya, “The two men was walking behind her... and suddenly they yelled, ‘infidel homo must die!’ and attacked her from behind, so... I did anything I could to protect her... and... Unintentionally had them killed.”
Ketiga wanita itu terdiam. Otak kriminologi Damiana berputar mencoba menghubungkan semua fakta yang didapatnya. Termasuk video yang didapatnya dari iPhone Jayne yang tertinggal di rumahnya semalam. “OK, Garba...” Ujarnya dengan nada datar, “...thanks for saving my friend’s life, and I apologize for being rude...”
Obinna mengangguk dan merapatkan mulut, sedikit tersenyum.
“...however...” Damiana melanjutkan, “...who took care of the two dead bodies? Were that your Interpol friends?” Ia menekankan kata ‘interpol’ sedemikian rupa hingga semua bisa mendengar bahwa ia tahu bahwa teman-teman Obinna bukanlah orang Interpol.
“I told you...” Obinna bersandar di dinding, “...I will explain everything... so, please listen carefully now...”

################################
Di tempat lain, Deetou dan Jayne tampak berjalan menuju ke gedung fakultas tempat mereka berkantor. Di pintu masuk, mereka berpapasan dengan Prof. Zain dan Dr.Hazik, dua orang lokal yang dilibatkan oleh Deetou untuk masuk ke dalam proyek Jayne.
“Selamat pagi, Prof. Lee... Dr. Preehad.” Ujar Dr. Hazik dengan senyum palsu. Pria berusia 40an tahun itu tampak rapi dan mengenakan pakaian serba mahal. “Ini nak meeting projek, ke?” Tanyanya pada Jayne dalam bahasa Malaysia kental.
“Tengah hari nanti, Dr. Hazik.” Jayne menjawab, juga dalam bahasa Malaysia, “Saya nak minta Dr. Preehad untuk prepare everything before we talk.” Lanjutnya. Ia tidak mau menggunakan bahasa Malaysia sepenuhnya, karena ia tahu bahwa Deetou tidak menyukai bahasa Malaysia, karena terdengar seperti bahasa Indonesia yang tidak sempurna dan kampungan.
“I wish we can come to meeting.” Sahut Prof.Zain dengan bahasa Inggris ngawurnya, “Because we have to attend funeral.”
“Who died?” Tanya Deetou dengan wajah kaget, “Do we know them?”
“Four students died. All from Pakistan.” Jawab Prof. Zain. “We have to take care the bodies to send home to their country.”
Wajah Jayne langsung tampak tegang. Ia tak mampu berkata apa-apa meski bibirnya tampak bergerak-gerak. Empat orang Pakistan? Pikirnya.
Deetou segera menutupi situasi dan langsung masuk dalam pembicaraan, “Were they from our faculty, Prof?”
“No, la... they are from faculty of humanities.” Dr Hazik menjawab. “We know them because they were our friends in the mosque.” Lanjutnya. “Because we know them, so we help to send them home to their families. They were lost few months ago... and we took them in to our prayer group... Somehow I’m glad that they died after they came back to the right path...”
“Oh well... Peace be with them.” Deetou menunjukkan wajah netral. “So, we’ll postpone the meeting until you guys finish your errand... Please let us know later, OK?” Ia melirik ke arah Jayne dan menjabat tangan kedua orang melayu tadi, menunjukkan gesture perpisahan. Kedua melayu tadi hanya tersenyum kecil pada Jayne tanpa menjabat tangannya.
“Oh yes, Prof. Lee...” Hazik tiba-tiba berseru saat mereka sudah berpisah agak jauh.
“Yes, Dr Hazik?” Jayne berbalik untuk mendengarnya.
“Terimakasih dah nak bantu saya masuk projek.” Ujar Hazik sambil tersenyum palsu sekali lagi, “Saya akan cube nak bantu mana hal yang saya boleh.”
“Tak apa, la Dr Hazik.” Jayne ikut memasang senyum palsu, “Kita tau kalau you ni best punye.” Lanjutnya sambil mengacungkan jempol.
Mereka kembali berpisah. Jayne dan Deetou masuk ke lift yang membawa mereka ke kantor mereka di lantai delapan. Aku benci bahasa itu! Pikir Deetou sambil mengorek telinga dengan kelingking, seolah berusaha mengeluarkan kalimat-kalimat tidak sempurna itu dari memorinya.
“Two Pakistani students died...” Jayne menggumam saat lift bergerak ke atas. “...could two of them be the people who tried to attack me yesterday?”
“I hope so.” Ujar Deetou dingin. Menutupi fakta bahwa ia tahu latar belakang mahasiswa-mahasiswa yang tewas itu. Dalam kepalanya ia mencatat bahwa keempat orang Pakistan itu akrab dan sering berjumpa dengan Hazik dan Zain.

