Pretty Receptionist Ellen: The Naughty Punishment | kisahbb2

Pretty Receptionist Ellen: The Naughty Punishment

Ellen

Namaku Ellen, aku bekerja sebagai receptionist di sebuah perusahaan di kota ini, untuk membiayai kuliahku di sebuah akademi sekertaris. Dengan struktur organisasi yang kecil di kantorku, dan masa kerjaku yang lebih dari setahun membuat tugasku menjadi lebih dari sekedar receptionist saja, aku di ditugasi oleh bossku untuk memegang sejumlah uang untuk biaya-biaya rutin kantor, tapi kemudian aku tergoda untuk menggunakan uang kantor tersebut untuk keperluan pribadiku, meski awalnya hanya sedikit, lama-kelamaan aku mengambil uang tersebut dalam jumlah yang cukup besar, dan bila di hitung-hitung total keseluruhan uang yang aku pakai cukup besar juga untuk ukuran seorang receptionist. Uang kantor yang aku pakai bisa mencapai 40 tahun gajiku sebagai receptionist. Awalnya bossku tidak mengetahui semua itu, karena aku cukup rapi dalam mengelola uang tersebut, tapi lama kelamaan sepertinya ia curiga juga, bossku adalah seorang wanita karier yang masih tetap melajang meski usianya sudah mendekati kepala 4.
Watak dan sikapnya sehari-hari cukup tegas sebagai seorang wanita. Tubuhnya juga sangat terawat, kebiasaan beliau setiap pagi waktu datang kantornya di lantai 4 adalah menggunakan tangga dengan sedikit berlari, meski ada lift di gedung ini. Tujuannya adalah untuk menjaga staminanya tetap fit, begitu katanya sewaktu aku tanya tentang kebiasannya itu. Ternyata bossku yang bernama Ibu Jessica telah mencurigai aku menggelapkan sejumlah uang untuk pengeluaran biaya kantor, sehingga tanpa sepengetahuanku, Ibu Jessica telah memasang kamera pengintai di atas mejaku, dan mencatat segala pengeluaran kantor yang menjadi urusanku, dan meng-crosscheck lagi semua pengeluaran itu dengan pihak yang berkaitan dengan uang tersebut. Intinya ia telah memiliki bukti-bukti yang cukup akurat dan lengkap, ditambah lagi dengan bukti rekaman video kamera cctv diatas mejaku yang tidak aku ketahui selama beberapa bulan telah ditempatkan di atas mejaku, dan dikamuflasekan dalam sebuah speaker yang biasa mengalunkan musik lembut bila sudah mendekati dan selama waktu istirahat, bahkan tugaskulah untuk menjalankan musik lembut itu dari meja operatorku.

Tibalah hari itu aku di pangil ke ruang kerjanya. Awalnya aku hanya ditanya tentang pekerjaanku, kemudian berlanjut pada masa kerjaku di perusahaan tersebut yang telah mencapai 2 tahun masa kerja.
“Ellen, apakah kamu punya keluhan?” tanya Bu Jessica padaku.
“Tidak Bu, semuanya cukup memuaskan.” jawabku.
“Kalau memuaskan kenapa kamu mencuri uang kantor!?” tanya Bu Jessica yang kini sedikit keras nada bicaranya. Aku berusaha menyangkal segala tuduhan yang dia lontarkan padaku, sehingga pada akhirnya dia memperlihatkan rekaman video cctv di atas mejaku, dan segala berkas-berkas bukti pencatatan cash flow yang aku pegang. Terutama bukti rekaman video itu yang sangat tidak bisa disangkal lagi.
“Sekarang kamu masih mau menyangkal lagi?” tanya Bu Jessica.
“Tidak Bu.” jawabku pelan sambil tertunduk.
“Lalu bagai mana sekarang? kamu mau aku laporkan ke polisi, biar kamu di hukum dan di penjara, atau kamu mau mengganti segala kerugian yang telah kamu lakukan?”
Tentu aku tak mau di laporkan ke polisi, karena akan lebih buruk akibatnya, aku akan di penjara dengan masa kurungan yang lama, keluargakupun akan malu dan ikut terkena dampaknya, dan aku pasti akan diharuskan mengganti kerugian yang telah aku timbulkan dan membayar biaya persidangan, tapi mengganti sejumlah uang yang telah aku ambil juga bukan perkara gampang. kerugian yang aku timbulkan bila di total mencapai angka 40 tahun gajiku sebagai receptionist di perusahaan ini, itupun dengan besaran diatas rata-rata, karena di kantor ini aku di gaji cukup besar untuk ukuran receptionist. Mungkin karena tugasku yang lebih dari sekedar receptionist. sedangkan uang yang aku ambil sedikitpun tak bersisa, kebanyakan telah aku habiskan untuk membayar kostku yang kini pindah ke kost yang lebih bagus, untuk membayar biaya kuliahku yang tak kunjung selesai karena aku jarang kuliah, tapi kebanyakan aku habiskan untuk foya-foya dan hura-hura dan menyaingi gaya hidup teman temanku yang rata-rata anak orang berpunya, sedang aku hanya anak dari keluarga yang kekurangan.

“Aku tidak mau di penjara, Bu.” jawabku
“Lalu bagaimana?” tanyanya.
“Aku akan megganti semua yang telah aku ambil.”
“Mengganti bagaimana, memangnya kamu punya uang!?”
“Tidak Bu…” jawabku sambil menunduk.ingin rasanya saat itu aku menghilang, seperti sihir Harry Potter.
“Lalu bagaimana kamu bisa menganti jumlah uang yang telah kamu ambil?” tanya Bu Jessica. Aku hanya terdiam mendengar perkataan itu. Kemudian dia melanjutkan “Baik, kalo kamu tidak mau saya laporkan ke polisi. tapi sebagai gantinya kamu harus menuruti semua perintah saya, dan harus mengganti uang yang telah kamu ambil dengan cara potong gaji, sebesar 50% gaji mu. kamu setuju..!?”
“Iya Bu, saya setuju.” tanpa pikir dua kali aku menyetujui semuanya, karena memang itu jalan terbaik yang kupunya.
Lalu akupun di sodori sebuah kertas perjanjian yang isinya mengatakan bahwa aku harus mengganti uang perusahaan yang telah kuambil dengan cara potong gaji sebesar 50%. dan selain itu aku harus menataati segala perintah yang diperintahkan padaku, apapun bentuknya, dimanapun dan kapanpun, apabila aku melanggar perintah, maka aku setuju untuk menerima hukuman yang diberikan, dan sekalligus hutangku pada perusahaan akan bertambah 1x gajiku. Sebagai hukuman agar aku tidak lagi melanggar perintah yang diberikan, dan melaksanakan perintah tersebut sebaik-baiknya. begitulah kira-kira inti dari perjanjian diatas materai yang kutanda tangani dan di tambah dengan cap sidik jari.
“Mulai sekarang kamu harus menaati perintah dan aturan yang aku berikan, mengerti!?” Bu Jessica bertanya dengan sedikit membentak.
“Mengerti, Bu.” jawabku.
“Mengerti apa!?” tanya Bu Jessica lagi akupun mengulang menjawab dengan lebih lengkap.
“Saya mengerti bahwa saya akan menaati perintah dan peraturan yang Bu Jessica perintahkan pada saya.”
“Gadis pintar, mulai sekarang kamu harus menuruti perintah saya.” kata Bu Jessica
“Baik Bu.” jawabku
“Oh iya mulai sekarang jangan panggil saya dengan sebutan Ibu, panggil saya dengan sebutan nyonya!” lanjut Bu Jessica.
“Baik nyonya!” kataku dan Bu Jessica pun tertawa mendengar jawabanku itu. aku merasa seperti sebagai seorang kacung berhadapan dengan majikannya. Memang seperti yang aku tahu biasanya kacung/pembantu menyebut majikanya dengan sebutan tuan dan nyonya.
“Sekarang serahkan name tagmu” (kartu identitas di perusahaan) akupun melepaskan name tag ku yang tergantung di bagian dada sebelah kiri baju atasku, dan memberikanya pada Bu Jessica yang kini dan seterusnya akan ku panggil dengan sebutan nyonya.
“Ini nyonya…” kataku halus.