#################################
“Deetou...” Ujar Jayne sambil menarik lengan pria itu saat mereka meninggalkan lift untuk berjalan ke ruang kerja masing-masing. “Can you call Brina, please? I think I left my phone last night, I’m not sure whether it was in Brina’s or yours.”
“I will...” Jawab Deetou singkat sambil melanjutkan langkahnya, tapi tangan Jayne masih melingkar di lengan besarnya. “...what is it? Do you want it this early?” Bisiknya sambil melirik ke kiri kanan.
“No... but...” Wajah Jayne tampak memikirkan sesuatu, “If those dead Pakistani were my attackers... it means that they knew Hazik and Zain. Could it be...”
“Do you think they wanna kill you after you put them in your project?” Deetou memotong. “No worries, Jayne... I’ll be coming to your office after I’m done with my work, OK?”
Jayne tersenyum dan membiarkan Deetou berjalan ke ruang kerjanya di ujung koridor, sementara ia sendiri masuk ke ruang kerjanya yang lebih dekat ke lift. Dalam ruang kerjanya, Jayne duduk termenung. Pakaian kerja yang dikenakannya sejak kemarin terasa panas dan agak lengket meski ia telah men-dry cleaning-nya pagi tadi di rumah Deetou. Sesuatu terasa mengganggu pikirannya. Pertama, karena ponselnya hilang... kedua, ia merasa segala sesuatu yang terjadi padanya belakangan ini berhubungan satu sama lain. Setelah menyalakan AC, ia melepaskan pakaian dan menggantungnya di pintu. Hanya dengan mengenakan bra dan celana dalam, ia berjalan mondar mandir di ruang kerja pribadinya. Otaknya mulai berpikir...
Deetou memasukkan beberapa nama melayu ke dalam proyek agar aku terhindar dari intrik politik universitas dan fakultas... Tapi pada hari yang sama dengan orang-orang melayu itu menandatangani perjanjian kerjasama, dua orang fanatik menyerangku dengan alasan lesbianisme... “
Otaknya yang biasa berpikir logika riset mulai memilah-milah variabel; Ada empat variabel utama, yaitu ‘menghindari konflik rasisme’, ‘akademisi melayu’, ‘serangan fanatik’, dan ‘lesbianisme’. Variabel pertama dan kedua saling berhubungan... variabel ketiga dan keempat juga saling berhubungan... Tapi seandainya variabel pertama tidak mempengaruhi variabel kedua, akankah variabel kedua dan ketiga berhubungan? Apakah variabel keempat adalah isu yang digunakan untuk memprovokasi terjadinya serangan? Jika benar, dari mana munculnya variabel keempat? Hanya sedikit orang yang tahu tentang isu lesbianism itu... Sabrina, Deetou, dan kedua rekan serumah Sabrina, dan semuanya bukan orang lokal, dan bukan juga tipikal orang yang akan menjalin kontak dengan orang melayu... Sesaat kemudian, tiba-tiba otak cerdasnya mengingat sebuah variabel lain... keterlibatan Interpol!