“Sekarang berdiri lalu buka semua pakaianmu dan berdiri di pojok jendela sana!” katanya memerintah, aku hanya terdiam shock dengan perintahnya.
“Lakukan atau aku akan panggil polisi kemari” mendengar kata polisi kembali di sebut, aku sadar bahwa aku tak punya pilihan lagi. maka kemudian aku berdiri dan mulai melepaskan bajuku. Dimulai dari blazer, lalu aku melepaskan kemeja putihku, pelan-pelan kulepaskan satu per satu kancing kancingnya, kutanggalkan bajuku dan meletakkanya di meja. Kini aku hanya tinggal mengenakan bra hitam ku sebagai penutup tubuh bagian ataksu. aku berdiri memandang nyonya Jessica yang sambil sedikit tersenyum dan memandangku.
“Lanjutkan, buka BHmu” katanya lagi. akupun membuka kaitan BHku di belakang punggungku, dan melepaskan talinya melalui tangan kanan dan kiriku. Kini aku bertelanjang dada di hadapan nyonya Jessica, sambil meletakan BH ku di tumpukan bajuku.
“Berapa ukuran payudaramu” tanya Bu Jessica padaku.
“Tiga dua B nyonya” jawabku.
“Hmm lumayan  juga, pantas banyak karyawan kantor yang tertarik padamu” lanjutnya lagi.
“Sekarang jawab dengan jujur, sudah berapa laki laki yang pernah memegang payudaramu itu?” aku terdiam sejenak, kaget juga aku dengan pertanyaan Bu Jessica itu. Aku malu untuku menjawabnya, karena sejujurnya aku pernah telanjang di depan teman laki-laku dan pacarku saat ganti baju di kostku. Bahkan aku sudah tidak perawan lagi sejak SMU kelas 2.
“Sembilan orang nyonya” akhirnya aku menjawab
“Wah banyak juga ya..? memangnya kamu sudah pacaran berapa kali?” lanjutnya
“Aku baru pacaran 4 kali nyonya.”
“Lho 4 kali? Lalu siapa yang lima orang lagi?” tanyanya lagi.
 “Teman-temanku yang lain.” jawabku tertunduk.
“Kamu masih perawan atau sudah bolong..?”
“Saya sudah tidak perawan lagi nyonya.”
“Wah ternyata kamu murahan juga ya?” ejek Bu Jessica.
Aku sebenarnya malu dan keberatan di bilang cewe murahan, tapi aku tak bisa berkata apa-apa di depan Bu Jessica yang entah kenapa sepertinya aku di bawah kekuasannya, mungkin karena aku takut dilaporkan ke polisi.
“Sekarang buka semua bajumu!” katanya.

Aku pun menurutinya, dan mulai mebuka rok mini ketatku, aku memang suka memakai rok mini ketat ke kantor, mungkin 15cm di atas lututku, aku memang bangga dengan pahaku yang mulus, meski betisku kurang begitu bagus menurutku. Aku sedikit membungkuk sambil mengangkat kaki sebelah kiri dan kemudian kaki kananku untuk melepaskan rokku, kemudian aku berdiri tegak lagi untuk meletakan rok miniku di atas meja. tapi aku dikejutkan oleh sinar lampu yang menyilaukan dan sesaat seperti cahaya kilat. Ternyata ketika ku memandang nyonya Jessica, ia telah berdiri dan memegang kamera digital di tangan kanannya. Ia telah memfotoku ketika sedang melepaskan rokku, dan hanya tinggal mengenan celana dalam yg juga mini, meski tidak bisa di bilang sebagai G-string. Bu Jessica hanya tersenyum, sambil berkata
“Aku butuh sesuatu sebagai jaminan, supaya kamu tidak melarikan diri nanti” Ia pun kembali mengambil gambarku yang masih terdiam berdiri mematung karena shock.
“Senyum….!” perintahnya dan seperti kerbau di cocok hidung akupun tersenyum ke arah kamera, sambil terus di foto oleh Bu Jessica.
“Sekarang jalan ke arah jendela, menghadap ke mari dan sambil lepaskan celana dalammu itu pelan pelan”
Entah kenapa aku menuruti kata-katanya, dan berjalan ke arah jendela yang menghadap keluar. kantor Bu Jessica memang berada di sebuah gedung berlantai 4. Dari jendela itu aku bisa melihat ke bawah, terlihat jalan dan kawasan yang merupakan pemukiman penduduk, anehnya aku merasa seperti seorang model yang sedang difoto oleh seorang fotografer dan berada di pinggir jendela besar ini membuat aku seolah berada di luar ruangan, dan perasaan itu membuat jantungku berdebar dan anehnya lagi, perasan ini membuat aku terangsang dan basah di bagian kewanitaanku. sekarang dengan latar samping/belakang jendela besar yang menghadap ke luar, kembali aku difoto oleh Bu Jessica. Aku seperti sedang mempertontonkan keindahan tubuh dan payudaraku ke masyarakat umum yang ada di bawah sana. perasaan malu, dipermalukan bercampur dengan perasaan tegang, bagaimana jika ada yang melihatku, memang gedung kantor ini adalah yang tertinggi di sekitar kawasan ini. Perasaan itu bercampur dengan perasaan senang, seperti perasaan ku saat keindahan tubuhku membuat orang di sekitarku memalingkan muka memandang dengan tatapan kagum dan terpeson bahkan tatapan iri dari wanita lain, semua perasaan itu membuatku semakin basah.

Aku kemudian melepaskan celana dalam miniku pelan pelan seperti yang diperintahkan oleh Bu Jessica, dengan gerakan pelan, membuat diriku tampak seperti memang sedang sengaja mempertontonkan tubuhku, sementara Bu Jessica yang berjalan ke sana kemari mencari sudut yang berbeda untuk memfotoku. Ketika aku telah melepas celana dalamku dengan perlahan, bahkan saat melepaskannya dari kaki kiri dan kananku. Bu Jessica mengalurkan tangan kirinya kearahku, seakan meminta aku melemparkan celana dalamku, tanpa di mintapun aku melemparkan celana dalam ku itu pada Bu Jessica. Bu Jessica yang menerimanya, sambil terus memfotoku, kemudian berkata
“Dasar cewek jalang murahan, sedang difoto sebagai jaminan dan hukuman, kamu malah terangsang dan basah sekali, seperti minta disetubuhi…”
Aku malu sekali dengan kenyataanku itu dan juga oleh perkataan Bu Jessica, ternyata celanaku juga jadi basah dengan keterangsanganku ini, aku jadi tambah malu, tapi hal itu bahkan membuatku tambah terangsang, sehingga seperti sedang terkena serangan menggigil tubuhkupun kadang bergetar, putingkupun jadi kian terasa keras dan mencuat karena terangsang. Aku diminta untuk berpose dengan berbagai macam gaya, aku diminta meremas payudaraku, membuat keduanya saling menempel dan mengangkatnya keatas sehingga seolah seperti sedang menawarkan payudaraku pada orang di depanku, kemudian aku juga di minta untuk menjilat puting payudaraku, tapi aku tak bisa, meski sudah berusaha semaksimal mungkin untung mengangkat payudaraku setinggi mungkin ke arah mulutku, tapi hanya nyaris bisa kujilat mungkin ukuranya yang kurang besar sehingga tidak bisa aku jilat. Aku juga diminta untuk mengangkat kedua tanganku di belakang kepala, keadaan seperti itu membuat dadaku makin membusung ke depan, sehingga seolah makin memamerkan kedua payudaraku yang menjadi tampak makin besar, dengan posisi seperi itu aku diminta untuk merenggangkan kedua kakiku selebar-lebarnya menjadi seperti huruf X, sehingga vaginaku menjadi terpampang jelas.

Sementara aku masih di posisi itu, Bu Jessica kini mengambil gambarku dengan posisi berjongkok di depanku, dengan begitu maka bagian kelaminku akan makin tampak jelas terihat dalam kamera, di tambah lagi, bulu kemluanku memang rajin aku cukur, sehingga tumbuh tidak terlalu lebat menutupi lubang vaginaku. keadaan itu membuatku makin terangsang dan basah dalam liang senggamaku. Aku merasa yakin bahwa vaginaku yang basah akan terlihat dalam foto yang Bu Jessica ambil dengan posisi berjongkok di depanku dan makin mendekat ke arahku. Setelah merasa cukup, Bu Jessica menyodorkan pakaianku dan menyuruhku mengenakan kembali bajuku, tapi ketika aku mencari pakaian dalamku, yakni BH dan CD ku, Bu Jessica berkata bahwa pelacur seperti aku tak pantas memakai pakaian dalam, dan mulai saat itu aku tidak boleh memakai pakaian dalam secuilpun katanya padaku, akupun hanya bisa mengangguk dan tertunduk. Bu Jessica pun meletakkan pakaian dalamku di atas meja maka akupun memakai kembali pakaian ku tanpa memakai Bra dan celana dalamku, sungguh aneh dan risih aja, berpakaian tanpa memakai pakaian dalam, untung aku saat itu memakai atasan blazer atau jas tipis sebagai padanan rokmini ku, sehinga puting susuku tak akan tampak di balik kemeja putihku yang nyaris transparan. Bu Jessica kemudian menelpon seseorang untuk dipangilkan Pak Iwan pesuruh kantor untuk mengambilkan tas kerjaku, dan membawanya ke ruang Bu Jessica. Aku memang menyimpan segalanya dalam taskus Sehingga ketika pesuruh itu datang menyerahkan tasku, Bu Jessica memintaku untuk memeriksanya dan semua masih lengkap tak ada yang tertinggal. Pak Iwan, meski dia seorang pesuruh, tapi dia adalah orang kepercayaan Bu Jessica sejak belasan tahun lalu, orangnya tidak bisa bicara alias bisu, tapi dia masih bisa mendengar, akupun mengenal pesuruh itu sebagai orang yang teliti dalam bekerja cekatan dan cerdas, dia selalu menuliskan apa yang diminta dalam sebuah catatan, sehingga ia bisa membeli sesuatu dengan memperlihatkan catatan tersebut ke pada penjual barang yang dimaksud. Orang-orang sekitar kantorpun sudah mengetahui keberadaan pak Iwan itu yang bisu, tapi kebanyakan mereka mengira pak Iwan sebagai penyandang bisu tuli. Pak Iwan berumur sekitar 45 tahun, tapi masih tampak gagah dan kuat, ia terkadang sering mendampingi Bu Jessica sebagai supir pribadi bila keluar kota dan keperluan lain, meski perusahaan juga memiliki supir kantor, tapi tampaknya Bu Jessica lebih percaya pada Pak Iwan ini, karena kedekatanya dengan Bu Jessica sudah sejak Bu Jessica merintis perusaahnnya ini dari orang tuanya dulu. Jabatan Pak Iwan di kantor pun sebagai kepala pantry yang membawahi 10 orang pesuruh dan termasuk OB, karena perusahaan ini bergerak di bidang distributor alat tulis kantor dan percetakan dan alat elektronik yang berkaitan dengan percetakan, sehingga membutuhkan beberapa tenaga kasar.

Pak Iwan

Bu Jessica pun berkata kepada Pak Iwan yang membuat aku malu dan sekaligus shock. Sambil mengangkat pakaian pakaian dalamku yang berada di atas meja Bu Jessica, Bu Jessica berkata
“Pak Iwan, ini adalah pakaian dalam Ellen yang tadi ia pakai, mulai sejak saat ini Ellen dilarang memakai pakaian dalam lagi, karena Ellen telah melakukan kesalahan yang mengakibatkan kerugian pada perusahaan, maka mulai hari ini Ellen saya hukum dengan tidak boleh memakai pakaian dalam lagi. Nah tugas Pak Iwan adalah setiap pagi jam 07.15 tidak boleh lebih, siang sebelum istirahat makan siang jam 11.45 dan sore sebelum jam pulang tergantung situasi kerja, Pak Iwan harus memeriksa apakah benar Ellen tidak memakai pakaian dalam atau tidak. Terserah Pak Iwan cara apa yang Pak Iwan pakai untuk memeriksa. dan aku jamin Ellen tidak akan menolak. Bila Ellen ternyata terlambat memeriksakan diri pada Pak Iwan, setiap menit keterlambatan akan aku hitung sebagai satu kesalahan, dan setiap kesalahan akan ada hukuman tertentu.”
Aku yang mendengar semua yang Bu Jessica katakan, menjadi terperangah dan shock sekaligus malu memikirkan, bahwa setiap pagi aku akan di periksa apakah aku memakai pakaian dalam atau tidak, dan yang memeriksa adalah Pak Iwan, seorang pesuruh kantor!?
“Oh betapa sungguh memalukan” pikirku
Ketika aku masih membayangkan semua itu, Bu Jessica mengejutkan aku.
“Dan kamu Ellen, Ingat kamu harus dalam posisi sempurna saat sedang di periksa oleh Pak Iwan, posisi sempurna sebagai seorang yang telah merugikan perusahaan seperti kamu, adalah kedua tangan di belakang punggung dan posisi kaki di rentangkan lebar, sehingga proses pemeriksaan bisa dilakukan. Ingat itu istilah posisi sempurna untuk kamu mulai saat ini. Bila kamu melanggar kamu akan tanggung akibatnya. kamu akan semakin terkenal dengan sesi yang telah kamu lakukan tadi dan ingat saat di periksa oleh Pak Iwan kamu juga harus lapor pada saya, dengan menelponku. kamu mengerti…!!?”.
“Mengerti Bu…eh nyonya….” kataku dengan perasaan yang campur aduk.
Aku pasti tahu bahwa bila aku melanggar semua perintah dan aturan, maka aku akan di laporkan pada polisi dan di penjara, dan segala konsekuensi bila dipenjara akan kutanggung. apalagi, dengan foto-foto bugilku barusan, tentu tidaklah sulit bagi Bu Jessica untuk menyebarluaskannya di internet dan aku akan menjadi terkenal diseluruh dunia sebagai “Slut” atau wanita murahan.