#########################################
“Deetou works for British Intelligence?” Sabrina membelalak mendengar cerita panjang lebar dari Obina. “That explains about his fancy house and car! A post-doctoral salary won’t be high enough to cover even half of them!”
“That’s not the main point of his story, Brina.” Damiana tampak jengkel. “I think, something is happening here...but I’m not sure what.” Lanjutnya.
“Besides, I found nothing in the news.” Saori masuk dalam pembicaraan.
“Malaysian media is crippled by the government.” Ujar Obinna. “The ruling political party in Malaysia has an MOU with the... you know... terrorists.”
“WHAT?” Sabrina terdengar marah. Pemerintah Malaysia melindungi teroris? “Is that why they have never had their country bombed?”
“Exactly.” Sahut Obinna lagi, “Isn’t it weird when you saw bombs in Indonesia, Thailand, and Philipines, while nothing happened in Malaysia? Do you think that their cops are that good?” Polisi Malaysia tidak sehebat itu, sampai di negaranya tidak ada ledakan bom! Pikirnya.
“But they started to move...” Damiana berdiri dan mendekat pada Obinna. “Yesterday, Jayne was targeted, saved by Deetou... and this morning, Saori... saved by you... don’t you feel anything weird here?”
“What is that?” Sabrina mencoba mengikuti cara berpikir Damiana.
“Think about this...” Damiana terdengar bersemangat dan lupa bahwa kasus itu melibatkan orang-orang yang dikenalnya secara pribadi, “All of the attackers were killed...”
“By us!” Potong Obinna saat ia menyadari pola pikir Damiana. “They are trying to frame us! Is that what you are trying to say?” Obinna setengah tidak percaya akan analisis Damiana bahwa kelompok teroris sedang menjebak MI6 untuk melakukan pembunuhan.
Damiana mengangguk, “There is some possibility... the brain behind this doesn’t want British Intelligence to be around, and they tried to make you look guilty... by killing Middle-Easterners, who are somehow respected by the local Malays.”
“That sounds too big.” Saori mulai menyalakan mesin pemikir di otaknya, yang selama ini jarang dipakainya diluar riset. “Obinna, the British Intelligence... they are everywhere, right? They are scattered everywhere around Malaysia, and not just here in this island, am I correct?”

“Absolutely.” Obinna menjawab cepat. “Six are everywhere in any Commonwealth country.”
“Six?” Tanya Sabrina kehilangan fokus.
“MI6, that’s their pop name, while their official name is SIS, Secret Intelligence Service.” Damiana menjelaskan, “Now go back to your analysis, I wanna hear it.”
“OK, if they are everywhere, why should the terrorists focus on this island instead of the capital? I believe that they should base their operations in KL, not in this island.” Sabrina mencoba menganalisis pola serangan dalam dua hari itu, yang semuanya terjadi di pulau tempat tinggal mereka, bukannya di ibukota.
“Wrong, Brina... sorry.” Tukas Damiana. “The Bali Bombers were based in Johor Bahru, downsouth... not in Kuala Lumpur.” Alis matanya terangkat sedikit. “Obinna... I don’t wanna put my nose too deep in your business, but in my opinion, Johor Bahru is the most accessible entry point from Malaysia to Indonesia, am I right?” Ia menunjukkan bahwa ia tahu jika teroris seringkali berbasis di pintu-pintu negara, bukan di ibukota.
“You got it.” Obinna mengangguk mantap. “...and this island, is somehow near to Indonesia and southern Thailand, at the same time...” Jelasnya menunjuk ke peta yang menempel di dinding ruangan itu, di mana pulau mereka terletak begitu dekat dengan Medan dan Thailand Selatan. “People from South Thailand are poor and they are religious... fanatically. These people entered this country due north, and sent to Aceh from this island.”
“Aceh? Indonesia?” Sabrina mencoba memahami lagi. “What the hell are they doing in Aceh?”
“To attend school.” Jawab Obinna tanpa menutupi rahasia, “Those terrorist wannabes from South Thailand were sent to Aceh to study... militarism, demolition, sabotage, and many things... they have their academy up there... discretely.”
Mendengar penjelasan Obinna tentang akademi rahasia teroris, Damiana mulai berpikir, mencari hubungan antara aliran orang dari Thailand Selatan ke Aceh dan serangan pada Saori dan Jayne... Ia mencoba menjelaskan pendapatnya bahwa ada seorang ‘boss’ yang menyuruh orang-orang tak berguna untuk menyerang Jayne dan Saori sekedar untuk mengumpulkan informasi tentang univesitas yang akan mereka jadikan home-base, seperti halnya UTM di Johor yang menjadi home-base Dr Azhari dan Nurdin Top. Karena serangan pada kedua korban itu gagal, kini si ‘boss’ mengetahui bahwa universitas ini memiliki ‘anjing penjaga’.
“Well... They used lesbianism as the issue.” Sangkal Obinna. “Neither Saori nor Jayne have any sign of being lesbians in their daily lives.” Pemuda Nigeria itu menjelaskan lebih lanjut bahwa jika Saori atau Jayne terbunuh, masyarakat melayu secara umum tidak akan menaruh simpati pada pihak pembunuh karena tuduhan ‘lesbian’ tidak terbukti... meski sebenarnya masyarakat golongan itu amat membenci etnis non-melayu dan orang asing.