Sungguh tidak boleh terjadi batin ku dengan foto-foto bugilku tadi, dimana aku bergaya dengan berbagai pose dan parahnya lagi aku tadi tersenyum sepanjang “sesi pemotretan” tentu semua akan mengira bahwa semua itu aku lakukan dengan sukarela atau dengan imbalan uang dan tanpa paksaan. Aku sendiri bingung, apakah semua pose tadi aku lakukan dengan sukarela dan tanpa paksaan atau karena dipaksa, karena semua berjalan tanpa paksaan dan kekerasan, bahkan aku sendiri terangsang melakukan semua itu, tapi yang jelas semua foto-foto itu tidak boleh beredar luas. Parahnya jika aku melarikan diri dari semua ini, maka foto-foto itu akan disebarkan oleh Bu Jessica, dan aku menjadi terkurung, karena semua orang di dunia akan mengetahui wajahku. Bukankah itu yang terjadi selama ini di negeri ini apa yang akan terjadi pada orang tuaku, keluarga ku, teman-temanku, dan orang di sekitarku, bila foto-fotoku tadi beredar luas di masyarakat bahkan dunia. Aku tak berani membayangkan lebih jauh lagi, tapi aku juga bertanya-tanya apa yang diimpikan Pak Iwan semalam, sehingga dia bagaikan mendapatkan durian runtuh, karena setiap hari dia akan bisa memeriksaku apakah aku telanjang di balik pakaian kerjaku yang tampak seperti layaknya wanita karier dari luar, aku bahkan ingat bahwa aku tak punya rok panjang untuk menutupi keadaanku yang mulai saat ini tak akan memakai pakaian dalam lagi. tapi percuma semua itu, karena pak Iwan akan memeriksaku sehari 3x seperti minum obat.
“Pak Iwan… bila Ellen menolak diperiksa, atau melanggar aturan dan hukuman yang aku berikan, Pak Iwan cepat lapor aku kapanpun itu, dan Ellen akan langsung tahu akibatnya.
Pak Iwan hanya menjawab,“Hauh…hauh…” karena kebisuanya.
Sambil menjawab ia menganguk-anguk dan melirik padaku, oh bukan… hanya pada tubuhku, ia bahkan tidak menatap wajahku. Sungguh aku merasa bagai seonggok daging hidup saja, setelah dianggap selesai Pak Iwan di minta meninggalkan ruangan, tapi aku masih disuruh ntuk menunggu, karena masih ada beberapa hal yang akan di sampaikan oleh Bu Jessica. Bu Jessica kemudian mengambil tasku.
“Karena selama ini kamu telah memanipulasi keuangan perusahan untuk kepentingan pribadimu, maka mulai saat ini kamu tidak boleh membawa barang apapun dari rumah ataupun membawa barang apapun dari kantor ke luar kantor. Untuk menghilangkan kecurigaan bahwa kamu menyembuyikan sesuatu dalam barang bawaan kamu, baik itu saputangan, bahkan kertas ataupun bolpoint sekalipun. Intinya kamu tidak boleh membawa barang sekecil apapun dan mulai saat ini semua barangmu akan aku sita, termasuk handphonemu akan aku sita supaya kamu tidak bisa menghubungi teman dan di hubungi temanmu, sebagai gantinya kamu akan aku beri handphone baru yang nomornya hanya aku yang tahu, kamu tidak boleh menelon siapapun kecuali aku ataupun orang yang aku perintahkan untuk kamu telpon. Setiap hari aku akan memeriksa HP mu untuk memeriksa apakah kamu menghubungi atau dihubungi orang lain kecuali atas ijin aku. sekali saja kamu melanggar, maka fotomu akan tersebar ke seluruh dunia. kamu mengerti!?”
“Saya mengerti nyonya…..”
“Ya sudah, sekarang sana kembali bekerja” perintahnya padaku. Akupun kembali ke mejaku meja receptionist di lantai 3, sambil ketakutan membayangkan apa yang akan terjadi esok hari.

##############################
Sejak kejadian di ruangan Bu Jessica, hari-hariku tak sama lagi seperti dulu. aku tak bisa lagi mengenakan pakaian dalam di balik baju yang aku kenakan, bukan tidak bisa, lebih tepatnya tidak boleh. Minggu pertama sungguh terasa berat bagiku,tapi kini aku sudah biasa. Awalnya sih risih rasanya pergi ke kantor tanpa dalaman sama sekali, sungguh aku merasa lebih telanjang dari pada saat mandi di kamar mandi. Aku sekarang berhati hati dalam berjalan, agar gerakan brutal payudaraku tidak terlalu menarik perhatian orang orang yang berpapasan denganku, untuk mengatasinya aku selalu menggunakan blazer saat ke kantor, tapi itu semua tak banyak membantu, karena Bu Jessica mewajibkan aku untuk menggunakan sepatu berhak tinggi bila ke kantor, bahkan belakangan ia mengganti hampir semua sepatuku dengan sepatu yang dia belikan untukku, dan semuanya berhak tinggi, yang jarang ada di toko-toko sepatu, karena tinggi hak sepatunya menurutku tidak biasa. Aku seakan berjalan jinjit dengan tinggi hak sepatu yang minimal 10cm itu. Tapi itu perintah yang harus aku kerjakan, bila tidak ingin hutangku pada kantor bertambah 1x gajiku sebulan, jika aku melanggar perintahnya. Bu Jessica mengatakan bahwa aku makin sexy jika memakai sepatu hak tinggi (high heels), dan entah mengapa aku juga merasakan hal itu dalam hatiku, aku merasa makin menarik jika menggunakan high heels bahkan stileto. Aku sendiri merasa, kalo aku berjalan memakai sepatu hak tingginya, aku seakan mengundang pada laki laki yang memandangku “ayo setubuhi aku!” bagaimana tidak, aku yang berjalan memakai high heels yang tingginya diatas ukuran normal, sementara aku pun tidak mengenakan apapun di balik pakaian kerjaku, cara berjalanku membuat payudaraku bergoyang goyang seiring langkahku, bahkan bokongku pun yang terbalut rok span ketat terlihat padat dan mulus tanpa terlihat garis-garis segitiga layaknya orang yang memakai celana dalam sama sekali, seakan ingin di tepuk dan dibelai. Wuiih….aku berharap mereka para pria tidak menyadarinya.tapi sepertinya harapanku itu tak berguna. bahkan lama kelamaan ada perasaan senang bila para laki laki itu memandangku seakan menelanjangiku dengan tatapan mereka. Pada awalnya sungguh aku merasa sangat malu dan dipermalukan, karena harus berangkat kerja tanpa mengenakan apapun selain rok dan atasan ku, aku harus pintar pintar memilih baju atasan. aku menjadi sering menggunakan tanktop sebagai dalaman, karena tidak boleh lagi menggunakan bra. tapi tetap aja semua itu tak bisa menghentikan goyangan payudaraku yang cukup menantang ini. yang lebih sulit adalah mengatasi rangsangan pada puting payudaraku, serat serat pakaian dan suhu udara selalu membuat puting payudaraku mengeras dan mencuat, menonjol di balik baju yang aku kenakan.

Pagi ini aku terbangun, dengan masih merasa letih, mungkin karena semalam aku baru bisa tertidur sekitar jam 01.30. aku semalam membayangkan apa yang akan aku hadapi hari ini di kantor nanti. Hari ini aku memutuskan untuk mengenakan kemeja putih dan blazer hitam garis putih dengan rok span hitam diatas lutut. Aku merasa menyesal karena dulu aku tidak pernah membeli rok kerja yang lebih panjang, semua rata rata 15cm diatas lutut. Aku memang bangga dengan bentuk tubuhku, dan kakiku yg mulus. tapi kini, aku merasa sungguh seakan benar benar telanjang, lebih telanjang daripada mengenakan bikini di kolam renang. Ditambah lagi, aku tidak membawa barang apapun selain HP yang kemarin diberikan oleh Bu Jessica, sedang HP ku yang sebelumnya di sita olehnya, maka aku tak bisa menggunakan apapun untuk menutupi goyangan payudaraku ketika berjalan. Aku sadar aku harus cepat tiba di kantor, tepat sebelum jam 07.15 karena kalo tidak tentunya akan ada hukuman dari Bu Jessica, seperti yang telah beliau katakan kemarin, karena tak ingin terlambat sampai di kantor, maka akupun mempercepat langkahku menuju jalan raya untuk naik angkutan umum. Di sepanjang jalan aku merasa banyak mata yang menatap ke arahku, terutama laki laki, baik itu pejalan kaki yang kebetulan berpapasan denganku, maupun para pedagang yang rasanya hari ini adalah hari keberuntungan mereka, karena bisa melihat aku berjalan dengan sedikit terburu-buru, yang mengakibatkan payudaraku bergoyang keras, tapi aku tak memperdulikan tatapan mereka itu, aku berjalan seolah tak menyadari bahwa mereka terus menengok kebelakang kearahku yang telah melewati mereka, seakan tak rela pemandangan indah hari itu berlalu bgitu saja. Banyak juga kaum hawa atau ibu ibu yang baru pulang dari pasar terdekat yang melirik kearah ku atau mungkin lebih tepatnya ke arah payudaraku dan kemudian memandangku dengan pandangan aneh yang tak bisa aku definisikan, tapi lebih banyak berkesan keharanan. Melihatku yang seolah cuek dengan goyangan payudaraku yang jelas memperliharkan bahwa aku tidak mengenakan bra.

Aku melihat arlojiku. waktu menunjukan jam 06.45 masih ada waktu pikirku, tapi aku yang tidak biasa berangkat sepagi ini, tidak memperkirakan bahwa banyak orang yang juga menunggu kendaraan umum di jalan raya, sehingga angkot seakan barang langka yang banyak dicari orang sampai berebut, semua berebut seolah mereka semua sepertiku yang terburu buru, tidak laki laki, perempuan, anak sekolah semua berebut jika ada angkot yang berhenti. Akhirnya aku sampai juga di kantor dengan perasaan yang kacau. waktu menunjukan jam 07.25 ketika aku turun dari angkot. di depan kantorkku. akhirnya melangkahkan kaki menyeberang jalan menuju lantai 3. Begitu sampai aku langsung bergerak menuju lift, kali ini aku berjalan agak santai, untuk menjaga agar goyangan payudaraku yang tidak terbungkus oleh bra yang biasa aku kenakan, tidak begitu terlihat oleh orang orang kantorku. Lantai dasar bagian belakang, digunakan sebagai gudang dan tempat bongkar muat barang-barang untung hanya tambak bebrapa pekerja kasar yang pagi itu masih tampak santai di bagian yang agak jauh sambil merokok dan minum kopi, cara yang sangat sempurna untuk memulai hari pikirku. Sungguh aku iri dengan cara mereka menikmati hidup. Mereka tampak begitu bahagia dengan apa yang mereka punya tidak seperti aku yang terjebak oleh nafsu sehingga hari ini aku harus telanjang di balik pakaian kerja yang aku kenakan. Sunnguh aku merasa ingin kembali ke masa lalu, untuk tidak mengulangi kesalahanku, tapi semua sudah tak berguna kini aku terikat kontrak yang telah aku tandatangani, untuk membayar segala dana telah aku ambil sehingga merugikan perusahan dan aku telah stuju untuk melakukan apa yang tertulis di dalam kontrak tersebut. Sebagai imbalan atau persetuan karena aku tak ingin dilaporkan ke polisi yang akan mengakibatkan aku dihukum penjara, sungguh aku tak ingin hidupku berakhir di dalam sel penjara. Akhirnya aku naik lift, dan begitu pintu lift terbuka tampak di sana di meja receptionist Pak Iwan yang sepertinya telah munungu kehadiranku. Waktu menunjukan jam 07.30 saat kulihat jam di ruanganku, aku berusaha melangkah dengan tenang meski jantungku tak bisa di bilang berdegub tenang, aku menuju mesin absensi yang menggunakan sidik jari sebagai alat absensi. Sebenarnya jam masuk kantor adalah jam 08.00, tapi diberikan toleransi sampai jam 08.30 bagi keterlambatan, sehingga jam segini kantor masih sepi dan belum banyak orang yang datang. biasa mereka menggunakan batas akhir sebagai patokan akupun dulu begitu.

Pak Iwan tampak tersenyum aneh di balik meja receptionistku, tangannya mengisaratkan seakan orang yang melihat jam tangan, menunjukan bahwa aku terlambat datang dan dia mengerakan jarinya memintaku mendekat. Sebagai orang yang bisu karena punya kelainan pada lidahnya, hingga tidak bisa berbicara, ia cukup cerdas dalam menggunkan bahasa isyarat, sehingga orang bisa mengerti dengan cukup mudah dengan apa yang ia maksudkan. Dug…Dug…. jantungku berdebar keras, mengetahui apa yang selanjutnya akan terjadi. aku berdiri cukup dekat dari tempatnya duduk. aku mengambil posisi seperti apa yang telah Bu Jessica perintahkan kemarin. Aku merentangkan kakiku sebisaku karena aku menggunakan rok span, dan menarik kedua tanganku di belakang punggung hal ini membuat payudaraku makin mebusung ke depan seakan sengaja aku pamerkan dan inspeksi pun dimulai. Pak Iwan mengakat rokku tinggi-tinggi hampir melebihi pinggangku, untuk melihat apakah aku benar tidak memakai celana dalam atau tidak, ia tampak melebarkan pandangan matanya ketika menyadari bahwa aku lebih telanjang dari yang ia kira. karena aku rajin mencukur bulu kemaluanku, sehingga liang vaginaku akan tampak jelas, layaknya anak kecil yang belum tumbuh bulu kemaluanya. Ia kemudian mengisaratkan dengan jarinya agar aku berputar, akupun berputar, kini aku membelakanginya. aku merasakan tangan hangat Pak Iwan membelai pantatku, dan meremasnya dengan suara yang tak jelas keluar dari mulutnya yang memang bisu. jari jarinya kemudian semakin berani membelai ke bagian paling rahasia dalam diriku (kini tidak lagi) karena Pak Iwan telah menjamah vaginaku dari belakang dengan ujung jarinya, sehingga membuat aku sedikit terkejut dan tersentak, ia berputar putar sebentar disitu. yang justru membuat aku tak karuan, baru kemudian ia memegang pinggangku dengan kedua tangannya, dan kedua tanganya kemudian mendorong-menarik agar aku berputar kembali, mengahadap kearahnya. Tapi anehnya aku tidak marah ia berbuat begitu tadi. tapi justru menggigil karena menahan perasaan terangsang dalam diriku. Tampaknya tubuhku tidak mau bekerja sama dengan otakku. karena justru aku merasakan perasan aneh dalam diriku, pada saat yang tidak tepat. yaitu justru pada saat aku membiarkan orang lain melihat ketelanjanganku ini, di tambah lagi Pak Iwan kemudian, melepaskan kancing kemejaku, satu… dua…. tiga… empat…. empat buah kancing telah ia lepaskan dengan tenang, kini ia menyibakkan kemejaku ke arah berlawanan, hingga tersembullah ke dua payudaraku dengan sedikit berguncang. Ia kemudian menjamah dan membelai payudaraku dengan kedua tangannya yang besar dan hitam serta terasa sedikit kasar. tanganya kemudian menuju titik terdepan dari tubuhku itu. dan memilin-milinnya dengan gemas.