###############################
Jauh dari situ, tubuh telanjang Professor Jayne Lee sedang setengah tergeletak sambil menggeliat-geliat di atas sebuah sofa berwarna putih. Wajah cantiknya tampak terpejam dan mengerang-ngerang sementara hidungnya yang mancung itu berusaha keras mengambil nafas yang tersengal-sengal karena terhentak-hentak oleh rangsangan-rangsangan yang tak terduga. Kedua dada sang professor sedang berada dalam genggaman telapak-telapak tangan legam yang meremas-remas lembut sambil sesekali memilin putingnya. Kedua tungkainya yang jenjang terkangkang lebar, tampak sebuah kepala botak licin tak berambut, dengan wajah terbenam di pangkal kedua tungkai itu. Dr Deetou Preehad sedang menjentik-jentik klitoris di depannya dengan lidah, membuat si pemilik klitoris semakin tak mampu mengendalikan birahi.
“Ahh... w-why do you take them t-to the project? Ohh...” Tanya Jayne di tengah rintihannya.
“To safe this beautiful butts from being kicked by the office politics.” Ujar Deetou di tengah jilatannya, tangannya pun terus saja merangsang payudara Jayne meski keduanya sedang berdiskusi.
“B-but.. nghhh... why those names? Ahkkk... It feels good, Deetou..” Desah Jayne, “Why not someone else’s namessshhh... Ngghhh...” Jayne terpejam-pejam. Meski ia sedang terangsang secara seksual, otaknya terus berpikir secara logis. “Do you... do you know that they... Ohh... c-connected to this... P-Pakistani ring?”
“Not really.” Deetou melepaskan tubuh Jayne dan duduk di sofa. “Sabrina gave me those names.” Dengan ringan ia mengangkat tubuh telanjang Jayne dan mendudukkannya di pangkuan. Mulutnya mulai menciumi tengkuk indah di hadapannya, sambil merangsang payudara Jayne dari belakang.
“Ohh... D-Deetou... Ahhkkk...” Jayne meronta membebaskan diri dan berdiri, “Not that position please... I want to think... I don’t wanna cum that fast and fainted, OK?”
“Sure.” Jawab Deetou sambil menarik pinggang wanita itu dan kembali memangkunya, namun posisi mereka kini berhadapan. Tubuh Jayne yang tidak setinggi Sabrina membuat mulut Deetou berhadapan dengan leher jenjangnya, yang langsung dijilati dan diciumi.
“Mmm... this is better.” Desah Jayne menikmati, “Touch my tits... Ahkkk... yes...Mmm.” Jayne mendesah saat Deetou menurut dan merangsang puting susunya dengan jari. “Ngg... So... Brina gave you their names... based on what reason?”
“Based on their being big at the university and the faculty.” Jawab Deetou, menutupi fakta bahwa ia lebih dulu meminta jaringannya untuk ‘menyeleksi’ nama-nama yang akan dilibatkan.
Tiba-tiba, sambil tetap menjilati rahang Jayne, otak Deetou seperti mendapatkan sebuah ide. Ia melepaskan mulutnya dari rahang tirus itu, “Jayne, open your eyes... You wanna cum now, or later tonight? I got something to do.” Lanjutnya saat Jayne membuka mata.
“Why?” Jawab Jayne dengan wajah kecewa, “Don’t you want to share your thoughts with me?” Ia tahu bahwa Deetou baru saja mendapat ide tentang sesuatu, dan ia merasa perlu terlibat. “It involves my life, I have to be involved in whatever you are thinking about.” Kebiasaannya untuk selalu ingin memegang kontrol kembali menghinggapi jiwanya, setelah beberapa jam terkunci oleh perasaan kuatir dan takut.
“Well... All right.” Deetou kembali merengkuh pinggang Jayne, “But I’m aroused by having you naked here... so let me finish that by fucking you, OK?”