Meja receptionist yang cukup tinggi membuatku sedikit merasa aman dan terutupi, jika sewaktu waktu ada orang yang datang, tapi sejauh ini belum ada satupun karyawan yang datang. Perasaan itu sedikit banyak membuat aku lebih tenang. Tapi berdiri dengan dua kaki terbuka lebar, dangan kedua tangan di belakang punggung, sementara di depanku, sosok Pak Iwan yang sedang asik memeriksa dan bermain dengan kedua gunung kembarku membuat aku merasa malu dan merasa seperti boneka hidup yang hanya bisa pasrah terhadap perlakuan si empunya atau majikanya.
Waktu seakan berjalan lambat saat itu, seakan berjam-jam aku berada dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, meski perlu di pertanyakan juga keadaan tidak berdaya itu, karena memang aku yang tidak melawan, bahkan merasakan perasaan aneh dalam diriku, dibegitukan oleh orang lain yang nota bene adalah orang yang tidak begitu aku kenal baik dan ia adalah bawahanku atau kalau memakai istilah yg lebih kasar lagi, ia adalah pesuruh di kantorku (meski sebenarnya aku tak pernah membeda bedakan seseorang dari status sosialnya). Sungguh perasaan yang campur aduk, tapi tubuhku justru sebaliknya dengan apa yang aku pikirkan dan segala egoisme ke-aku-an di otaku. tubuhku seakan menikmati semua perlakuan ini. Aku merasa menjadi serendah rendahnya wanita. Justru karena aku merasa sebagai wanita yang berpendidikan. Saat aku berkecamuk dengan pikiranku sendiri, tiba tiba Hp ku berbunyi… kulihat sederet angka di sana, angka angka yang sudah sangat aku kenal, karena keunikan angka angka tersebut yang mudah di ingat, deretan angka angka tersebut adalah nomor HP Bu Jessica… Begitu otakku yang secara otomatis mengingat nomor tersebut jantungku langsung berdegub kencang…. karena tiba tiba aku ingat ada perintah Bu Jessica yang tidak aku lakukan saat ini karena tubuhku terlalu asik dengan perlakuan Pak Iwan, dan pikiranku terlalu berkecamuk dengan pikiran-pikiran yang tak bisa dijelaskan. Kuangkat Hp tersebut dan berbicara dengan suara yang terdengar di sana
“Halo…” kataku pada lawan bicaraku di HP.
“Ellen!!” suara di sana terdengan keras dan tegas dan terkesan sedikit marah.“kenapa kamu tidak menelpon saat sedang di-inspeksi!?” tanya Bu Jessica di ujung telpon.
“Maaf Bu, saya lupa” spontan aku membela diri
“Oh… kamu keenakan ya diperiksa oleh Pak Iwan, dasar cewek murahan..!” tukas Bu Jessica yang membuatku terdiam, serendah itukah diriku, tanyaku dalam hati, tapi kenyataan yang aku lakukan ini memang terlihat bahwa benar seperti itu adanya diriku.
“Karena kamu melakukan kesalahan yang fatal, yaitu tidak melakukan apa yang telah di perintahkan, maka sesuai perjanjian, maka hutang mu dengan kesalahan ini bertambah 1x gajimu. kamu mengerti..!?” suara Bu Jessica terdengar halus tapi sangat tegas.
“Mengerti Bu” jawabku, sungguh aku menyesali diri, bahwa hanya masalah sepele yang lupa aku lakukan, hutangku bertambah 1x gajiku. Ini adalah kesalahan pertama yang aku lakukan.aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi melakukan kesalahan yang mengakibatkan hutangkku bertambah.

Kemudian Bu Jessica memintaku untuk menyerahkan Hp itu pada Pak Iwan. yang kemudian aku hanya melihatnya mengangguk-angguk atau mengeluarkan suara uoggh…uhh… dan kemudian aku mengerti, bahwa sepertinya Bu Jessica memerintahkan seuatu pada Pak Iwan. karena kemudian aku merasa bahwa sambil menerima telpon dengan tangan kanan, tangan kirinya kemudian dengan beraninya memasuki liang kewanitaanku. Aku terlonjak kaget, tapi tak berlangsung lama, karena sejenak kemudian sungguh aku merasa melayang dan sangat terangsang, setelah beberapa saat Pak Iwan memainkan jarinya di vaginaku, aku merasa hampir mencapai titik puncak, karena aku seperti merasa ingin pipis. Justru di saat itulah tiba-tiba Pak Iwan menghentikan aksinya. Aku merasa seolah seperti di pinggir jurang kenikmatan…kosong…terombang-ambing antara kenyataan dan harapan untuk orgasme. Aku merasa murahan sekali dengan apa yang telah aku rasakan, bahwa di tangan orang seperti Pak Iwan dan di tempat yang sungguh tak layak bagi wanita terpelajar dan berpendidikan seperti aku, bahkan sebaliknya aku justru ingin terus di obok-obok pada liang kewanitaanku oleh Pak Iwan, seorang karyawan rendahan di kantorku, penampilanya saja tidak menarik, bahkan ia seorang yg bisu, tapi pikiranku berkata tak ada yang salah dengan semua itu, Pak Iwan juga manusia dan laki laki terkadang memang begitu…. Secara tak sadar aku menanamkan pada diri sendiri, bahwa tak ada yang salah dengan semua itu, yang salah adalah aku sendiri, sehingga semua ini bisa terjadi. Seandainya aku tak mengambil dan memakai uang perusahaan, maka semua ini tak akan terjadi. Pak Iwan kemudian meninggalkan diriku begitu saja, dengan keadaan masih setengah sadar dan setengah lagi masih berada di awang-awang, menunggu terpuaskan, tapi cepat aku sadar dengan keadaanku yang masih berdiri di balik meja marmer receptionis yang besar dengan keadaan yang nyaris bisa dibilang tidak berpakaian. karena rok miniku, kini tersangkut di pinggang ku, sementara bajuku ada di belakang punggungku. Walaupun dilanda rasa horni yang sangat itu, aku berusaha untuk sadar dan membenarkan pakaianku, apa kata orang nanti apabila mereka melihat seorang resepsionis yang telanjang? Pagi itu, aku tak bisa konsentrasi sepanjang hari, karena aku sungguh ingin menuntaskan rasa horni ku yang tak terpuaskan, bahkan tanpa aku sadari, tanganku kini sering bergerak tanpa aku sadar ke daerah di antara kedua pangkal paha ku itu. Saat tersadar apa yang kulakukan, aku merasa malu sekali, bahwa aku kini seakan benar-benar cewek murahan.

Tak sampai seminggu, cara berpakaianku yang seksi sudah menjadi perbincangan di antara karyawan kantor, bahkan para buruh kasar yang setiap pagi melihatku datang ke kantor terkadang hanya dengan blazer, span dan sepatu hak tinggi, membuat semuanya makin terdengar risih di telingaku, tapi aku berlagak cuek dan berpura-pura tak mendengar selentingan yang secara tak sengaja aku dengar. Pernah suatu kali aku sedang di toilet, sementara orang yang baru masuk membicarakan, betapa seksinya aku. Justru semua itu membuatku bangga dan senang, bahwa ternyata banyak yang menyukai penampilanku, terutama laki-laki, sementara yang wanita ada yang suka dan ada yang iri dengan penampilanku yang menjadi makin seksi. Sementara aku menjadi semakin terangsang dengan perlakuan Pak Iwan setiap memeriksaku pagi siang dan sore, bahkan bisa di bilang ketagihan oleh perlakuannya yang seharusnya membuat aku malu. Kini Pak Iwan semakin berani dalam menjalankan tugasnya memeriksa tubuhku, karena telah tahu aku sudah tak perawan lagi, maka ia sekarang berani untuk menggunakan “adik kesayanganya” untuk memeriksaku. Kebiasannya yang membuat aku menjadi gila dan ketagihan adalah, pada saat memeriksaku di pagi hari, ia menggunakan jari tanganya untuk membuatku terangsang. Permainan tanganya di liang vaginaku membuatku sangat terangsang dan nyaris orgasme, tapi tepat di saat seperti itulah ia berhenti, hingga membuatku merasa horni sepanjang hari, dan pada saat memeriksa ku di siang hari seperti perintah Bu Jessica, ia kini selalu melakukanya di toilet. Ia memintaku untuk masuk ke toilet kantor lebih dulu, toilet di kantorku memang toilet bersama, karena hanya satu toilet di lantai tersebut, sehingga tidak timbul kecurigaan pada yang lain bila aku masuk terlebih dulu, dan baru beberapa saat kemudian Pak Iwan masuk. aku selalu menjaga bahwa toilet itu sedang kosong, aku tahu karena toilet tersebut letaknya di depan meja resepsionis dimana aku bekerja. Saat pemeriksaan siang itulah Pak Iwan melakukan penetrasi ke vaginaku yang sudah basah sejak pagi, karena aku merasa horni dan sering menggosokkan tanganku ke pangkal pahaku selama aku bekerja dari pagi hingga saat pemeriksaan itu, bahkan aku seperti sudah tak sabar untuk segera di periksa oleh Pak Iwan, lebih tepatnya oleh “adik kesayangannya” yang berukuran cukup besar buatku, sebesar lenganku dengan kepalanya yang lebih besar lagi, tidak begitu panjang mungkin sekitar 12cm tapi besar dan kokoh.

Pak Iwan sering duduk di atas closet duduk, sementara aku “di pangku” naik turun, atau terkadang ia menusukku dari belakang, sementara aku membungkuk membelakanginya. ia selalu menggunakan rambutku sebagai tali kekang untuk mengatur irama permaiannya. permainannya agak kasar tapi aku sangat suka. Aku ingat pertama kali saat aku di minta duduk di atas closet, dan diminta mengoralnya dengan mulutku, sungguh pengalaman pertamakku mengoral penis laki-laki, ia tak memperbolehkan aku menggunakan tanganku sama sekali, bahkan tanganku di ikat di belakang tubuhku dengan lakban kertas yang ia bawa dari kantor, meski lakban kertas aku takkan sanggup memutuskan lakban tersebut yang mengelilingi di kedua pergelangan tanganku. Pak Iwan menahan kepalaku agar penisnya tetap berada di mulutku bila aku ingin melepaskanya dari mulutku, bahkan saat ia meledakkan spermanya di mulutku, ia dengan sengaja menjaga agar ujung penisnya berada di ujung tenggorokkanku, sehingga terpaksa aku menelan semua spermanya, aku tak berdaya menolaknya, karena tanganku terikat kuat di belakang punggungku. ehingga kini aku terbiasa menelan semua spermanya tanpa tersisa. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan bunyi selama permainan berlangsung. jika ada yang masuk ke dalam toilet, aku segera mengalirkan air yang tinggal ditarik tuasnya, dan menimbulkan bunyi yang cukup keras, sehingga cukup menyembunyikan kecurigaan bila kami berdua berada di dalam. Pernah suatu hari ia memintaku untuk tidak sarapan selama seminggu, dan selama itu pula aku hanya sarapan pagi dengan meminum spermanya, dan segelas air putih untuk berkumur. Aku berfikir bahwa sperma itu penuh dengan protein sepertihalnya telur ayam pikirku. Bahkan dihari terakhir minggu itu, siang harinya ia mambawakanku segelas es sperma yang telah diberinya sirup, entah dari mana ia dapatkan sperma sebanyak itu. Aku tak berani bertanya, hanya mengabiskannya dan mengucapkan terimakasih. Bila saat siang di toilet ia memberiku kepuasan atau orgasme hanya sekali atau bahkan hanya dia yang menyemprotkan spermanya ke tenggorokanku, tapi bila saat pemeriksaan sore ia membuatku terpuaskan berkali-kali, sampai membuatku kelelahan, karena saat sore ia melakukan pemeriksaan tubuhku di rungannya, meski kecil dan banyak peralatan yang memenuhi ruanganya, tapi cukup tertata baik, dan memungkinkan baginya untuk melakukan apapun sekehendaknya padaku karena semua orang telah pulang. Begitulah keadaan yang harus dan telah aku jalani selama ini, aku merasa semuanya aku jalankan dengan cukup rapi tanpa menimbulkan kecurigaan orang banyak di kantorku.

Dua bulan berlalu sejak pemeriksaan itu berlalu walau semuanya tidak berjalan cukup lancar karena aku membuat beberapa kesalahan yang membuat hutangku bertambah, aku sudah berkomitmen pada diri sendiri untuk tidak melakukan kesalahan lagi tapi pada kenyataannya aku masih melakukan beberapa kesalahan walaupun jarang. Suatu pagi aku dipanggil ke kantor oleh Bu Jessica, herannya aku juga menemukan Pak Iwan ada di situ.
“Bagaimana Ellen? Apakah kamu menikmati semuanya?” tanyanya
“Kurang lebih nyonya.” jawabku
“Begitu yah, kalau begitu sekarang lepaskan semua bajumu.”
Aku segera melepaskan bajuku satu persatu sampai telanjang. Bu Jessica tersenyum puas saat melihatku telanjang.
“Bagus.. bagus.. kamu menjalankan perintah untuk tidak memakai pakaian dalam dengan baik, yah walaupun kadang2 kamu masih membuat kesalahan.”
“Iya nyonya, maafkan saya.”
“Yah.. yah.. ok, karena kamu menjalankan perintah cukup baik saya punya hadiah untuk kamu.”
Selesai berbicara ia langsung melambaikan tangannya, dan Pak Iwanpun berjalan ke arahku. Aku berpikir hadiah macam apa yang akan dia berikan? Tidak mungkin Bu Jessica mau memberikan hadiah cuma-cuma. Pak Iwan menutup mataku dengan kain hitam, kini aku tidak bisa melihat sekelilingku, sesaat setelahnya aku merasakan ada jari yang masuk ke dalam vaginaku dan mengobok-oboknya, tanpa sadarpun aku melenguh keenakan sambil berusaha menjaga keseimbangan berdiri di atas high heels, sesamar aku mendengar suara Bu Jessica tertawa kecil. Kemungkinan besar ia tertawa karena aku seperti wanita murahan yang menikmati hal seperti ini. Tak lama kemudian aku hampir orgasme dan di saat itu jari yang memainkan vaginaku berhenti, aku merasa ini seperti pemeriksaan di pagi hari oleh Pak Iwan, aku tidak dapat melawan kecuali menerima keadaanku yang melayang dilanda keinginan untuk orgasme. Aku mendengar suara langkah yang menjauh tapi tak lama langkah itu kembali mendekat, aku berpikir apa yang terjadi. Hal yang kurasakan berikutnya adalah vaginaku seperti tertembus sesuatu, tetapi herannya benda ini keras, dan dari yang kurasakan lewat vaginaku, sepertinya benda ini berbentuk silinder, kemudian aku merasakan pinggangku terbalut oleh suatu bahan dari kulit dan membentuk seperti celana dalam saat dipakaikan, sesaat setelahnya aku mendengar bunyi “klik”