Mengakhiri kalimatnya, Deetou mengangkat tubuh Jayne sedikit ke atas. Menanggapi hal itu, Jayne memegang penis Deetou yang kini tegang itu dan membimbingnya menuju ke vaginanya. Deetou melepaskan tubuh Jayne hingga terjatuh ke pangkuannya... dan kejantanannya yang besar itu menikam kewanitaan lembab milik Jayne.
“Ouhggg...” Jayne mengaduh saat merasa vaginanya penuh terjejali benda kesayangannya itu. Keduanya segera bergerak ritmik dan cepat, memburu orgasme karena merasa segera ingin melakukan sesuatu yang lain. Hubungan kedua orang itu memang agak ganjil karena bisa berpikir seperti itu terhadap satu sama lain. Deetou mendekap erat-erat pinggang Jayne dan menggunakan tubuh langsing itu sebagai alat masturbasi. Jayne meremas sendiri payudaranya dan memilin-milin puting susu, seolah mengejar orgasmenya sendiri. Matanya sedikit terbuka, dilihatnya Deetou menatap lekat ke arah wajahnya dengan ekspresi serius. Jayne merasa kehilangan sesuatu...
Deetou tidak lagi romantis, pria ini seperti hanya ingin menuntaskan permainan... “
Mungkin karena keduanya sama-sama dalam mood tergesa-gesa, orgasme mereka datang dengan cepat dan tidak terlalu menyerap energi. Deetou membiarkan isi kejantanannya menyembur dalam vagina Jayne, bersamaan dengan mengejangnya tubuh Jayne saat dirinya dilanda orgasme. Kali ini, wanita itu tidak mengaduh panjang atau menjerit. Ia langsung melepaskan diri dari tubuh Deetou untuk kemudian terhuyung dan terlentang di lantai.
“Give me one minute and we’ll do your thing together.” Ujar Jayne sambil memejamkan mata, memanfaatkan beberapa detik untuk mengistirahatkan diri.
Sempat ia merasa menyesal telah membuang waktu dan energi untuk percintaan yang tidak lengkap itu, namun di sisi lain ia merasa cukup puas karena orgasme membantunya rileks. Deetou tersenyum geli melihat kelakuan sang professor sambil mengelap penisnya dengan tisu. Beberapa menit kemudian, keduanya sudah berpakaian rapi dan berada dalam mobil Hyundai Trajet milik Deetou, yang meluncur ke arah kota.
“Where are we going?” Tanya Jayne sambil mengelap sisa-sisa cairan yang masih sesekali meleleh keluar dari vaginanya dengan tisu dari mobil Deetou. Matanya masih sesekali menyipit karena denyutan vaginanya, namun pikirannya terfokus pada sebuah pemecahan atas masalah yang mengganggunya, meski sebenarnya ia juga masih belum mengerti sepenuhnya akan apa yang sedang terjadi.
“Indonesian consulate.” Jawab Deetou sambil memacu mobilnya. “Promise me, don’t look surprised when you suddenly bumped into some amazing facts, ok?”

To be continued
By: Ginger Ale

0 Response to The Odd Triangle 3

Posting Komentar