Aku bertanya-tanya apa yang terjadi karena aku tidak bisa melihat sama sekali, lalu terdengar suara Bu Jessica
“Pak Iwan tolong bantu Ellen memakai pakaiannya.”
Setelah itu aku merasakan Pak Iwan memakaikan pakaian kembali ke tubuhku, kemudian melepas kain yang menutup mataku.
“OK sekarang kamu boleh mulai bekerja, ingat jangan membuat kesalahan!” kata Bu Jessica.
“Iya nyonya, saya mengerti.”
Akupun berjalan keluar ruangan Bu Jessica menuju meja resepsionisku, karena vaginaku diisi sesuatu aku merasakan suatu sensasi yang aneh saat berjalan, hampir beberapa saat sekali aku menahan nafas karena dinding vaginaku bergesekan dengan benda tersebut saat berjalan, rasanya seperti ada arus listrik yang menjalar di tubuhku. Sesampainya di mejaku, aku melihat Pak Iwan yang baru keluar dari ruangan Bu Jessica, ia sengaja berjalan ke arah mejaku dan memperlihatkan sesuatu yang dia ambil dari kantongnya. Benda itu berwarna pink dan berbentuk kotak kecil, sambil tersenyum aneh kemudian menekan suatu tombol dari remote itu, tiba-tiba aku merasakan adanya getaran di vaginaku. “Argh!!” kakiku langsung lemas, beberapa saat aku menyadari bahwa yang dimasukkan ke dalam vaginaku adalah sebuah vibrator. Aku langsung berpikir, ya ampun aku harus bekerja sambil menahan nafsuku sendiri? Bagaimana ini? Pak Iwan kemudian mematikan vibrator itu dan pergi. Aku bergegas ke toilet karena khawatir dan ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi padaku di ruangan Bu Jessica tadi, aku mengunci diriku di satu kabin toilet dan membuka rokku, betapa kagetnya aku karena aku telah dipakaikan celana dalam yang bisa dikunci (chastity belt), aku mencoba untuk melepasnya tetapi chastity belt itu sangat pas di pinggangku dan tidak mungkin melepaskan benda ini tanpa membuka gemboknya terlebih dahulu. ‘Celaka! Berarti aku tidak bisa mengeluarkan vibrator itu dari vaginaku. Bagaimana kalau vibrator itu aktif? dan aku tidak tahu kapan vibrator ini akan aktif.’ Kataku dalam hati. Aku langsung menjadi lemas membayangkan bagaimana aku akan menghadapi orang-orang di hari ini, dengan langkah lunglai aku kembali ke meja resepsionis.

Di hari itu aku bekerja sambil terangsang sewaktu vibrator itu dinyalakan, aku harus menjaga penampilan saat berbicara karena tidak mudah memasang ekspresi dan berbicara dimana aku sedang terangsang, akupun harus berusaha untuk berdiri tegak walau kakiku terasa lemas karena permainan vibrator itu. Tetapi anehnya kenapa aku merasa menikmati permainan ini, rasanya menjadi sebuah tantangan yang menyenangkan untuk menyembunyikan ekspresi horniku. Cairan cintaku mengalir melalui paha dalam, dan tiap kali tidak ada orang aku selalu mengelap cairan cinta yang keluar tersebut. Yang lebih parah lagi, vibrator itu selalu berhenti di saat aku akan mencapai orgasme, di satu sisi aku senang karena aku sebenarnya tidak ingin orgasme di depan umum, tapi di satu sisi semakin lama aku semakin frustrasi karena tidak bisa mendapatkan orgasme. Ya Tuhan serendah itukah aku sampai sangat ingin sekali mendapatkan orgasme. Di siang hari karena tidak tahan aku kembali ke toilet untuk mencoba mendapatkan orgasme sendiri, aku mencoba menyentuh klitorisku tetapi tidak berguna, aku tidak merasakan apa-apa karena bagian genitalku tertutup dengan baik oleh chastity belt itu. Merasa sia-sia aku mencoba untuk merangsang payudaraku sendiri, tetapi aku tidak bisa mendapatkan rangsangan yang cukup untuk mencapai orgasme, aku pun menjadi putus asa dan menangis di dalam toilet tersebut..
‘Seandainya….seandainya aku tidak melakukan hal egois mencuri uang perusahaan’ kataku dalam hati sambil menyesal.
Sore harinya di saat pulang kantor Pak Iwan kembali memanggilku ke ruangannya, setelah mengunci ruangannya Pak Iwan memberikan isyarat padaku untuk membuka pakaian, aku membuka semua pakaianku perlahan kecuali sepatu high heels dan chastity belt itu, kemudian ia mengisyaratkan untuk duduk di atas mejanya. Aku duduk di atas mejanya, ia melihatku sambil tersenyum dan mendekatkan mukanya ke chastity beltku, kemudian ia memperlihatkan kunci kecil kepadaku lalu membuka chastity belt tersebut. Setelah melepasnya ia menarik keluar vibrator yang ada di dalam vaginaku, aku melenguh saat ia menariknya, aku pun merasa sedikit lega karena tidak ada lagi yang mengganjal di vaginaku. Kini aku dapat melihat benda yang mengisi vaginaku sejak pagi, benda itu berbentuk silinder, berwarna pink dan terbungkus oleh cairan cintaku, Pak Iwan mendekatkan vibrator itu ke wajahku dan mengisyaratkanku untuk menjilatnya, aku pun menjilatnya secara perlahan, aneh rasanya merasakan cairan cintaku sendiri.

Seperti biasa Pak Iwan kembali memeriksaku dengan ‘adik kesayangannya’, ia memasukkannya ke dalam vaginaku secara perlahan dan mulai menggenjotku secara perlahan, aku yang sudah terangsang berat sejak pagi langsung mengikuti gerakannya, Pak Iwan juga memainkan payudaraku yang berguncang saat digenjot, dan sesekali dia mencium bibirku. Aku sangat menikmati hal ini, walaupun sebenarnya aku merasa ini salah tetapi keinginan untuk orgasme mengalahkan pikiranku sendiri. Tak lama kemudian aku mendapatkan orgasmeku yang sedari pagi tidak aku dapatkan, siksaan nafsu sehari itu benar-benar membuatku stress, sekarang aku merasa sangat lega. Sayangnya kelegaan itu tidak berlangsung lama karena Pak Iwan belum mendapatkan orgasmenya, aku sendiri bingung bagaimana orang yang sudah cukup berumur seperti dia masih bisa sekuat ini, akibatnya sore itu ia menyetubuhiku kembali dengan berbagai posisi sampai aku orgasme berkali-kali. Aku sangat lelah, rasanya sampai mau pingsan, aku terbaring lunglai di meja kerja Pak Iwan, walau pandanganku agak kabur tapi aku bisa melihat Pak Iwan sedang menuliskan sesuatu di kertas, yang kemudian ia tunjukkan kepadaku, di kertas itu tertulis.
“Kata Bu Jessica setiap pagi kamu harus memakai ini.”
Ingin menangis aku rasanya, berarti setiap hari aku akan disiksa secara nafsu. Aku berpikir ingin kabur tetapi aku tidak bisa, aku takut fotoku nanti akan tersebar, akhirnya aku memutuskan untuk menikmati permainan ini, paling tidak aku sudah diperbolehkan untuk tidak mengenakan vibrator dan chastity belt itu sampai di rumah sekalipun. Aku berpikir hal apalagi yang akan terjadi padaku, semakin lama Bu Jessica semakin menggunakan cara yang aneh untuk menyiksaku, dan herannya sebagian dari diriku menikmatinya, oh betapa rendahnya diriku sekarang.

By: Strike Freedom

0 Response to Pretty Receptionist Ellen: The Naughty Punishment

Posting Komentar